Namanya Belva Devara dan Andi Taufan, dua di antara beberapa orang jajaran staf khusus (stafsus) presiden yang tergolong milenial. Tak dapat dipungkiri bahwa kiprah para stafsus milenial ini sangatlah cemerlang, apalagi mengingat usianya yang relatif muda dan pencapaian yang telah mereka torehkan.
Sebagai sesama anggota kaum milenial (angkatan yang lahir pada kurun waktu tahun 1980-an sampai dengan akhir 1990-an, atau sering juga disebut Gen-Y) saya hendak mencoba memberikan pandangan terkait yang terjadi pada keduanya. Sebagaimana kita ketahui, Belva dan Andi belakangan ini ramai disentil di pemberitaan dan sosial media. Mereka diduga telah melakukan pelanggaran administrasi pemerintahan.
Sebagai ASN milenial ada beberapa hal penting yang saya pelajari. Salah satunya, untuk berkontribusi langsung di pemerintahan, niat baik dan ide cemerlang saja tidak cukup. Niat baik dan ide cemerlang tadi masih harus didukung dengan pengetahuan administrasi pemerintahan dan birokrasi. Ribet? Iya, tapi suka atau tidak suka itu ada di sekitar kita.
Kini, kedua stafsus tersebut, baik Belva Devara maupun Andi Taufan telah mengundurkan diri dari posisinya sebagai stafsus. Meskipun begitu, apa yang terjadi pada keduanya masih merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk diulas. Pendapat saya mungkin tidak sepenuhnya benar, tapi izinkan saya untuk sedikit membahasnya.
Konflik Kepentingan
Penyelenggaraan pemerintahan sudah semestinya bebas dari conflict of interest/konflik kepentingan. Apa maksudnya? Mari kita tengok rujukan dari UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dalam Pasal 1 ayat 14 dijelaskan bahwa konflik kepentingan artinya:
“Kondisi pejabat pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan wewenang sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan kualitas keputusan dan/atau tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya.”
Sementara di pasal 42 ayat 1:
“Pejabat Pemerintahan yang berpotensi memiliki konflik kepentingan dilarang menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan.”
Sedangkan di pasal 43 Ayat 1 menjelaskan latar belakang konflik kepentingan, yakni:
“Konflik kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 terjadi apabila dalam menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan dilatarbelakangi: a. adanya kepentingan pribadi dan/atau bisnis; b. hubungan dengan kerabat dan keluarga; c. hubungan dengan wakil pihak yang terlibat; d. hubungan dengan pihak yang bekerja dan mendapat gaji dari pihak yang terlibat; e. hubungan dengan pihak yang memberikan rekomendasi terhadap pihak yang terlibat; dan/atau f. hubungan dengan pihak-pihak lain yang dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.
Etika Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) Pemerintah
Nah, permasalahan yang menyebabkan publik mempertanyakan profesionalisme kedua stafsus milenial, keduanya masuk pada ranah PBJ. Dalam berbagai aturan tentang PBJ, terdapat berbagai ketentuan yang cukup detil sekaligus etika yang harus dijunjung tinggi oleh para pihak yang terlibat. Mari kita simak Perpres Nomor 16 Tahun 2018.
Yang termasuk di dalam konflik kepentingan adalah:
- Direksi, Dewan Komisaris, atau personel inti pada suatu badan usaha, merangkap sebagai Direksi, Dewan Komisaris, atau personel inti pada badan usaha lain yang mengikuti Tender/Seleksi yang sama;
- Konsultan perencana/pengawas dalam Pekerjaan Konstruksi bertindak sebagai pelaksana Pekerjaan Konstruksi yang direncanakannya/diawasinya, kecuali dalam pelaksanaan pengadaan pekerjaan terintegrasi;
- Konsultan manajemen konstruksi berperan sebagai konsultan perencana;
- Pengurus/manajer koperasi merangkap sebagai PPK/Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa di Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah;
- PPK/Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan baik langsung maupun tidak langsung mengendalikan atau menjalankan badan usaha Penyedia; dan/atau
- Beberapa badan usaha yang mengikuti Tender/Seleksi yang sama, dikendalikan baik langsung maupun tidak langsung oleh pihak yang sama, dan/atau kepemilikan sahamnya lebih dari 50% (lima puluh persen) dikuasai oleh pemegang saham yang sama.
Pertanyaannya, apakah kedua stafsus millennial – Belva dengan Skill Academy-nya dan Andi Taufan dengan Amartha-nya memiliki konflik kepentingan?
Sambil menjawabnya, mari kita tengok 3 jenis konflik kepentingan yang ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni: aktual, potensial, dan dipersepsikan.
Konflik Kepentingan Aktual (Actual COI)
Yang dimaksud konflik kepentingan aktual adalah konflik kepentingan yang memang telah nyata terjadi. Sebagai contoh, saya adalah anggota pokja pemilihan (panitia pengadaan) di kantor saya yang sedang melaksanakan lelang/tender untuk penyediaan makan siang rapat untuk 1 tahun penuh.
Lalu istri saya melakukan bidding atau pemasukan penawaran. Nah, dalam kondisi ini sudah termasuk konflik kepentingan aktual, walaupun bisa saja catering yang dimiliki istri saya ini adalah yang terenak dan termurah.
Lalu, mari kita tengok yang dilakukan oleh Andi Taufan. Ia bersurat kepada seluruh camat di Indonesia dengan kapasitas sebagai Staf Khusus Presiden dan menggunakan Kop Surat Sekretariat Kabinet. Dalam surat itu ia menginstruksikan seluruh camat agar bekerjasama dengan orang-orang dari perusahaannya (PT Amartha) yang ada di daerah untuk penanganan COVID-19.
Menurut analisis saya, ini sudah termasuk konflik kepentingan aktual, karena dua hal, yakni: pertama, ia melakukan rangkap jabatan (sebagai Stafsus dan CEO PT Amartha), dan kedua ia adalah pemilik perusahaan PT Amartha.
Konflik Kepentingan Potensial (Potential COI)
Pada jenis ini, konflik kepentingan belum terjadi, tetapi terdapat kemungkinan akan terjadi di masa depan. Inilah yang dihadapi oleh Belva Devara dengan SkillAcademy-nya.
Berdasarkan klarifikasi Belva, SkillAcademy sudah ditunjuk sebagai salah satu penyedia (vendor) untuk prakerja sebelum ia ditunjuk menjadi Staf Khusus Presiden. Jika benar begitu, apakah Belva turut andil dalam pengambilan keputusan terkait terpilihnya SkillAcademy sebagai penyedia prakerja? Jika iya, maka jelas menjadi konflik kepentingan aktual.
Namun, jika tidak maka ini termasuk konflik kepentingan potensial. Sayangnya, kita tidak bisa memiliki akses untuk melihat dokumen pengadaannya. Meskipun sebenarnya semua lelang/tender pemerintah wajib diketahui oleh publik, kecuali pengadaan yang bersifat rahasia dan strategis seperti pembelian alat-alat pertahanan Negara.
Konflik Kepentingan Dipersepsikan (Perceived COI)
Kondisi ini adalah dipersepsikan. Belum tentu ada konflik kepentingan tetapi publik dan masyarakat telah mempersepsikan adanya konflik kepentingan di dalamnya.
Contoh kejadian yang melibatkan Pejabat Pemerintah di Indonesia adalah fenomena antara Mendikbud, Nadiem Makarim, dan pembayaran SPP melalui produk dari perusahaan yang pernah ia pimpin yaitu GoPay.
Saya pernah membaca di sebuah artikel bahwa GoPay sudah melayani pembayaran di sekitar 180 lembaga pendidikan yang terdiri dari pesantren, madrasah, sekolah, dan tempat kursus di Indonesia. Sekolah yang melakukan opsi pembayaran SPP melalui fitur GoPay adalah sekolah swasta (yang berada di bawah Yayasan) dan Madrasah (di bawah Kementerian Agama).
Sekolah swasta dapat berkompetisi untuk memudahkan orang tua murid agar memiliki minat untuk menyekolahkan anak mereka di sekolah tersebut. Mendikbud tidak terlibat apapun disana.
Dalam fenomena ini, Nadiem berada dalam posisi Perceived COI karena masyarakat mempersepsikan adanya kebijakan yang diambil Nadiem sebagai Mendikbud yang menguntungkan perusahaan yang didirikannya yaitu GoJek namun tidak terbukti.
Lalu, apakah Belva dan Andi Taufan masuk dalam kategori Perceived COI? Saya rasa iya, karena ada persepsi masyarakat dalam kedua fenomena tersebut dan kategori mereka meningkat menjadi Potential COI (untuk Belva) dan Actual COI (untuk Andi Taufan).
Epilog
Berdasarkan analisis sederhana saya di atas, dapat disepakati bahwa urusan PBJ yang melibatkan kedua stafsus milenial ternyata tidak terlepas dari conflict of interest (COI). Meskipun begitu, COI itu sendiri bukanlah merupakan suatu pelanggaran. Pelanggaran akan terjadi ketika ada pengambilan keputusan yang mengandung COI.
Sebagaimana diungkapkan di Pasal 42 (1) UU 30/2014:
“Pejabat Pemerintahan yang berpotensi memiliki Konflik Kepentingan dilarang menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan”.
Sanksi jika melanggarnya, menurut undang-undang, Administrasi Pemerintahan adalah diberhentikan dari jabatan dan putusannya dicabut.
Memang secara peraturan tertulis saya belum menemukan dasar hukum terkait pengangkatan dan status stafsus presiden ini. Namun jika merujuk pada Perpres nomor 17 tahun 2012 Pasal 21 (2) yang berbunyi
“Staf Khusus Presiden dapat berasal dari Pegawai Negeri atau bukan Pegawai Negeri”
dan Pasal 24 yang berbunyi
“Hak keuangan dan fasilitas lainnya bagi Staf Khusus Presiden diberikan setinggi-tingginya setingkat dengan jabatan struktural eselon I.a.”
dari peraturan tersebut dapat saya pahami secara subjektif bawa stafsus presiden ‘diperlakukan’ layaknya Pegawai Negeri Sipil atau Pejabat Pemerintahan.
Apalagi saya pernah mendengar kelakar salah satu stafsus milenial lainnya yang menyebutkan bahwa status mereka disetarakan dengan Menteri. Sudah seyogyanya Ketika hak-hak nya disamakan dengan Pegawai Pemerintah maka kewajiban dan etika dalam pemerintahan juga menyesuaikan.
Dari situ, perlu kembali kita pahami, apakah posisi sebagai stafsus presiden juga termasuk sebagai “Pejabat Pemerintahan”? Jika iya maka memang sudah selayaknya sanksi sosial dan perdata diberlakukan kepada mereka. Akan tetapi jika tidak, maka kita semua semestinya lebih legowo dalam menyikapi ‘tingkah laku’ dari para milenial ini.
Namun sekali lagi, apa yang terjadi pada Belva dan Andi menegaskan kembali tantangan berat bagi kami, bukan hanya stafsus presiden tapi juga para ASN milenial yang tergabung dalam penyelenggaraan pemerintahan di negeri ini. Ya, sekedar niat baik dan ide cemerlang saja masih jauh dari cukup untuk berkontribusi di negeri ini.
Salam milenial!
Penulis adalah ASN di salah satu Lembaga Pemerintan Non Kementerian yang bekerja secara ikhlas.
Pernah dan masih memegang ijazah Master of Arts in Economics dari Yokohama National University, Jepang
0 Comments