Prolog: Dorongan Perubahan di Birokrasi
Negara-negara di dunia sedang mengalami transformasi yang cukup radikal, baik secara ekonomi, politik, maupun pemerintahan. Terjangan badai revolusi industri ke 4 atau lebih dikenal sebagai RI 4.0 menjadi lecutan awal perubahan ini.
Mulai awal abad 20 hingga sekarang, kehadiran drone, robot, mobil tanpa awak, kecerdasan buatan, big data, komputasi awan, dan internet untuk segala hal, serta adopsi teknologi informasi lain menjadi semakin jamak.
Di sisi pemerintahan, birokrasi pun tak luput harus beradaptasi dengan tantangan tersebut. Pelayanan publik yang diberikan sudah tidak lagi bersifat business as usual, namun diperlukan lompatan-lompatan inovasi. Dibutuhkan SMART ASN dengan memberikan pelayanan publik berbasis digital.
Tatanan birokasi di Indonesia masih didominasi oleh pekerja administratif. Sebanyak 40% pekerjaan birokrat masuk dalam kategori administratif-repetitif, jenis pekerjaan yang menurut Frank (2017) dapat digantikan oleh robot atau mesin. Padahal, dalam SMART ASN diperlukan pergeseran penataan SDM agar lebih banyak memegang hal substantif.
Statistik Birokrat Indonesia
Pada lingkup birokrasi Indonesia, menurut data statistik 2020, terdapat sebanyak 4.121.176 orang birokrat. Kelompok usia terbanyak berada pada rentang 51–60 tahun dengan jumlah 1.578.138 orang (38%) dan terbanyak kedua antara 41–50 tahun sebanyak 1.258.259 orang (24%), dan sisanya ada di rentang 21–30 tahun (7%), 18–20 tahun (0.02%) dan usia di atas 60 tahun (0.93%).
Dari segi usia, komposisi tersebut tentu menjadi PR bersama agar bisa menyesuaikan dengan perkembangan teknologi yang ada. Optimalisasi generasi milenial di lingkungan birokrasi merupakan salah satu cara dalam mewujudkan generasi Smart ASN ini.
Jika dilihat dari segi pendidikan, komposisi PNS Indonesia didominasi oleh lulusan S1-S2 sederajat yaitu sejumlah 2.756.379 orang (66%). PNS yang memiliki latar belakang pendidikan SD–SMA sebanyak 775.424 orang (19%), Diploma sebanyak 636.315 orang (15%). Secara kualifikasi pendidikan, birokrasi Indonesia memiliki potensi yang besar untuk menciptakan SMART ASN.
Sementara, studi yang pernah dilakukan oleh Bank Dunia 2019 misalnya, membeberkan fakta bahwa nilai Government Effectiveness Index Indonesia sebesar 0,18 atau peringkat 86 dari 193 negara. Nilai ini di bawah negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand. Angka tersebut juga nyaris mendekati rata-rata regional yaitu 0,17.
Beberapa hal tersebut benar-benar menjadi tantangan birokrasi di Indonesia.
Tantangan Pelayanan Publik
World Economic Forum (WEF) melakukan pengukuran efektivitas pemerintahan dengan indikator kualitas pelayanan publik, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dari Aparatur Sipil Negara (ASN), independensi birokrasi dari intervensi politik, kualitas formulasi dan implementasi kebijakan, serta kredibilitas pemerintah dalam pandangan masyarakat.
Hasil survey menunjukkan posisi Indonesia menempati urutan 36 dari 137 negara. Posisi ini tidak terlalu buruk namun masih kalah jika dibandingkan negara Asia lain, terlebih dengan negara tetangga yaitu Singapura yang menempati urutan pertama. Dari 12 pilar yang dijadikan indikator survey, hasilnya bisa dilihat pada gambar berikut:
Global Competitiveness Index Indonesia 2017-2018
Sumber: World Economic Forum Report, 2020
Dari laporan WEF di atas, ada beberapa pilar yang menyebabkan penurunan pada skor Indonesia secara umum. Di antaranya adalah adopsi teknologi informasi dan komunikasi (TIK), kesehatan, pasar barang dan jasa, pilar keterampilan dan pasar tenaga kerja.
Adopsi TIK yang masih minim pada sektor publik menjadi kendala tersendiri dan harus mendapat perhatian serius. Proses penggunaan TIK dalam proses pelayanan publik dipengaruhi oleh SDM aparatur yang ada.
Dengan kondisi tersebut, SMART ASN menjadi prasyarat utama untuk meningkatkan indeks daya saing global birokrasi Indonesia. Penggunaan TIK dalam proses pelayanan publik bisa menjadi poin krusial.
Menurut hasil survei E–Government Development Index (EGDI) oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ini, Indonesia berada di peringkat 88 dari 193 negara pada tahun 2020. Indonesia juga memiliki nilai rata-rata EGDI di bawah rata-rata Asia Tenggara.
Peringkat EDGI Indonesia menunjukkan bahwa masih perlu peningkatan adopsi tekologi informasi dalam memberikan pelayanan publik. ASN yang menjadi motor birokrasi harus memiliki literasi digital yang baik. Perubahan tidak hanya berkaitan dengan teknis penguasaan TI oleh ASN, namun juga transformasi budaya kerja serta menciptakan iklim pembelajar.
Digital Bureaucracy: Kunci Sukses Good Governance
Birokrasi digital merupakan sistem birokrasi yang baru dan muncul karena globalisasi, sekaligus sebagai pengganti konsep birokrasi klasik (birokrasi berbasis kertas). Birokrasi digital mempunyai peran sebagai perbaikan sistem good governance, dengan meningkatkan empat indikator dasar good governance: transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas (Janggeer & Abdou, 2020).
Birokrasi digital bekerja untuk memastikan transparansi di bidang politik maupun pemerintahan melalui presentasi dan memastikan tersalurnya informasi kepada publik. Selain itu, birokrasi digital berperan dalam mengaktifkan akuntabilitas melalui pengadaan sebuah sistem yang dapat mengontrol dan memonitor performa informasi pemerintahan.
Birokrasi digital juga mendukung terciptanya efisiensi dan efektivitas melalui perencanaan dan peraturan berbasis elektronik. Menurut World Bank, birokrasi digital merupakan sebuah terminologi modern yang mengacu pada pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam rangka meningkatkan efisiensi, efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas pelayanan pemerintah.
Banyak orang yang menganggap bahwa birokrasi digital (digital bureaucracy) sama dengan e-government, padahal kenyataannya berbeda. Tujuan utama birokrasi digital adalah perbaikan kinerja pemerintah.
Sedangkan e-government mempunyai ramalan akan terjadi interdependensi dan interoperabilitas dalam organisasi publik. Contohnya adalah pembuatan portal pemerintah yang mendukung akses pelayanan pemerintah melalui integrated gateway.
Hal tersebut akan membuat interdependensi (saling ketergantungan) dalam suatu organisasi publik dan meremehkan masalah yang dapat meningkatkan kompleksitas administratif yang biasanya berhubungan dengan programmer terintegrasi (Edstrom & Galbraith, 1977). Salah satu negara tetangga yang cukup maju dalam digital governance adalah Singapura.
“Mengapa Singapura mampu berkembang di berbagai sektor dengan baik, padahal secara luas wilayah dan potensi SDM&SDA bisa dibilang kurang memadai?” (Al-Ameri, 2017).
Jawabannya adalah karena mereka mampu memanfaatkan sumber yang ada dengan prinsip pembangunan berkelanjutan dan pelayanan publik yang baik, melalui manajemen elektronik/teknologi. Hal ini dapat dikatakan bahwa dalam teori “Lewis Model”, Singapura masuk ke dalam sektor more modern.
Pentingnya Fleksibilitas Dalam Digital Governance
Ketika pandemi mendera birokrasi selama tahun 2020-2021 dapat kita rasakan sendiri, perubahan menuju birokrasi berbasis teknologi cenderung mengarah kepada implementasi flexible working dalam pelayanan publik.
Fleksibilitas ini sangat cocok bagi para birokrat muda yang cenderung lebih melek teknologi. Mereka semestinya mengisi peran tersebut dengan kompetensi yang sesuai pada bidangnya masing-masing.
Flexible working akan mengubah paradigma, karena pegawai harus lebih memahami teknologi berbasis digital dalam bekerja. Karena mengubah paradigma, flexible working juga menimbulkan adanya collaborative governance di setiap instansi.
Proses kerja birokrasi akan berbasis teknologi, sehingga kebutuhan akan pemimpin milenial akan semakin tinggi. Adapun generasi baby boomers akan semakin terdesak untuk paham teknologi agar tetap bisa bertahan dalam dunia kerja dan mengurangi kesenjangan antargenerasi.
Penerapan flexible working ditandai dengan 3 indikator yaitu ketika kepada birokrat:
- diberikan pekerjaan sesuai dengan kompetensinya,
- diberikan kebebasan untuk berpendapat dan mempelajari hal-hal baru,
- diberikan peluang untuk mengembangkan potensinya.
SMART ASN sebagai Fondasi Digital Governance
Generasi milenial di birokrasi dapat dijadikan sebagai pelopor perubahan menuju pola kerja flexible working ini. Mengapa milenial? Sebab merekalah yang paling berpotensi untuk beradaptasi dengan perubahan cara kerja berbasis teknologi informasi, sekaligus masih memiliki kedekatan pemahaman dengan cara kerja generasi pendahulunya.
Usia merekapun masih berada pada kisaran puncak produktivitas dan telah memasuki periode kematangan berfikir dalam siklus hidup manusia. Karenanya, tidak salah jika dikatakan mereka paling sesuai untuk digodok menjadi SMART ASN.
Smart ASN merupakan aparatur yang memiliki profil nasionalisme, integritas, wawasan global, hospitality, networking, penguasaan teknologi informasi, bahasa asing dan entrepreneurship. Mereka berperan sebagai digital talent dan digital leader yang mendukung transformasi birokrasi di Indonesia.
Smart ASN akan mendorong birokrasi sejalan dengan semangat revolusi industri 4.0. Semua jenis pelayanan publik dapat diselenggarakan berbasis digital dan terintegrasi sedemikian rupa sehingga pelayanan publik menjadi lebih optimal.
Secara spesifik, ASN milenial yang akrab dengan teknologi harus mengambil posisi yang selalu haus akan ilmu pengetahuan untuk meningkatkan wawasan dan keterampilan di manapun, kapanpun, dan situasi apapun.
Digital Governance di Reformasi Birokrasi
Dalam Indeks Reformasi Birokrasi, salah satu indikator penting yang diukur adalah skor Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Presiden pun telah mendorong adanya transformasi digital melalui Peraturan Presiden No. 95 Tahun 2018 tentang SPBE ini, yang bertujuan menciptakan tata kelola pemerintah terintegrasi antar kementerian dan lembaga.
PP No. 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia juga dibuat sebagai upaya pemerintah membenahi kondisi data yang tidak terstandar, parsial, dan tumpang tindih (Bappenas, 2020). Tanpa adanya satu data yang terintegrasi maka pelayanan yang diberikan tidak akan efektif, seperti permasalahan yang terjadi pada data kemiskinan di Indonesia (Aji Nugroho & Fitri Azmi, 2021).
Reformasi birokrasi menuju digital governance dapat dimaknai sebagi keinginan atau dorongan yang dibuat agar terjadi perubahan atau transformasi di bidang administrasi atau dikenal dengan the artificial inducement of administrative transformation against resistance. Penyempurnaan dan peningkatan kinerja melalui adopsi teknologi menjadi salah satu poin utama.
Ada empat faktor pendorong yang penting dalam proses terjadinya reformasi birokrasi menuju digital governance.
- Pertama, adanya kebutuhan melakukan perubahan dan pembaruan dengan mengadopsi perkembangan teknologi.
- Kedua, mampu memahami perubahan lingkungan strategis nasional.
- Ketiga, memahami perubahan yang terjadi di lingkungan strategis global. Pengaruh global di tahun 2022 ke depan masih berkaitan soal perubahan teknologi yang juga berperan penting dalam manajemen sumber daya manusia.
- Faktor keempat, memahami perubahan yang terjadi dalam paradigma manajemen pemerintahan. Desentralisasi, otonomi, demokrasi, akuntabilitas publik, transparansi, dan ditegakkannya hukum merupakan dorongan yang kuat terhadap lahirnya perubahan dalam manajemen pemerintahan ini.
Epilog: Memanfaatkan Momentum
Indonesia bisa memanfaatkan bonus demografi yang ada. Pengelolaan SDM dengan kerangka menuju SMART ASN sebagai fondasi menjalankan roda digital governance menjadi kunci penting.
Adopsi teknologi di berbagai sektor pelayanan publik dan didukung dengan SDM yang memiliki kemampuan adaptasi digital yang tinggi, diharapkan mampu meningkatkan daya saing tata kelola pemerintahan kita.
Dengan manajemen yang terarah, kolaborasi antara adaptasi teknologi informasi dan pencetakan SMART ASN bisa menjadi motor penggerak perubahan menujudu cita-cita World Class Bureaucracy 2045.
Mahasiswa Program Doktoral FIA UB dan lulusan Magister Administrasi Publik UGM. Saat ini bekerja sebagai dosen STIA LAN Jakarta.
0 Comments