Penulis | : | Ide J Tito |
Penerbit | : | Pergerakan Birokrat Menulis |
Tebal Buku | : | 264 hlmn (dalam bentuk buku elektronik) |
Harga | : | Silakan memberikan donasi sukarela untuk pergerakan birokrat menulis. |
Pemesanan | : | Hubungi WhatsApp dengan klik link bit.ly/haloBM |
Sinopsis | : | Einstein pernah mengatakan,‘The world will not be destroyed by those who do evil, but by those who watch them without doing anything’. Quotes yang sangat popular tersebut telah memberikan inspirasi bagi banyak orang untuk melakukan sebuah ‘perlawanan’, perlawanan atas ketidakadilan, atas ketidakberesan, atas ketidakpedulian, dan atas segala hal-hal yang mengganggu keseimbangan. Ruh dan semangat untuk melawan tersebut terasa begitu sulit untuk ditemukan. Dalam banyak hal, seseorang lebih memilih untuk diam dan menyimpannya dengan rapi, dari pada melakukan pemberontakaan atas fakta yang mereka hadapi. Begitu juga dengan korupsi, semua orang menentang, tapi hanya segelintir yang berani menanggung risiko untuk meneriakkan suara kebenaran. Mengapa demikian? Buku yang merupakan pengembangan dari hasil penelitian penulis pada saat menempuh pendidikan lanjutan ini mencoba menawarkan jawabannya. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa salah satu faktor penting yang mempengaruhi efektivitas strategi pemberantasan korupsi adalah kepedulian para pihak yang berkepentingan dengan organisasi. Kepedulian tersebut terbentuk dari terbangunnya sensitivitas etis terhadap permasalahan korupsi yang diikuti dengan kompetensi etis pegawai, pimpinan, pelanggan, penyedia barang dan jasa, pengguna jasa, dan masyarakat umum untuk dapat menilai situasi yang sedang dihadapi, menemukenali perilaku koruptif dan menyusun strategi untuk menghadapinya. Konflik nilai, dilema etis, dan berbagai justifikasi moral selalu mengiringi keputusan untuk berdiam diri atau menjadi whistleblower. Keteguhan moral (perseveransi etis) menjadi prasyarat berikutnya agar kepedulian tersebut termanifestasi dalam bentuk menjadi whistleblower yang konstruktif. Untuk mengembangkan perilaku whistleblowing yang konstruktif tersebut diperlukan sistem whistleblowing yang efektif. Perilaku whistleblowing yang sering dipandang oleh masyarakat sebagai manifestasi dari pembangkangan perlu diubah menjadi perilaku kepatuhan terhadap norma agung yang dijunjung bersama. Demikian juga dengan whistleblowing yang sering bersifat destruktif bagi organisasi perlu diubah menjadi konstruktif. Perubahan dari pembangkangan destruktif menjadi kepatuhan konstruktif itulah yang menjadi tujuan buku ini. Terbangunnya pola pikir whistleblowing sebagai perilaku kepatuhan konstruktif tersebut diyakini mampu membalikkan arah putaran menuju proses denormalisasi korupsi. Perilaku koruptif yang terlanjur dipahami sebagai perbuatan yang diperbolehkan, diijinkan bahkan diotorisasi oleh pimpinan organisasi dan tingginya pengorbanan yang ditanggung apabila tidak melakukan korupsi, serta tingginya pengorbanan yang ditanggung pegawai apabila melakukan whistleblowing perlu dihadapi oleh para wirausaha institusional anti – korupsi. Whistleblower adalah salah satunya. Langkah awal mengembangkan perilaku whistleblowing konstruktif adalah dengan memahami konsep whistleblowing secara utuh, memahami proses pengambilan keputusan whistleblowing dan mengidentifikasi faktor – faktor yang mempengaruhinya. Pemahaman yang tepat mendorong kebijakan yang tepat pula. Langkah selanjutnya adalah mengoperasionalisasikan kebijakan tersebut ke dalam sistem whistleblowing sebagai bagian dari manajemen risiko korupsi. Sistem tersebut diharapkan tidak hanya mampu menangani pelanggaran yang terjadi namun juga dapat melindungi whistleblower. Whistleblowing yang konstruktif akan menciptakan iklim etis dalam organisasi, meningkatkan komitmen organisasional dan mendukung efektivitas manajemen risiko korupi. Untuk itulah buku ini hadir. Selain kembali menjelaskan konsepsi whistleblowing secara lebih utuh, pembaca juga akan melihat bagaimana konteks whistleblowing mampu membongkar budaya paternalistik melalui suatu sistem tandingan. Pembaca juga akan menyaksikan dalam buku ini bahwa whistleblowing bukan hanya sebuah simbol yang melahirkan segenap identitas bagi si whistleblower, tetapi lebih kepada sebuah praktik yang dibangun dari nilai-nilai baru yang disepakati oleh komunitas dalam organisasi. Ibarat memukul kentongan, kentongan dipukul melalui kegiatan ronda yang memang telah menjadi kegiatan rutin dan disepakati bersama, bukan kegiatan yang insidental dan sembunyi-sembunyi. Kentongan dipukul oleh orang yang memang telah mendapatkan dukungan, bukan dipukul oleh orang yang berjuang sendirian. |
Versi e-book dapat dibaca juga di sini: Whistleblowing (Ide J. Tito, 2019)
3
0
bagus materinya
kentongan dalam ronda lebih sering dipukul ketika berhadapan dengan sesuatu kejahatan dari luar,
sedangkan konsepsi whistleblowing lebih kepada lawan yang berasal dari dalam.
dari dulu hingga sekarang dan masa depan yang namanya musuh dalam selimut hampir selalu lebih sulit dihadapi daripada musuh dari luar selimut.
hal ini diperburuk oleh “kepala desa” yang pura-pura setuju untuk memberantas korupsi tetapi pada kenyataannya tidak konsisten ketika berhadapan dengan sesuatu yang mengganggu kepentingannya sendiri.