Masih hangat berita tentang Bupati Kudus, M. Tamzil, yang tertangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sebuah Operasi Tangkap Tangan (OTT) beberapa waktu yang lalu. OTT yang berlangsung pada hari Jumat 26 Juli 2019 ini terkait dengan jual beli jabatan. Sejumlah barang bukti dan beberapa orang ikut diamankan oleh KPK guna diperiksa lebih lanjut.
Menurut saya, kasus ini cukup menarik untuk dibahas mengingat terdapat beberapa hal yang cukup mengejutkan sekaligus kontradiktif yang terjadi di balik korupsi jual beli jabatan ini.
Mantan Koruptor
M. Tamzil pernah menjabat sebagai Bupati Kudus pada periode 2003-2008. Ia terbukti terlibat dalam kasus korupsi dan dijatuhi vonis pidana selama 22 bulan pada Februari 2015. Meskipun begitu, pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) Tahun 2018 dirinya kembali mencalonkan diri dan terpilih sebagai Bupati Kudus periode 2018-2023.
Logika atau akal sehat saya seolah tak percaya saat M. Tamzil, seorang mantan koruptor, mencalonkan diri kembali sebagai kepala daerah dan kemudian terpilih. Polemik mengenai mantan koruptor yang kembali mencalonkan diri sebagai pejabat publik memang masih bergulir.
Berbagai dalih diutarakan untuk membenarkan dan memberi kesempatan bagi mantan koruptor untuk kembali menduduki jabatan publik. Kini masyarakat terkejut dan kecewa setelah mantan koruptor yang terpilih sebagai kepala daerah kembali ditangkap dalam kasus korupsi.
Penyebab Korupsi
Banyak yang bertanya mengapa KPK selalu melakukan OTT? Apakah tidak ada upaya pencegahan dalam sistem pemerintahan? Apakah tidak ada early warning terlebih dahulu? Berapa ongkos demokrasi yang ‘hangus’ saat kepala daerah terpilih kemudian ditangkap KPK? Mengapa seorang mantan koruptor mengulangi perbuatannya? Apakah koruptor tidak jera setelah diberi hukuman?
Untuk menjawab pertanyaan di atas kita dapat mengambil teori tentang penyebab seseorang melakukan korupsi, di antaranya yang cukup komprehensif ialah pendapat dari Wolfe dan Hermanson mengenai Fraud Diamond Theory .
Teori itu menyebutkan sebab orang melakukan korupsi karena empat faktor, yakni tekanan (pressure), kesempatan (opportunity), rasionalisasi (rationalization), dan kemampuan (capability).
Ongkos Politik
Penyebab pertama terjadinya korupsi adalah karena munculnya tekanan (pressure). Tekanan ini dapat berasal dari internal atau eksternal diri si pelaku.
Dalam kaitan kasus tersebut, sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap pencalonan seseorang sebagai kepala daerah membutuhkan dana yang tidak sedikit. Besarnya dana yang dikeluarkan dan bersumber dari “sponsor” ini seringkali menyandera para calon terpilih untuk berusaha memberikan kompensasi terhadap para penyandang dana.
Rupanya, ongkos politik yang mahal memberikan tekanan pada calon kepala daerah, sekaligus menjadi peluang bagi para pemodal besar untuk memainkan bidak dalam percaturan Pilkada.
Tata Kelola Tidak Buruk
Kedua, faktor penyebab korupsi adalah kesempatan (opportunity). Peluang yang memungkinkan korupsi terjadi dapat disebabkan oleh lemahnya pengawasan. Jika kita bicara korupsi di pemerintah daerah (pemda), maka pengawasan yang paling berperan seharusnya adalah pengawas internal, yakni inspektorat.
Dalam hal pengawasan, sebetulnya Inspektorat Kabupaten Kudus telah dinyatakan oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) memiliki kapabilitas level 3, artinya secara kelembagaan inspektorat mempunyai kemampuan yang baik dalam fungsi pengawasannya. Bahkan, inspektorat Kabupaten Kudus telah memiliki Piagam Audit Charter yang isinya merupakan jaminan independensi atas pengawasan.
Lagi pula, Pemda Kabupaten Kudus juga telah menerapkan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) dengan tingkat maturitas (tingkat kematangan proses) di level 3, yang berarti SPIP telah berjalan cukup baik di Pemda Kudus.
Selain itu, penghargaan juga diperoleh dalam hal pelaksanaan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) yang mendapatkan nilai B. Penilaian terhadap Laporan Keuangan Pemda Kudus juga mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Terakhir penilaian dari KPK terhadap pelaksanaan Program Koordinasi Supervisi dan Pencegahan (Korsupgah) pada April 2019 telah mencapai progres 80%, yang artinya program Korsupgah KPK telah berjalan baik di Pemda Kudus.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kondisi tata kelola dan proses pengawasan di Kabupaten Kudus saat ini sebenarnya tidak buruk.
Budaya Permisif
Namun masih ada faktor ketiga penyebab korupsi, yakni, rasionalisasi (rationalization). Rasionalisasi merupakan pemikiran yang memengaruhi pelaku yang kemudian ia mampu menjustifikasi (membenarkan) tindakannya sebagai suatu perilaku yang wajar, yang secara moral dapat diterima dalam suatu masyarakat yang normal.
Budaya permisif terhadap korupsi yang semakin mengkhawatirkan di masyarakat dapat mendorong pemikiran M. Tamzil untuk kemudian menganggap dirinya bukan seseorang yang sepenuhnya bersalah.
Budaya permisif terhadap korupsi yang mengkhawatirkan ini diketahui dari indeks yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Badan tersebut merilis Indeks Perilaku Korupsi yang menyatakan bahwa masyarakat semakin permisif terhadap korupsi.
Sikap permisif yang ditunjukan M. Tamzil setidaknya terlihat sejak mengangkat seorang Staf Khusus bernama Agus Soeranto yang juga pernah dijatuhi hukuman dalam kasus korupsi semasa ia masih menjabat sebagai Kepala Biro Keuangan di Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Agus Soeranto, kemudian alih-alih memberi masukan yang baik kepada Bupati, ia justru ikut ditangkap dalam OTT KPK.
Kelihaian Pelaku
Faktor keempat, yakni kemampuan (capability), merupakan kondisi seseorang yang memiliki kemampuan yang cukup untuk melakukan tindakan korupsi. Dalam hal ini yang bersangkutan sebagai Bupati, memiliki posisi yang cukup strategis untuk mampu melakukan berbagai keputusan.
Selain itu, kemampuan berupa kecerdasan untuk melihat celah, dilengkapi dengan ego atau keyakinan yang tinggi bahwa perbuatannya tidak akan terungkap, menjadikan faktor kemampuan ini semakin lengkap. Mungkin karena ia sebagai bupati dan memiliki pengalaman yang cukup sebagai mantan koruptor membuat ia percaya diri, sehingga mendorong ia untuk kembali melakukan korupsi di antara celah sistem yang ada.
Jika kita lihat bagaimana kasus korupsi lelang jabatan ini bermula, sebenarnya sudah terasa janggal di awal. Kasus ini bermula saat Pemda Kudus melakukan lelang jabatan untuk beberapa Kepala Dinas melalui pengumuman Panitia Seleksi Nomor 04/Pansel-JPT/IV/2019.
Pengumuman hasil akhir seleksi yang mestinya pada tanggal 31 Mei 2019 mundur tanpa kejelasan. Dari sini sepertinya ia membuat celah yang kemudian dimanfaatkan M. Tamzil dengan baik untuk melakukan berbagai penyimpangan dalam lelang jabatan.
Bukan jaminan
Dari berbagai penjelasan di atas, dapat kita lihat bahwa Kabupaten Kudus sebetulnya telah memiliki sistem pencegahan korupsi yang baik, dan justru beberapa kali mendapat penghargaan. Namun demikian, masih saja terdapat praktik korupsi di dalamnya.
Sama halnya dengan Kudus, di Kementerian Agama (Kemenag) beberapa waktu lalu juga terjadi kasus jual beli jabatan, padahal berbagai penghargaan mulai dari WTP hingga penerapan Wilayah Bebas Korupsi (WBK) juga sudah berjalan.
Dengan demikian, dapat kita lihat bahwa sistem pencegahan yang baik belum menjamin sebuah pemerintahan akan terbebas dari korupsi. Bagaimanapun juga, komitmen dan integritas para pejabat dan birokratnya sangat mutlak dibutuhkan untuk mencegah korupsi.
Epilog
Seorang reformis asal Tiongkok bernama Wang Anshih mengatakan bahwa pemberantasan korupsi tidak bisa hanya mengandalkan sistem hukum sementara para pejabat bukanlah orang yang memiliki integritas.
Di sisi lain, sebaik apapun sistem pencegahan korupsi dalam pemerintahan ujung kendalinya ada pada pimpinan tertinggi, dalam hal ini adalah kepala daerah. Tanpa kepala daerah yang mampu menunjukan komitmen terhadap pemberantasan korupsi, maka sistem hanya sebatas slogan dan hiasan kata di baliho.
Saya berharap, semoga semakin banyak yang akan belajar dari kasus ini. Jangan berikan kesempatan bagi para koruptor, dan berantaslah korupsi mulai dari diri sendiri. Bagi para pejabat pemerintahan, tidak perlu Anda membanggakan diri dengan sederet penghargaan dalam pencegahan korupsi, jika perilaku Anda di dalam sistem belum memiliki integritas.
Mari Berjuang!
ASN di Inspektorat Provinsi Jawa Tengah sejak tahun 2011. Sejak mahasiswa aktif di organisasi ekstra kampus. Dengan bekal ini Penulis masih menyimpan api idealisme dalam menjalankan tugasnya sebagai ASN. jalan birokrasi adalah jalan perjuangan.
mulailah dari diri sendiri dulu.. sudahkah kita melaporkan skp online kita dengan jujur?
Yupp betul skali.. Bnyak hal yg bs kt mulai 🙂