Minum kopi di sebuah kafe atau kedai kopi sudah menjadi sebuah tradisi orang kota saat ini. Para pekerja, mahasiswa, atau siapa saja bisa berkumpul, dan berdiskusi tentang apapun. Mereka bahkan juga sambil bekerja, membuka laptop, mengetikkan isi pikiran.
Kedai kopi yang sering saya singgahi ada di sekitaran Jakarta Pusat. Selain karena dekat kantor, di sana banyak kawan yang juga biasa berkumpul untuk sekedar mengobrol atau janji membahas sesuatu yang menarik atau sebaliknya, belum tentu menarik juga.
Kawan saya, sebut saja namanya Kohar, mengajak bertemu pagi itu di kedai kopi tersebut.
“Bro, kita jumpa yuk. Sudah lama kan kita tidak bertemu selama pandemi Covid-19 ini?”
“Ok”, begitu saya balas pesan WhatsApp-nya.
Sesampainya di kedai kopi, Kohar langsung memesan segelas kopi kesukaannya.
“Mba, kopi ya, biasa”
dan selanjutnya dia berbisik ke telinga saya,
“Bro, nanti bayari kopi saya yah”, bisiknya pelan.
Saya pun merespons “iya, pesan saja”.
Saya menjawabnya sambil mengecek isi dompet, apakah kira-kira cukup untuk bayar berdua.
“Sepertinya cukup, dalam dompet saya tersisa dua lembar lima puluh ribuan dan satu lembar dua puluh ribuan”, gumam saya dalam hati.
Di kampungnya, Kohar adalah seorang konsultan kebijakan publik. Dia mengeluh selama pandemi penghasilannya menurun drastis. Kantor konsultan publiknya terpaksa tutup karena tidak ada order, tidak ada lagi kantor pemerintah daerah yang menggunakan jasanya. Itulah alasannya berangkat ke Jakarta mengadu nasib.
Untungnya, Kohar masih seperti dulu, rajin mencermati perkembangan isu-isu aktual. Dia membuka obrolan tentang daya beli masyarakat yang kian menurun selama pandemi, karena berkurangnya penghasilan. Obrolan bersamanya memang selalu menarik.
Di kampungnya, kata Kohar, banyak kawan-kawannya yang beralih pekerjaan, karena sektor jasa hampir benar-benar mati.
“Jadi yang penting sekarang bertahan hidup saja dulu. Alhamdulillah masih dapat bantuan sosial berupa beras, gula, minyak goreng, dan beberapa bungkus mie”, ucap Kohar.
Saya menimpali,
“Bagaimana tidak. Selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan, otomatis orang relatif lebih banyak di rumah, jam kerja kantor dalam seminggu dikurangi menjadi setengahnya, begitu juga jumlah kehadiran pegawai. Otomatis produksi barang dan jasa berkurang, pendapatanpun banyak yang hanya menerima setengahnya”, balas saya, yang di-iyakan oleh Kohar.
Tidak terasa obrolan kami sudah berlangsung dua jam lebih. Cukup lelah berdiskusi apalagi dengan tetap menggunakan masker dan berjaga jarak. Suara yang keluar harus lebih keras, biar tetap terdengar sempurna, karena kalau tidak bisa salah paham, atau salah memaknai, sehingga bisa jadi tidak nyambung. Tetapi Kohar masih ingin berdiskusi, masih bersemangat, memprediksikan bagaimana daya beli masyarakat di tahun 2021 nanti.
Ada yang menarik. Meskipun sudah berjam-jam duduk, kopi Kohar masih terminum sedikit, kira-kira belum sampai seperlima dari isi gelas. Sedangkan kopi saya sudah hampir habis, tersisa ampas.
“Mas, silakan minum kopinya. Itu masih penuh”, ujar saya.
Kohar cuek, tidak merespons dan masih terus bersemangat berbicara.
“Semoga vaksin digratiskan untuk rakyat Indonesia, cocok ya bro. Biar kita bisa bangkit dan ada daya beli”, doanya penuh harap. Saya pun mengamini.
Tak lama kemudian, saya menyudahi diskusi. Ada pekerjaan yang harus dituntaskan. Waktu juga sudah menjelang siang. Tetapi sekali lagi, saya melirik kopi Kohar masih tersisa banyak.
“Mas, itu kopi dihabisin sih. Sayang loh”, kejar saya.
Kohar tersenyum dan sesaat kemudian berteriak memanggil pelayan.
“Mba-mba, kopi saya, saya titip dulu yah! Nanti sore saya kembali lagi. Sudah dibayar kan?”
Kohar bertanya sambil meyakinkan bahwa kopinya sudah dibayar.
Saya terkejut, kenapa tidak dihabisi saja, nanti sore kan kalau mau datang lagi tinggal pesan saja. “Kenapa tidak dihabisi saja kopinya bro, apa enak nanti dingin?” tanya saya.
Kohar hanya diam dengan sedikit senyum tersungging di wajahnya.
Mba pelayan kedainya pun akhirnya membawa kopi Kohar ke dapur untuk disimpan, dan kelak akan disajikan lagi sore hari saat Kohar kembali. Yang menariknya, jika dia datang kembali pada sore hari, Kohar minta kopi tersebut dihangatkan kembali. Tentu secara gratisan, karena baginya hanya sekedar menghangatkan saja.
Menurut pengakuan beberapa pelayan, sejak pandemi Kohar memang mengirit kopi. Satu cangkir bisa buat pagi dan sore. Satu cangkir kopi bagi Kohar bisa untuk melayani beberapa kawan atau lawan diskusi.
Langkah Kohar mengejutkan banyak kawannya. Kohar seperti orang bangkrut, untuk membeli segelas kopi saja tidak mampu. Alhasil banyak yang membicarakan nasib Kohar, karena yang dilakukan tidak umum dan mungkin terasa janggal. Bagaimana bisa satu cangkir kopi untuk pagi dan sore.
Mungkin hampir tidak ada kafe atau kedai kopi bahkan kelas warkop sekalipun di dunia ini yang mendapatkan pelanggan model Kohar. Jikapun ada, sisa kopi tidak ditinggal sampai sore, paling sekedar tiga puluh menit hingga paling lama satu jam. Rata-rata ditinggal sementara ke toilet, pergi sholat atau untuk keperluan sebentar.
Sebenarnya pelayan kedai kopi sudah mulai bosan dengan kelakuan Kohar. Tetapi apa boleh buat, dari pada kehilangan seorang pelanggan. Apalagi dia termasuk pelanggan setia. Waktu sebelum pandemi, Kohar banyak membelanjakan uangnya di kedai ini, dan dia termasuk royal memberikan tips kepada pegawai dan pelayan kedai kopi.
“Kami maklum dengan kondisi Kohar sekarang, yang terpenting dia tetap ngopi di tempat ini dan tidak pindah ke lain hati”, tutur salah satu pemilik kedai menanggapi rumor soal Kohar.
Jadi obrolan kami sepanjang waktu tadi mengenai menurunnya daya beli masyarakat di saat pandemi Covid-19 ternyata sangat terasa menimpa Kohar. Sampai-sampai dia meminta “keringanan” pelayan kedai agar satu gelas kopi bisa jadi dua sesi.
Bagi Kohar yang hobi nongkrong berdiskusi setiap hari di kedai kopi, cara demikian paling baik. Kalau tidak menempuh cara itu, dia bisa keluar uang dua kali lipat. Kohar cukup “cerdas” menyiasati kondisi keuangannya yang lagi kurang baik. Segala cara bentuk penghematan dia lakukan.
Dan yang tidak kalah bijaknya adalah pemilik kedai. Sepertinya mereka menerapkan sistem kekeluargaan dalam pengelolaan usahanya itu, seraya sambil menjaga trust terhadap customer. Mereka memberikan kesempatan bagi Kohar atau mungkin siapapun yang datang, untuk terpaksa menempuh jalan demikian di tengah kondisi seperti sekarang.
0 Comments