Medio Februari 2021, jagat maya dihebohkan viralnya tayangan warganet bernama Tain yang menggunggah video pendek fenomena sindrom orang-orang kaya baru di Desa Sumurgeneng, Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Dikatakan demikian, karena mereka mendapat uang ganti untung atas tanah miliknya yang dilelang Pertamina untuk proyek kilang minyak. Rata-rata, setiap warga mengantongi uang 8 miliar rupiah.
Fenomena sindrom orang kaya baru itu dirasakan kebahagiaannya oleh 225 keluarga di Desa Sumurgeneng. Mereka membeli mobil baru untuk merayakan naiknya kasta sosial menuju kelompok menengah atas. Sudah menjadi rahasia umum, mobil dimitoskan menjadi penanda visual modernitas bagi kasta sosial menengah ke atas.
Atas fakta sosial semacam itu, mereka berduyun-duyun membeli tunai 176 mobil baru sesuai merek kesukaannya. Hal itu dilakukan guna mengukuhkan dirinya sebagai orang kaya yang hidup dalam peradaban modern.
Ternyata, sindrom orang kaya baru tidak hanya terjadi di Desa Sumurgeneng. Di Jawa Barat, tepatnya di Desa Kawungsari, Kabupaten Kuningan, sindrom orang kaya baru juga menjangkiti warga di sana. Mereka yang berbahagia mendapatkan uang ganti untung dari proyek Waduk Kuningan atas penjualan tanah miliknya, diekspresikan dengan membeli sepeda motor dan mobil baru. Bagi mereka, memiliki mobil dan sepeda motor diyakini menjadi penanda visual atas kekayaan dan status sosial baru yang disandangnya.
Peristiwa di Jawa Timur dan Jawa Barat ini ternyata setali tiga uang dengan kejadian di Desa Kapungan, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Fenomena sindrom orang kaya baru berlabuh di Desa Kapungan. Mereka merasakan kebahagiaan tiada tara, karena tanah miliknya dibeli pemerintah secara ganti untung untuk kelancaran pembangunan Jalan Tol Solo-Yogyakarta.
Sindrom Boros
Fenomena sindrom orang kaya baru yang melanda beberapa desa di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur tersebut, dalam perspektif budaya visual, merupakan fakta sosial yang memosisikan bangsa Indonesia sebagai bangsa konsumen. Hal ini juga memperkuat adagium jebakan komodifikasi keinginan. Apalagi, komodifikasi keinginan senantiasa dikumandangkan sebagai mitos ekonomi-sosial di zaman peradaban modern.
Mitos itu menggariskan kesepakatan semu. Agar diakui sebagai orang modern, mereka harus mengonsumsi produk barang dan jasa berlabel modern yang diproduksi produsen jaringan kapitalisme global. Mitos seperti ini langsung disambar orang kaya baru yang mendapatkan uang milyaran rupiah tanpa bekerja keras. Hal itu dilakukannya demi sebuah proses aktualisasi diri sebagai bagian dari masyarakat konsumen yang hidup pada peradaban modern.
Pada bagian lain, penderita sindrom orang kaya baru juga diserang penyakit baru berjuluk sindrom boros. Virus ini menyerang akal pikiran dan nalar perasaannya. Sindrom boros menyetel korbannya senantiasa berpikir instan dan bertindak pragmatis. Dari sana lahirlah generasi boros. Cirinya, mereka senang bersiasat jangka pendek dengan menisbikan jalinan sebuah proses.
Copy-paste dari Birokrat
Sindrom boros semakin mendapatkan lahan subur akibat contoh yang diberikan pejabat penyelenggara negara dan wakil rakyat. Mereka bekerja sebagai birokrat sambil memamerkan gaya hidup mewah, modern, konsumtif dan hedonistik.
Ironisnya, mereka tidak memosisikan dirinya sebagai pelayan masyarakat yang mampu mengentaskan rakyatnya dari derajat kemiskinan: menyediakan lapangan pekerjaan guna mengurangi pengangguran, menyediakan sarana dan prasarana kesehatan agar masyarakat terjamin kesehatannya.
Contoh buruk itu di-copy-paste generasi boros. Dampak psiko-sosialnya, mereka meninggalkan aspek moralitas dan spiritualitas. Mereka menanggalkan adat istiadat dan kearifan lokal penjaga nurani bhinneka tunggal ika.
Kuasa Uang
Di dalam potret rumah tangga modern, sindrom tabiat boros menampakkan wajah buruknya. Hal itu diyakini sebagai sublimasi orang tua yang tidak mampu mendampingi anaknya secara maksimal. Mereka yang bekerja di luar rumah lebih 6 jam sehari cenderung mewujudkan naluri kasih sayang pada anaknya dengan sikap permisif.
Di sisi lain, tabiat boros dipicu jebakan kuasa uang yang dimitoskan menyelesaikan segalanya secara egaliter. Akibatnya, mereka memenuhi seluruh permintaan anaknya: memberikan uang jajan dalam jumlah berlebih, juga membelikan barang konsumtif yang tidak dibutuhkan anaknya.
Dampak dari jebakan kuasa uang menyebabkan anak gampang menghamburkan uang sogokan dari orang tuanya. Hal itu dilakukannya demi memenuhi gaya hidup hedonisme modern. Mereka boros membelanjakan uangnya untuk sesuatu yang bersifat hura-hura dan menghibur.
Mereka menjadi konsumen potensial untuk produk industri hiburan, industri tontonan, fashion, elektronika, otomotif, telepon pintar, kuliner cepat saji, rokok, bahkan narkotika, dan psikotropika lainnya.
Mereka sangat paham dan hafal akan berbagai merek yang dikategorikan berkelas lengkap dengan fitur keunggulannya. Mereka sangat mendewakan harta duniawi. Mereka pemuja konsumerisme dan hedonisme. Mereka pun secara serentak memiliki seloka: “Ketika muda hidup senang serta berfoya-foya, setelah tua meninggal dan masuk surga.”
Bom Waktu
Sifat boros yang dipertontonkan pejabat penyelenggara negara, pejabat publik, wakil rakyat, dan orang tua yang super sibuk dalam perkembangannya memendam bom waktu. Setiap saat mudah meledak. Tanda penampakan visual ledakannya menggantung di pelupuk mata.
Hal itu terlihat ketika generasi boros menunjukkan tabiat malas. Mereka enggan mengolah potensi rasa dan karsa menjadi karya nyata yang mewarnai jagat raya. Dampaknya, Indonesia menjadi bangsa yang lembek daya juangnya. Bangsa yang mudah dikibuli negara asing. Kita menjadi bangsa yang mudah bingung dan tersinggung karena tidak punya potensi dan jati diri yang kuat.
Generasi muda korban indoktrinasi sikap boros cenderung tidak mau berpikir panjang. Mereka tidak menganggap penting proses alamiah dalam kehidupan demi menuju proses pendewasaan diri. Mereka menjadi sekelompok generasi instan yang maunya serba beres, enak, bebas tanpa kendali, menyenangkan, dan tampak modern. Mereka menjadi generasi cuek, santai, abai akan masa depan, dan lingkungan hidupnya.
Keseimbangan Hidup
Tabiat boros dan jebakan kuasa uang harus segera dihentikan! Minimalnya dikurangi. Ketika dalam hidup dan kehidupan ini lebih mengedepankan borosisme, mengumbar energi negatif demi kesenangan sesaat, maka wacana ketidakseimbangan hidup dan kehidupan ini sejatinya sedang memanggang tubuh kita.
Analoginya, tubuh kita seolah lapar, merasakan haus dan dahaga. Atas kehendak lapar dan haus seperti itu wajib dipenuhi secara egaliter. Agar tampak modern dan bertampang orang kaya, para pengabdi kuasa uang dan tabiat boros harus membelanjakan uangnya untuk mengonsumsi berbagai layanan jasa dan produk barang modern.
Celakanya, hampir semua pengadaan produk barang dan layanan jasa dilakukan dengan mengeksploitasi alam raya secara serampangan.
Harus diingat, hidup ini hanya mampir ngombe alias sesaat. Untuk itu, supaya terjadi keseimbangan antara kebutuhan material dan spiritual, sudah saatnya mengedepankan pola hidup sederhana, hemat, eling lan waspada. Terpenting, semestinya kita selalu memupuk rasa solidaritas serta gotong royong demi mewujudkan sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
(Artikel ini telah dimuat di kolom Opini Kumparan https://kumparan.com/kumparan-plus/sindrom-orang-kaya-baru | pada tanggal 2 Maret 2021)
Pengajar Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, dikenal juga sebagai ‘Doktor Pemulung Sampah Visual’. Selain menjadi dosen dan motivator, juga aktif menjadi penulis buku dan artikel semiotika komunikasi visual, seni visual, dan budaya visual, desain grafis, desain komunikasi visual, dan desain iklan di berbagai jurnal, katalog pameran, website, weblog, koran lokal, dan surat kabar nasional. Beberapa di antara buah pikirnya dituliskan di https://sumbo.wordpress.com
0 Comments