Agenda pemilihan umum yang digelar lima tahun sekali, telah hampir selesai dilaksanakan. Meskipun hari pemungutan suara telah lama berlalu, namun ia masih meninggalkan ‘jejak’ perdebatan, terlebih pada segmen pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Tentunya kita berharap efek pascapemilu ini tidak akan berlarut-larut dan memicu perpecahan. Pada pilpres 2014 dan 2019 misalnya, ketika kedua paslon mengklaim kemenangan masing-masing.
Klasifikasi masyarakat terbelah menjadi dua; ada yang memilih percaya kepada klaim paslon yang didukung, ada pula yang memilih menunggu hasil real count.
Dalam tahap selanjutnya, biasanya muncul golongan-golongan yang belum bisa ‘move on’ dari pemilu. Pasca pemilu, muncul istilah cebong, kampret, kadrun, dan lain sebagainya.
Adanya sikap tidak menerima kondisi sesungguhnya, yakni bagi pihak yang tidak menerima kekalahan, ataupun bagi pihak yang terlalu larut dalam euforia kemenangan, yang kini banyak ditunjukkan oleh masyarakat, bila dibiarkan akan mengubur cita-cita demokrasi Indonesia yang sesungguhnya.
Tampaknya, kondisi ini berseberangan dengan semangat demokrasi yang dulu dijunjung setengah mati oleh kita sendiri. Semoga pasca pemilu 2024 ini, tidak akan muncul istilah yang serupa, yang menunjukan keterbelahan masyarakat.
Vote for the Lesser Evil
Dalam mekanisme demokrasi, kita menyadari sulit menemukan pemimpin yang sempurna seperti malaikat, karena kita dihadapkan pada pilihan yang terbatas. Terbatas pada apa yang disodorkan oleh partai politik.
Di samping itu, masyarakat tidak tahu betul transaksi kepentingan apa saja yang berlangsung di balik layar.
Bukan skeptis atau pun prasangka buruk, tetapi kenyataannya memang demikian.
Sebagian besar masyarakat hanya memilih berdasarkan apa yang mereka lihat. Itu pun masih jauh lebih baik daripada sebagian masyarakat lainnya yang memilih berdasarkan, “yang penting bukan a,” atau, “yang penting bukan b”.
Dalam pandangan penulis, sebagian dari kita terlalu sibuk menentukan yang terbaik dari yang ada, bukan menentukan yang terbaik dari yang terbaik.
Barangkali, sebagian orang akan menanggapi, “jangan menjadi terlalu idealis, nyatanya paslon yang ada memang tiada yang memiliki kapabilitas yang cukup untuk menjadi pemimpin”.
Sebut saja tanggapan tersebut benar, maka selaku masyarakat biasa yang secara fakta tidak bisa berbuat lebih selain mencoblos pada hari H pemilu, kita perlu merefleksi diri, apakah kita memilih untuk menghasilkan situasi politik yang lebih baik atau sebatas demi menjadikan politisi yang kita dukung memegang kendali terhadap pemerintah?
Sebagai warga negara biasa yang awam akan ilmu politik, penulis tidak laik menentukan mana yang lebih jahat; politik atau politisi. Satu hal, penulis hanya beranggapan bahwa politik telah memberikan dua batas, yakni etika dan hukum.
Ketika kedua batas tersebut dilampaui, sejatinya politisi-lah yang patut disalahkan, bukan politik itu sendiri.
Ibaratnya, sebuah kompor tidak akan berbahaya ketika seorang koki mengoperasikannya sesuai langkah penggunaan yang telah diatur oleh produsen kompor. Hal yang sama juga berlaku dalam berlangsungnya proses politik.
Maka, batas etika dan hukum dalam politik dapat menjadi alternatif dasar penentuan pemimpin oleh masyarakat secara umum. Tidak terkecuali bagi anak muda.
Anak Muda dan Ketertarikan Politik
Menurut survei yang dilakukan oleh Katadata Insight Center (KIC), yang dirilis jelang pemilu tahun 2024, dari 1.005 responden anak muda Indonesia, 59,8% di antaranya tertarik dengan politik.
Hal ini menjadi menarik, karena bertolak belakang dengan asumsi yang terbangun selama ini di benak penulis, bahwa tingkat kepedulian warga Indonesia terhadap politik tergolong rendah.
Asumsi ini didukung oleh salah satu laporan yang dirilis oleh World Values Survey (WVS), lembaga riset internasional yang berkantor pusat di Austria.
Menurut laporan dimaksud, kepedulian warga Indonesia terhadap politik tergolong rendah bila dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya.
Dari hasil survei WVS, sepanjang tahun 2017-2022:
- hanya terdapat 19,2% responden Indonesia yang menganggap politik sangat penting.
- sebanyak 25% responden menganggap politik memiliki manfaat penting,
- 41,3% responden menganggap politik tidak terlalu penting, dan
- 12,8% menganggap politik sangat tidak penting.
Satu hal yang dapat disimpulkan dari uraian data di atas, adalah politik Indonesia mulai saat ini akan semakin banyak diisi oleh anak muda.
Persentase ketertarikan anak muda yang tinggi terhadap politik, menjadi indikasi yang jelas akan adanya pergeseran ‘nahkoda’ dalam sistem perpolitikan Indonesia.
Pada saatnya tiba, kita tidak ingin anak-anak muda malah memperparah kondisi politik yang sudah berjalan, entah itu sudah berjalan cukup baik atau pun masih cukup buruk.
Kita ingin para nahkoda politik yang akan datang ini dapat membawa kapal yang menampung seluruh masyarakat Indonesia, dan berhasil sampai ke tempat tujuan.
Untuk sampai ke sana, sedari sekarang anak-anak muda (dan tidak melupakan masyarakat umum) perlu lebih dahulu membuka mata lebih lebar, menggali informasi lebih dalam, dan bersuara dengan substansi yang lebih logis sebelum mengambil keputusan yang bersinggungan dengan politik seperti menentukan pilihan dalam pemilu.
Epilog: Partisipasi Politik Anak Muda
Namun demikian, kita juga tidak ingin bahwa ketertarikan anak muda pada politik hanya pada partisipasi elektoral dalam pemilu.
Hal yang lebih penting yaitu partisipasi anak muda dalam mengawal kinerja pemerintah. Menjadi pengamat, kritikus, analis, maupun grup penekan dari jalannya pemerintahan.
Hal ini bertujuan agar setiap kebijakan yang ditelurkan oleh pemerintah tetap dalam koridor untuk mencapai tujuan dari berbangsa dan bernegara.
Sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, yakni:
- melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
- memajukan kesejahteraan umum;
- mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
- ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Kawula muda yang tertarik dengan dunia politik, perlu menyadari adanya batas etika dan hukum dalam politik. Serta perlu terus mengasah kemampuan untuk menentukan pilihan politik dengan dasar yang lebih ilmiah.
Kelak kawula muda akan menjadi politisi yang baik. Dari situ, kita berharap politik Indonesia akan kembali ke fitrahnya, yakni politik yang baik.
Politik yang baik, timbul dari politisi yang baik. Sebaliknya, politik yang jahat, timbul dari politisi yang jahat pula.
Seorang ASN di Instansi Pemerintah Pusat yang berperan sebagai auditor. Penulis merupakan alumni PKN STAN tahun 2021. Sejak masa sekolah menengah, penulis aktif berpartisipasi dalam kegiatan organisasi dan kepanitiaan mulai dari; menjabat sebagai Ketua OSIS, menjadi LO sejumlah musisi pada acara pensi, dan beberapa kegiatan lainnya.
0 Comments