Shallow: Kedangkalan Birokrasi di Era Modern

by M. Rizal ♣️ Expert Writer | Feb 3, 2019 | Refleksi Birokrasi | 4 comments

“Lagu (Shallow) ini bercerita tentang dua insan yang saling mempertanyakan keinginan dalam kehidupannya yang serba dangkal di era modern”,  begitu kira-kira isi pidato Lady Gaga saat dirinya menerima penghargaan lagu soundtrack terbaik di perhelatan Critics Choice Award, Januari 2019 lalu.  

Sebelumnya, lagu itu telah mendapatkan penghargaan pada ajang Golden Globe Award, Desember 2018, dalam nominasi yang sama. Dan saat ini, lagu itu kembali masuk dalam nominasi di ajang Academy Award (piala Oscar) yang akan dihelat akhir Februari ini.

Saya berharap lagu itu kembali mendapatkan penghargaan serupa, agar makin banyak orang ‘merayakan’ kedangkalan era modern ini. Lagu itu adalah soundtrack dari film ‘A Star is Born’, yang juga masuk nominasi sebagai film terbaik di ajang Academy Award.

Film yang cukup mengharu biru itu menggambarkan bahwa kebangkitan dan keterpurukan menjadi suatu hal yang sangat dekat dengan kehidupan kita. Hidup menjadi tragis saat kehilangan identitas dan substansi kebahagiaan.

Bahkan, saking mengharu birunya film itu, Lady Gaga yang juga berperan sebagai tokoh sentral di film tersebut, harus keluar meninggalkan ruang bioskop dan menangis tersedu saat penayangan film perdananya.

Kehidupan Modern

Saya termasuk orang yang tersentak mendengar pidato Lady Gaga tadi. Cerita tentang lagu Shallow itu mengingatkan saya betapa kita telah lama terjebak oleh ‘manisnya’ era modern. Ya, hidup di era modern ini telah banyak mencabik sisi kemanusiaan kita.

Betapa tidak, kebahagiaan seringkali dimaknai hanya sebatas materi dan menikmati sanjungan serta perhatian dari banyak orang. Belum lagi masyarakat kita yang semakin menjadi esensialis dengan ilmu pengetahuan.

Pengetahuan menjadi sebuah totalitas untuk mengatur hidup kita tanpa memberi ruang bagi kita untuk melakukan refleksi diri. Apalagi banyak dari masyarakat kita yang juga semakin menghamba pada teknologi digital dengan mengesampingkan relasi pada dunia nyata.

Era modern, sekali lagi bukan sekedar membicarakan tentang teknologi yang kini serba canggih. Namun, era modern adalah era di mana kehidupan diatur oleh ilmu pengetahuan. Sebelum modern, kehidupan berjalan mengikuti tradisi, kebiasaan, dan insting.

Setelah era modern, hidup kita menjadi sistematis dan dibakukan oleh pengetahuan.  Bahkan, pengetahuan telah mampu menciptakan kebutuhan baru bagi manusia, sekaligus menumbuhkan berbagai macam produk untuk kita konsumsi.

Sebagai contoh, jika dulu sebelum era modern, orang mengonsumsi makanan hanya berdasar insting, kebiasaan orang tua, ataupun tradisi nenek moyangnya, maka di era modern orang akan mampu memilih makanan yang menurut pengetahuan memiliki gizi yang menguntungkan kesehatan tubuh.

Lalu berbondong-bondong komoditas berubah menjadi merk, kebutuhan untuk kenyang berubah menjadi prestise, yang pada akhirnya justru banyak makanan (bermerk) yang akan melemahkan tubuh kita sendiri.

Itulah kenapa era modern disebut juga sebagai era menyatunya dua subsistem yakni negara modern dengan ekonomi kapitalis. Di satu sisi, hidup di era modern menawarkan keindahan, tetapi di sisi lain justru dapat melemahkan kita, menjauhkan kita dari substansi keinginan untuk hidup bahagia secara manusiawi.

Negara Korporasi

Keterkejutan saya tidak berhenti pada kehidupan kita secara umum, tetapi juga mengingatkan saya, secara khusus, bagaimana negara kita menjalankan birokrasi di era modern.   

Pengetahuan modern, yang berpihak pada prinsip kapitalisme, sungguh kuat mewarnai birokrasi kita. Negara dianggap seperti sebuah korporasi raksasa, konsumennya adalah masyarakat semua.

Meski disebut tujuan negara dan birokrasi adalah untuk melayani masyarakat, tetapi rasionalitasnya tetap saja masalah untung-rugi. Permasalahannya, siapa untung dan siapa rugi?

Salah satu ilustrasi yang menggambarkan hal itu adalah apa yang tertera dalam UU tindak pidana korupsi (tipikor). Undang-undang tersebut menyatakan bahwa salah satu syarat sebuah tindakan disebut korupsi adalah jika ‘merugikan keuangan negara’. Pertanyaannya, kenapa harus disebut negara yang dirugikan? Kenapa syarat tindakan disebut korupsi bukan ‘merugikan masyarakat’?

Sialnya, para elite politik, yang katanya mewakili rakyat, telah menganggap dirinya sebagai pemegang saham terbesar negara ini. Segala sesuatu yang ada di negara ini adalah hak mereka, demi keuntungan mereka. Mereka bisa mengatur semua dan mengambil apa saja yang diinginkannya.  

Adapun upaya mengurus dan menyejahterakan masyarakat dianggapnya sebagai pemenuhan janji politik yang tujuannya untuk melegitimasi kekuasaan mereka. Dengan kata lain, agar masyarakat tetap ‘membeli produk’ mereka. Kepuasan masyarakat menjadi komoditas atas berlangsungnya kontestasi antar ‘pemegang saham’.  

Birokrasi Modern   

Masuk pada ranah pengurusan/administrasi birokrasi, yang tak lain adalah untuk melaksanakan kebijakan politis, atau katakanlah ‘membeli’ produk para politisi, makin menggunakan pengetahuan yang berbasis pada rasionalitas modern. 

Baca juga: Menetralisasi rasionalitas birokrasi, http://birokratmenulis.org/menetralisasi-rasionalitas-birokrasi/

Birokrasi modern meninggalkan birokrasi tipe tradisional dan karismatik. Proses administrasi dalam kegiatan birokrasi dirancang dengan rasionalitas legal-formal sehingga menyerupai cara kerja sebuah mesin untuk mencapai efisiensi, ouput standar, dan kepastian.

Hirarki struktur ditambah dengan berbagai penyeragaman yang ada, membuat kehidupan birokrasi semakin kaku dan menjauh dari kesejatian relasi antar manusia. Birokrasi dianggap sebagai tubuh yang tunggal yang seringkali menafikkan tubuh-tubuh individu yang beragam yang berada di dalamnya.

Baca juga: Instrumen itu Bernama Fingerprint! http://birokratmenulis.org/instrumen-itu-bernama-fingerprint/                                     

Adapun kebahagiaan birokrat seringkali menjadi terbatas pada pujian atasan terhadap performa pekerjaaannya, yang standarnya pun sudah ditentukan oleh atasan. Banyak birokrat merasa terasing dengan kehidupannya sebagai manusia.

Diskriminasi atas munculnya kategori birokrat rajin-malas, birokrat kompeten-tidak kompeten masih banyak terjadi di sana sini akibat dari normalisasi kekuasaan melalui pengetahuan dan aturan.

Baca juga: Birokrasi Ala La La Land, http://birokratmenulis.org/birokrasi-ala-la-la-land/

Pengetahuan modern juga mengarahkan bahwa birokrasi perlu diubah dengan cara reformasi. Identifikasi dan implementasi atas reformasi pun dijalankan mengikuti rasionalitas birokrasi yang legal-formal. Perubahan pola pikir dan kultur birokrasi ditempatkan oleh rasionalitas modern, yang kebanyakan menggunakan bingkai pengetahuan relasi prinsipal-agen.

Kolaborasi sempurna antara rasionalitas legal-formal dengan prinsipal-agen itulah yang seringkali menempatkan implementasi perubahan pola pikir dan kultur birokrasi dengan tahapan ‘terpaksa-terbiasa-terbudaya’, yang membuat para birokrat akhirnya menjadi terpaksa terbiasa. Pada ujungnya, reformasi birokrasi berjalan sebatas untuk remunerasi.

Tiga Mantra Sakti

Efektif, efisien, dan akuntabel menjadi ‘mantra sakti’ dalam birokrasi modern. Efektif dalam birokrasi modern pada dasarnya adalah rasionalitas bertujuan ala Weber, yaitu upaya pemecahan masalah teknis melalui pengetahuan dan teknologi.

Kedangkalan utamanya adalah pada identifikasi masalah, yang disebut oleh Foucault, seorang filsuf Perancis, sebagai teknikalisasi permasalahan. Permasalahan masyarakat yang kompleks dirasionalkan oleh para teknokrat-birokrat menjadi sebuah permasalahan teknis dan terukur.

Saking teknis dan terukurnya, alih-alih memahami kebutuhan masyarakat, yang terjadi justru membuat masyarakat sering terganggu dengan program yang dijalankan. Sampai-sampai, Tania Li, seorang antropolog Kanada, yang meneliti pembangunan di Indonesia,  menyebut bahwa “seringkali tujuan utama sebuah program akan tercapai tatkala program tersebut mengalami kegagalan”.

Baca juga: Dilema Pembangunan di Indonesia: Catatan Diskusi Buku The Will to Improve,  https://birokratmenulis.org/dilema-pembangunan-di-indonesia-sebuah-catatan-dari-diskusi-buku-the-will-to-improve/

Adapun ‘mantra’ efisiensi mengalami delusi di sana-sini. Efisiensi dimaknai sebagai upaya penghematan berbagai sumber daya sebagai masukan (input), yang kebanyakan diukur sebatas pada jumlah rupiah. Sedangkan keluaran/hasil dibuat sedemikian rupa agar mudah diukur secara kuantitas, bukan kualitas. Akibatnya banyak produk birokrasi yang bersifat intangible, yaitupelayanan dalam bentuk jasa, kurang berkualitas akibat delusi efisiensi ini.

Baca juga: Praktik Delusi Matematika Efisiensi Sektor Publik, http://birokratmenulis.org/post-soeharto-praktik-delusi-matematika-efisiensi-sektor-publik/                                                                                                                                              

Pengetahuan modern menambahkan pelaksanaan proses administrasi publik dengan jargon akuntabilitas. Akuntabilitas yang populer di birokrasi adalah akuntabilitas kinerja, yaitu bagaimana institusi di birokrasi mempertanggung-gugatkan misi yang diembannya.

Akuntabilitas kinerja terjebak pada permainan penyusunan target kinerja dan ketercapaiannya. Yang diributkan adalah tentang gengsi prestasi akan capaian di atas kertas, belum pada keberpihakan total kepada masyarakat yang dilayaninya. 

Masih tentang kinerja, dalam hal kinerja pelayanan, keinginan manusia untuk melayani akhirnya tereduksi dengan berbagai aturan, standar dan prosedur. Jika birokrat melakukan penyimpangan prosedur, maka dianggap sebagai birokrat tidak taat aturan atau tidak kompeten. Maka tidak heran jika semangat melayani selalu tergantung pada aturan menetapkan apa, prosedur mengatur bagaimana, dan pimpinan menginstruksikan apa.

Lanjut kepada permasalahan kinerja anggaran, sampai saat ini kinerja anggaran masih dimaknai sebagai kemampuan institusi menyerap anggaran sebanyak mungkin. Adanya sisa anggaran sebagai penghematan atau batalnya kegiatan akibat kekhilafan perencanaaan, justru terhukum.   

Baca juga: Waktunya Spongebob! http://birokratmenulis.org/waktunya-spongebob/

Etika Tak Tersentuh

Masuk pada permasalahan etika, jargon sebagai negara hukum yang selalu digaungkan telah menjauhkan birokrasi dari tindakan etis. Karena sejatinya, sulit untuk mencakupi ranah etis pada sebatas aturan dan produk hukum.

Akibatnya, integritas yang sebenarnya memiliki makna sebagai sebuah tindakan etis, yakni menyatunya keseluruhan jiwa, lisan, dan tindakan untuk sebuah tanggung jawab, menjadi bermakna sebatas tidak melanggar aturan dan hukum. 

Bukan berarti aturan dan hukum tidak penting, tetapi saat aturan dan hukum ditempatkan pada porsi utama karena adanya rasionalitas legal-formal, maka aturan dan hukum itu menjadi sebuah tujuan, yang akhirnya mampu menyembunyikan hakikat dari tujuan dibuatnya aturan dan hukum, yaitu kehidupan etis dan bermartabat.

Auditor Menjaganya

Pada akhirnya, birokrasi modern menempatkan auditor sebagai pengawas sekaligus ‘penjaga gawang’ atas pelaksanaan administrasi di birokrasi. Itu artinya, auditorlah yang akan menjaga bahwa seluruh administrasi telah dijalankan sesuai rasionalitas modern. Sialnya, dan tentu saja, auditor selalu berpegang teguh pada aturan, standar, dan norma-norma rasionalitas modern yang legal-formal sebagai kriteria dalam memainkan perannya.

Akibatnya bisa ditebak.

Epilog

Ah sudahlah, kita nikmati saja keindahan modernisasi itu. Merenungi dan menganggap penting ulasan tadi hanya akan mengurangi ‘kebahagiaan’ yang telah kita miliki sampai saat ini. Satu hal yang penting, saya harus berhenti menulis sampai disini. Saya khawatir jika saya teruskan, hanya akan membuat Lady Gaga semakin takjub menangis tersedu.

3
0
M. Rizal ♣️ Expert Writer

Seorang ASN instansi pusat, alumnus Program S3 Ilmu Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada. Berbagai gagasannya terbilang unik, karena selalu mempertanyakan kondisi kemapanan di birokrasi. Tujuannya adalah agar birokrasi Indonesia lebih humanis, bermartabat, dan bernilai bagi publik. Anda dapat mengikuti buah pemikirannya di Instagram @mutiarizal.insight, atau di Twiter @rizal.mutia. Ia dapat dihubungi melalui email di [email protected].

M. Rizal ♣️ Expert Writer

M. Rizal ♣️ Expert Writer

Author

Seorang ASN instansi pusat, alumnus Program S3 Ilmu Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada. Berbagai gagasannya terbilang unik, karena selalu mempertanyakan kondisi kemapanan di birokrasi. Tujuannya adalah agar birokrasi Indonesia lebih humanis, bermartabat, dan bernilai bagi publik. Anda dapat mengikuti buah pemikirannya di Instagram @mutiarizal.insight, atau di Twiter @rizal.mutia. Ia dapat dihubungi melalui email di [email protected].

4 Comments

  1. Avatar

    Renyah dan bergizi.. makasih mas Rizal. Mindblowing

    Reply
  2. Avatar

    saya sedang meng-highlight satu kalimat ini, “Negara dianggap seperti sebuah korporasi raksasa, konsumennya adalah masyarakat semua”.

    Hmmm…..

    _Nice share_

    Reply
  3. Avatar

    Berat ringan adalah sebuah hasil dari perspektif, demikian halnya seperti setengah terisi atau setengah habis. Ide ini muncul ketika membaca tulisan yang berat namun ringan (atau ringan yang sebenarnya berat) dari sahabat saya ini. Seperti biasa, luar biasa. Satu hal yang seharusnya menjadi ukuran keberhasilan pembangunan atau pengelolaan sumber daya oleh birokrat, bagaimana persepsi masyarakat yang muncul dari kondisi yang mereka rasakan sehari-hari. Barangkali tidak perlu dengan pendekatan statistik warna-warni, cukuplah dengan hitungan berapa mereka makan dalam sehari, cukup gizi, dan tidur tanpa perlu khawatir, bisa makan tidak mereka besok pagi.

    Reply
    • MR

      Trims mas bro..
      You’ve got the point.

      Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post