Serial Filsafat Alam (2): Filosofi Entropi dan Masa Lalu yang Hanya Kenangan

by Muhammad Abduh Nasution Mukhtirulilmi ◆ Active and Poetry Writer | Feb 20, 2025 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Entropi: Hukum Alam yang Mengatur Perubahan

Sambil menyeruput kopi, saya menulis ulang persamaan mesin Carnot. Pada artikel sebelumnya, telah dirumuskan persamaan efisiensi mesin yang menjadi dasar bagi entropi. Diketahui : QcQh = TcTh   atau QcTc  = QhTh sehingga QcTc  +  QhTh = 0

Dengan demikian, bila kita membagi siklus Carnot dalam potongan yang kecil, maka total entropi adalah penjumlahan dari entropi-entropinya, dapat ditulis : QiTi = 0

Jika potongan tersebut sangat kecil mendekati nol, dan jumlah potongannya sangat banyak sampai  tak terhingga, maka penjumlahan ini berubah menjadi integral, yang dalam siklus ditulis menjadi :  dQT = 0

Dalam hal entropi tidak dipengaruhi oleh lintasan yang ditempuh, maka integral lingkar dapat dihilangkan, sehingga didapati bahwa entropi adalah suatu diferensial eksak sistem, dengan demikian didefinisikan suatu besaran keadaan S yaitu:

dS= dQT

Karena nilai dQ > 0, maka S > 0 atau bernilai positif. Sehingga menurut hukum kedua termodinamika kedua, bahwa dalam sistem yang tertutup, entropi cenderung akan membesar seiring dengan waktu. 

Proses ini bersifat spontan, karena siklus Carnot adalah wujud dari mesin ideal yang bersifat reversibel atau dapat kembali ke keadaan awal seperti semula. Maka entropi dapat digunakan sebagai petunjuk apakah suatu proses dapat berlangsung secara spontan atau tidak.

Gambar 1. Grafik Perumusan Entropi dari Siklus Carnot (sumber : ars.els-cdn.com)

Reversible vs. Irreversible: Memahami Proses Perubahan

Dalam setiap perubahan, terdapat dua jenis perubahan yaitu reversible dan irreversible. Perubahan reversibel berarti suatu proses dapat kembali ke keadaan semula, dengan kata lain peristiwa tersebut  berlangsung dua arah secara spontan. 

Sedangkan irreversible adalah perubahan yang tidak bisa dikembalikan lagi, atau hanya terjadi satu arah secara spontan, karena tidak mungkin untuk mengembalikan prosesnya, atau kalaupun bisa maka tidak dapat dilakukan secara spontan namun harus melalui bentuk perubahan lain. 

Umumnya perubahan di dunia ini berlangsung secara irreversible.
Contohnya kayu dibakar menjadi abu, tidak bisa dikembalikan menjadi kayu, dan kalaupun abu itu ditanam kembali di tanah dan tumbuhlah pohon di sana, maka itu telah melalui jalur proses lain dan tidak terjadi serta merta. 

Demikian juga halnya dalam fenomena kimiawi, akan dijumpai hal yang sama, yaitu adanya reaksi kimia yang bersifat reversible dan irreversible

Hal ini menarik keingintahuan para kimiawan akan penyebab terjadinya reaksi kimia. Mereka menduga ada suatu kekuatan yang menggerakkan energi di dalam zat-zat tersebut untuk bereaksi dan berubah menjadi zat lain. 

Selama berabad-abad para kimiawan berupaya mencari tahu sumber kekuatan yang dapat memicu perubahan tersebut. Karena keterbatasan ilmu pengetahuan pada masa itu, tak jarang ilmu kimia (atau disebut dengan alkimia, untuk membedakannya dengan ilmu kimia modern) bersinggungan dengan ilmu astrologi.

Termodinamika: Kuantifikasi Energi dalam Reaksi Kimia

Dengan berkembangnya ilmu termodinamika, konsep mengenai energi juga berubah. Tidak lagi dianggap sebagai suatu hal yang gaib, ternyata energi dapat dikuantisasi. 

Berkat adanya hukum pertama termodinamika, para kimiawan dapat mengukur besar energi yang tersimpan dalam zat kimia dengan cara mengukur perubahan panas selama berlangsungnya proses reaksi kimia. 

Hal ini merupakan langkah yang sangat maju karena para kimiawan dapat melakukan kuantisasi pada proses reaksi kimia yang sebelumnya tidak dapat diketahui secara tepat bagaimana itu bisa berlangsung.

Para kimiawan kemudian membagi proses reaksi kimia menjadi dua, yaitu yang bersifat endotermal dan eksotermal, atau yang membutuhkan energi dan yang menghasilkan energi. Meskipun terlihat berbeda, namun sebenarnya baik endotermal maupun eksotermal memiliki kuantitas yang sama namun berbeda arah saja. 

Misalnya kalau kita memanaskan 1 liter air hingga seluruhnya menguap, maka akan dibutuhkan sejumlah energi tertentu. Apabila kita mengembunkan uap air tersebut, maka jumlah energi yang dilepaskan sama saja besarnya dengan energi yang dibutuhkan untuk menguap tadi. 

Maka mereka berkesimpulan bahwa pada proses yang bersifat irreversible, proses yang bersifat spontan hanya terjadi para reaksi eksotermal, sedangkan pada reaksi endotermal tidak mungkin terjadi secara spontan karena membutuhkan energi. 

Energi Bebas untuk Perubahan

Namun, ternyata kesimpulan ini tidak tepat, karena tidak mampu menjelaskan mengapa es dapat mencair secara spontan padahal es membutuhkan energi untuk mencair. 

Dengan demikian, diperlukan adanya rumusan energi bebas, yaitu energi yang tersedia untuk melakukan proses perubahan. Besarnya energi bebas ini yaitu energi reaksi dikurangi dengan entropinya. 

Baik Gibbs maupun Helmhotz memberikan rumusan yang serupa mengenai energi bebas. Rumus Gibbs (∆G) digunakan pada tekanan tetap, sedangkan rumus Helmhotz (A) dipakai pada volume tetap:

∆G = ∆H – T ∆S

A ≡ U – TS

Rumusan ini memuaskan para kimiawan, bukan hanya dapat digunakan untuk memprediksi reaksi kimia yang bersifat irreversibel, tapi juga mampu menjelaskan proses  reversibel. 

Karena dalam proses yang bersifat reversibel, akan dijumpai suatu kesetimbangan, yaitu keadaan ketika reaksi kimia tersebut tidak lagi mengalami perubahan yang signifikan. Keadaan ini terjadi manakala energi bebas dalam keadaan minimum.

Sekarang bayangkan semua benda alam ini adalah bagian dari reaksi kimia raksasa yang terjadi dalam tabung yang bernama alam semesta. Pada hakikatnya alam semesta ini adalah proses evolusi yang sedang berlangsung. 

Dimulai dari ledakan besar (big bang) dan akan terus berubah hingga tercapai entropi maksimum, yaitu ketika energi telah terbagi merata, sehingga terdapat satu temperatur yang seragam di seluruh alam semesta ini. Seperti teh yang mendingin dan tidak akan menjadi lebih dingin.

Maka terjawablah pertanyaan saya
mengapa setiap peristiwa tidak pernah kembali ke titik awal. Karena memang semuanya telah berubah. Bahkan revolusi dan rotasi benda langit, yang terlihat seperti suatu lintasan yang kembali ke awal, sebenarnya hanyalah pandangan 2 dimensi. 

Namun ketika dipandang secara 3 dimensi, benda tersebut tidak benar-benar kembali ke tempat semula. Termasuk juga diri kita, tidak akan pernah sama setiap detik. Sama hal nya dengan Paradoks kapal Theseus.

Paradoks ini telah menjadi problematika para Filsuf selama berabad-abad. Sebuah kapal yang dijadikan monumen oleh masyarakat karena jasanya dalam perang. Seiring waktu ada saja komponen  kapal itu yang perlu diganti karena mulai melapuk. 

Demikian seterusnya, ada saja komponen yang diganti, hingga akhirnya disadari bahwa seluruh komponen kapal telah berubah. 

Ilusi ini mengakibatkan kita menganggap bahwa itu adalah kapal yang sama, namun sebenarnya tidak karena telah mengalami perubahan. Bahkan waktu sendiri sebenarnya adalah ilusi, yang kita rasakan akibat adanya perubahan ini.

Ilusi Waktu dan Kenangan: Refleksi Filsafat dalam Entropi

Maka tak ayal kita menganggap masa lalu seakan dapat diubah. Ilusi ini atau disebut dengan “ilusi seandainya”, mengakibatkan kita berpikir dapat mengubah nasib dengan kembali ke masa lalu dan mengubah pilihan yang telah diambil. Namun, ilusi ini tidak nyata karena masa lalu hanyalah kenangan, memori yang tersimpan dalam otak kita yang telah mengalami peristiwa lampau. 

Karena waktu bersifat relatif dan terikat dengan perubahan yang dialami, maka waktu erat kaitanya dengan entropi. Sebab entropi adalah hukum alam yang mengatur mengenai perubahan. Hal ini memunculkan suatu konsep yang dikenal sebagai ‘panah waktu’. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Arthur Eddington :

“Panah waktu. Hal yang hebat tentang waktu adalah bahwa ia terus berjalan. Tetapi ini adalah aspek yang kadang-kadang tampaknya cenderung diabaikan oleh fisikawan. Di dunia empat dimensi, peristiwa masa lalu dan masa depan terbentang di hadapan kita seperti di peta. Peristiwa-peristiwa itu ada dalam hubungan spasial dan temporal yang tepat; tetapi tidak ada indikasi bahwa mereka menjalani apa yang digambarkan sebagai “formalitas berlangsung” dan pertanyaan tentang melakukan atau membatalkan tidak muncul.” 

Jadi karena entropi akan terus bernilai semakin positif, maka demikian juga waktu yang akan terus bergerak maju dan tidak mungkin untuk kembali mundur. Bahkan seandainya ada alat untuk membalikkan entropi, seperti yang ditampilkan dalam film fiksi ilmiah, maka itu juga tidak serta merta mengubah apa yang telah terjadi, untuk mendapatkan hasil seperti yang diinginkan. 

Karena peristiwa di alam ini tidaklah berdiri secara tunggal, namun merupakan hasil dari banyak perisitiwa yang saling berkaitan. Mengubah satu peristiwa saja pasti akan menimbulkan perubahan yang sangat besar bagi alam semesta ini. Bahkan perubahan pada satu atom akan menimbulkan efek berantai pada entitas lain.

Melihat Ke Depan: Mari Berjuang!

Jadi tak ada yang bisa dilakukan atas hal yang telah terjadi. Meraung meratapinya pun tak akan mengubah apa-apa. Dalam pandangan filsafat determinisme, apa yang telah terjadi memang adalah hal yang seharusnya terjadi. 

Sebagaimana alam juga ternyata bekerja dengan mekanismenya sendiri untuk memilih keseimbangan dalam dirinya, alam akan senantiasa mencari jalan paling efisien untuk mencapai kesetimbangan. 

Padahal, kita hanyalah noktah kecil di antara luasnya alam semesta ini, dan tak akan mungkin alam mengubah nasibnya hanya karena kita!

Maka lihatlah ke depan. Masih ada kemungkinan untuk mendapatkan apa yang diharapkan dengan melakukan tindakan di masa sekarang. 

Carpe Diem!. Toh tidak ada yang sempurna dalam hidup ini. Tapi walau bagaimanapun jua, hidup tetap layak untuk diperjuangkan. Selagi masih hdiup, maka masih ada kesempatan. 

Gagal di masa lalu tidak berarti pasti gagal di masa depan. Sejarah mencatat banyak orang yang sukses setelah belajar dari kegagalannya di masa lalu. Demikian juga sebaliknya banyak yang hancur kemudian karena terlena dengan kegemilangan di masa kini. 

Karena masa lalu hanyalah histori, dan masa depan masih misteri, maka fokuslah dengan apa yang ada sekarang. Pertimbangkan segara peluang, tantangan, risiko, manfaat, mudharat, kemudian ambil tindakan, dan ambil tanggung jawab atas itu.

Biarlah masa lalu tinggal menjadi kenangan; bagian dari takdir walaupun pahitnya tak terperikan. Karena takdir tak pernah salah, segala sesuatu terjadi karena sebuah alasan. 

Imam Ghazali berkata: “Apa yang memang ditakdirkan untukmu, akan mendatangimu walaupun harus melalui dua bukit. Apa yang memang tidak ditakdirkan untukmu, pasti pergi meninggalkanmu walaupun telah berada di antara dua bibir”. 

Jadi inilah kiranya kesimpulan kedua, kesimpulan yang juga indah dari entropi. Seperti yang pernah disampaikan oleh Nietzsche dalam kalimatnya yang pamungkas: 

Amor Fati; Cintailah Takdir!

Daftar Pustaka:
Bahl A., Bahl, B.S. 2022. Essentials of Physical Chemistry. S. Chand Publishing.
Hidayat, A.R. 2018. Filsafat Berpikir. Duta Media
Manampiring, H. 2018. Filosofi Teras. Kompas
Oxtoby, D.H. 2020. Principles of Modern Chemistry. Brooks Cole.
Tim Penyusun. 1980. Ensiklopedi Indonesia. P.T. Ichtiar Baru van Hoeve
https://en.wikipedia.org

0
0
Muhammad Abduh Nasution Mukhtirulilmi ◆ Active and Poetry Writer

Muhammad Abduh Nasution Mukhtirulilmi ◆ Active and Poetry Writer

Author

Jejaka yang bekerja sebagai PNS pada salah satu instansi pemerintah.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post