Saya termasuk orang yang suka terbangun di tengah malam. Entahlah. Mungkin karena overthinking, malam menjadi salah satu waktu yang nikmat bagi para introvert seperti saya.
Seperti pada suatu malam itu. Karena telah hujan sejak sore, malam itu terasa dingin sekali. Saya pun memutuskan untuk menghangatkan badan dengan cara meminum teh panas. Namun karena terlalu panas, akhirnya saya pun menunggu teh itu untuk mendingin.
Sembari menunggu waktu, saya terpikir
mengapa pada akhirnya teh ini akan mendingin dan menuju ke suhu yang lebih rendah.
Mengapa peristiwa sebaliknya, yaitu teh menjadi panas dengan sendirinya,
malah tidak pernah terjadi, dan mengapa teh yang telah mendingin tidak akan mungkin lagi kembali ke kondisi awal seperti sebelumnya?
Pertanyaan ini mengingatkan saya pada konsep dasar dalam energi, yaitu entropi, suatu formulasi yang menjelaskan banyak hal dalam hidup kita.
Kisah bermula dari penemuan mesin uap yang merupakan tonggak besar dalam sejarah peradaban manusia. Dari semula mengandalkan tenaga hewan bahkan manusia untuk menggerakkan peralatan, dengan penemuan ini mengarahkan manusia menuju era baru dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penemuan ini membuka jalan bagi pengembangan studi mengenai energetika yang disintesis dalam ilmu termodinamika. Ilmu ini merupakan fondasi bagi ilmu-ilmu teknik dan bahkan mengantarkan pada penemuan-penemuan selanjutnya di bidang quantum dan kosmologi.
Kehadiran mesin uap mendorong penemuan mesin-mesin yang dapat diterapkan dalam keperluan militer. Awal abad ke 19 ditandai dengan perang Napoleonik yang semakin memicu sentimen kebangsaan antara Inggris dan Prancis.
Mesin uap yang dikembangkan oleh Inggris menjadi alat unggulan mereka untuk mengalahkan Prancis. Oleh karena itu, seorang anak muda Prancis bernama Sadi Carnot bertekad membuat mesin yang paling efisien untuk mengalahkan mesin-mesin sebelumnya.
Selama bertahun-tahun mempelajari mesin uap, akhirnya Carnot menemukan suatu rumusan perhitungan efisiensi mesin. Mesin yang efisien apabila panas (qalor) yang dihasilkan dari pembakaran diubah seluruhnya menjadi kerja (work).
Maka mesin tersebut harus bekerja pada suatu siklus di antara dua keadaan, yaitu suhu tinggi (panas) dan suhu rendah (dingin). Dengan demikian dapat dibuat suatu rumusan efisiensi mesin (η) dengan membandingkan jumlah qalor pada kondisi panas (QH) dan qalor kondisi dingin (QC):
η = W / Qin = (QH – QC) / QH = (QH / QH) – (QC / QH) = 1 – ( QC / QH)
Dalam kondisi ini diasumsikan menggunakan gas ideal dan sistem yang tertutup secara sempurna, sehingga tidak terjadi perubahan jumlah partikel gas dan kompresi yang sempurna (yang sebenarnya mustahil). Jadi qalor hanya dipengaruhi oleh suhu (temperature) sehingga rumus di atas dapat diganti menjadi :
η = 1 – ( QC / QH)= 1 – ( TC / TH)
Dapat disimpulkan bahwa mesin yang efisien adalah apabila nilai η = 1, yang artinya nisbah TC / TH = 0, atau suhu dingin (TC) harus bernilai 0. Masalahnya adalah, nilai suhu nol (T0) secara mutlak belumlah diketahui pada waktu itu.
Suhu 0oC (0 derajat Celcius, suhu air ketika membeku) tidak bersifat mutlak karena masih ada lagi suhu di bawah itu. Rumus ini kemudian mendorong Kelvin untuk menemukan suhu 0 mutlak yang akhirnya kita kenal sebagai Skala Temperatur Kelvin (oK).
Akhirnya diketahui bahwa suhu 0 oK adalah -273,16 oC, suhu yang sangat dingin sehingga energi kinetik atom sama dengan 0.
Karena tidak akan ada mesin yang mampu beroperasi pada suhu serendah itu, sehingga tidak mungkin ada mesin yang akan mencapai efisiensi 100%, sebab panas yang digunakan sebagai sumber energi tidak mampu diubah seluruhnya menjadi energi gerak.
Dengan kata lain,
tidak akan pernah ada pengubahan energi yang benar-benar sempurna!
Misalkan Anda mengecas smartphone, seharusnya hanya terjadi perubahan dari energi listrik menjadi energi kimia (energi baterai), dan memang itulah yang diharapkan.
Namun ketika Anda meraba kepala casan tersebut, Anda malah merasakan panas di sana. Ini menunjukkan tidak semua energi listrik dikonversi menjadi energi baterai, justru banyak menjadi energi panas yang sebenarnya tidak dibutuhkan.
Dengan demikian, tantangan sebenarnya bukanlah menemukan energi baru, tapi bagaimana untuk menjadikan energi tersebut benar-benar efisien. Semakin banyak bentuk perubahan energi, maka semakin banyak pula energi yang tidak terpakai dan sia-sia.
Efisiensi ini jugalah yang menyebabkan mobil listrik masih belum bisa mengalahkan mobil bermesin pembakaran, padahal kita dihantui krisis bahan bakar. Karena secara analisis well-to-wheel, efisiensi mobil listrik yang berasal dari pembangkit berbahan bakar fosil, hampir sama saja dengan mesin pembakaran.
Padahal kita membutuhkan mesin yang benar-benar dapat menggantikan mesin konvensional secara keseluruhan, untuk mengatasi krisis energi dan polusi udara.
Keberadaan entropi bukanlah suatu kendala teknis yang dapat dieliminir begitu saja. Ia adalah bagian dari hukum alam itu sendiri. Ketika Clausius merumuskan hukum Termodinamika, maka hukum pertama menyatakan bahwa energi berjumlah tetap, tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, tapi senantiasa berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain.
Bahkan setelah Einstein menemukan Teori Relativitasnya, yang berimplikasi pada pengubahan massa atom menjadi energi nuklir, hukum ini tetap berlaku dan masih relevan.
Namun karena energi senantiasa berubah, maka entropi lah yang menjelaskan semua itu. Entropi kemudian menjadi hukum kedua termodinamika, yang bukan hanya menjelaskan fenomena di bumi, bahkan pada keadaan black hole yang masih banyak menyimpan misteri.
Tanpa adanya entropi, maka energi tidak akan bergerak dan berubah, sehingga tidak akan ada kehidupan di alam ini. Selain itu, entropi juga menyebabkan tidak adanya mesin atau perangkat perpetual dan energi gratis.
Selama ini sering terdapat klaim tentang penemuan mesin yang dapat bergerak terus menerus akibat dari hukum pertama termodinamika, yaitu energi yang bersifat kekal. Namun semua ini adalah klaim palsu karena akan melanggar hukum kedua termodinamika.
Seandainya katakanlah ada roda yang sangat efisien dan tidak mengalami gesekan, putaran roda itu akan tetap berhenti juga walaupun tidak ada yang menghentikannya, karena energi yang telah digunakan tidak bisa lagi digunakan sepenuhnya untuk putaran berikutnya.
Sehingga tidak akan ada benda yang bergerak terus menerus tanpa ada sumber energi tambahan. Bahkan pergerakan benda-benda di langit mengambil sumber energi dari sistem bintang.
Maka dari itu, tidak akan pernah ada sistem yang benar-benar ideal.
Misalnya kita ingin mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas yang tinggi sekaligus.
Hal ini tidak mungkin karena keduanya saling bertentangan.
Efisiensi adalah perbandingan antara output dan input, sedangkan efektivitas adalah outcome (dampak) dan perubahan signifikan yang diinginkan. Jika kita ingin mencapai efisiensi tinggi, maka tidak akan mencapai efektivitas.
Jika kita mengejar efektivitas, maka harus mengorbankan efisiensi. Kita tidak mungkin mampu mencapai keduanya secara 100%. Yang dapat dilakukan hanyalah optimalisasi dengan cara mencari titik keseimbangan di antara keduanya.
Oleh karena memang tidak akan ada yang sempurna dalam hidup ini, maka inilah saatnya untuk menyadari kenyataan dan berdamai dengannya. Adanya ketidaksempurnaan ini yang justru membuat alam dapat terus bekerja.
Walau bagaimanapun juga jalan yang ditempuh, pasti akan kita temukan berbagai kekurangan dan masalah yang akan menghadang, baik secara internal maupun eksternal.
Maka sebagaimana yang dikatakan oleh para stoic, kita harus dapat memisahkan mana yang merupakan hal yang benar-benar dalam kuasa kita, dan mana yang tidak. Dalam hidup ini pasti akan menemui masalah, yaitu hal-hal yang tidak sesuai dengan konsep ideal yang berasal dari ekspektasi.
Tidak seluruh permasalahan bisa diantisipasi dengan melakukan perencanaan atau prediksi. Terkadang masalah muncul dari variabel kontrol yang diasumsikan tidak memiliki hubungan dengan variabel bebas, sehingga menjadi masalah yang tidak dapat dikendalikan.
Oleh karena hal ini sudah berada di luar kendali kita, maka yang dapat kita kendalikan yaitu apa yang ada di dalam diri, yaitu reaksi kita dalam menghadapi masalah itu. Dalam pandangan stoic, orang yang bijaksana tidak mungkin mengeluarkan reaksi yang berlebihan, seperti marah-marah atau panik yang berkepanjangan, manakala menemui masalah.
Karena alih-alih menyalahkan hal-hal yang memang di luar jangkauan diri, tentu lebih bijaksana untuk fokus pada apa yang berada dalam kendali sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah itu sendiri.
Semua orang tentu ingin memiliki keluarga yang harmonis dan sejahtera. Namun tidak ada manusia yang dapat memilih terlahir dari keluarga mana, termasuk keluarga “broken home”. Daripada menyalahkan keadaan keluarga yang telah hancur, tentu lebih baik untuk memperbaiki diri diri dan berusaha menggapai cita-cita dengan kemampuan yang dimiliki.
Adanya permasalahan eksternal seperti kegagalan, hilangnya orang terkasih, sebenarnya hanyalah cobaan hidup yang pasti menimpa seluruh manusia. Permasalahan utama adalah bagaimana persepsi dalam menghadapi masalah itu, yang merupakan bagian internal dalam hidup.
Jadi inilah kiranya premis pertama
dari hasil perenungan mengenai konsep entropi, yaitu suatu filosofi yang indah mengenai ketidaksempurnaan dalam hidup. Bahwa adanya ketidaksempurnaan ini
sebenarnya adalah hal yang alami dan merupakan bagian dari alam semesta,
yang tidak mungkin untuk dihapuskan
atau diabaikan.
Maka, tidak usah risau dengan ketidaksempurnaanmu, toh alam semesta ini juga didesain demikian. Lakukan saja apa yang bisa dilakukan, dan selebihnya bukan lagi dalam kendali kita.
Karena terlalu lama merenung, teh yang tadinya panas benar-benar telah dingin. Kalau diminum tentu kurang nikmat rasanya, namun mubazir apabila dibuang, demikian juga bila dipanaskan lagi. Maka saya putuskan menyimpan teh tersebut dalam kulkas dan ganti memasak air kopi.
Meskipun pahit, tapi lebih memberikan inspirasi.
Daftar Pustaka:
Bahl A., Bahl, B.S. 2022. Essentials of Physical Chemistry. S. Chand Publishing.
Hidayat, A.R. 2018. Filsafat Berpikir. Duta Media
Manampiring, H. 2018. Filosofi Teras. Kompas
Oxtoby, D.H. 2020. Principles of Modern Chemistry. Brooks Cole.
Tim Penyusun. 1980. Ensiklopedi Indonesia. P.T. Ichtiar Baru van Hoeve
https://en.wikipedia.org
0 Comments