Visi Indonesia Emas di Tahun 2045 telah dicanangkan oleh pemerintah. Target utamanya menjadikan negara yang berdaulat, maju, adil, dan makmur. Salah satu pilar utama yang menyokong pencapaian target tersebut adalah sumber daya manusia (SDM).
Dalam hal ini, salah satu unsur penting penyokong kinerja pemerintah adalah Aparatur Sipil Negara (ASN), penggerak utama birokrasi dan pelaksana kebijakan pemerintah.
Karenanya, kapasitas dan kompetensi ASN perlu dikembangkan secara berkelanjutan untuk mendukung kinerja institusi dan pencapaian target-target prioritas pembangunan.
Rencana Pengembangan SDM dan Tantangannya
Sebagaimana amanah Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, dalam mengembangkan kompetensi ASN, setiap Instansi Pemerintah wajib menyusun rencana pengembangan kompetensi tahunan yang tertuang dalam rencana kerja anggaran tahunan instansi masing-masing.
Upaya pengembangan kompetensi ASN menghadapi sejumlah tantangan yang tak mudah, yaitu penyusunan kebijakan pengembangan kepegawaian yang:
- belum didasarkan atas analisis kebutuhan,
- tidak mengacu kepada perencanaan pembangunan,
- kebijakan pengembangan kompetensi dilakukan secara terpisah dengan kebijakan pola karir ASN, dan
- sederet persoalan lain yang menunjukkan belum terintegrasinya proses perencanaan pengembangan secara komprehensif.
Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan kompetensi masih terkesan konvensional dan seremonial saja.
Berbagai upaya sudah dilakukan oleh pemerintah melalui Lembaga Administrasi Negara (LAN). Evaluasi menyeluruh terhadap semua jenis kegiatan pendidikan dan pelatihan (Diklat) yang sudah dilaksanakan baik dari sisi efektivitas, metode, dan kurikulum. Berbagai kebijakan baru telah lahir dan secara simultan terus dilakukan perbaikan.
Terobosan blended learning system pasca pandemi covid- 19 menjadi salah satu yang paling signifikan, karena telah mengakomodir penggunaan sarana teknologi informasi sehingga dari sisi pembiayaan menjadi lebih efisien.
Selain itu berbagai jenis kegiatan pengembangan kompetensi sudah bisa dilakukan dengan cara yang lebih sederhana dan murah. Seperti penugasan, magang, coaching, mentoring, webminar, dan penerapan corporate university yang mendapat sambutan luar biasa.
Semakin Berat bagi Instansi Daerah
Kebijakan dan berbagai upaya untuk memperbaiki sistem telah dilakukan. Namun, pemerintah juga harus menyadari, bahwa sebagian besar instansi/ pemerintah daerah mempunyai keterbatasan.
Sumber daya manusia bukan satu-satunya. Hambatan terbesar lainnya adalah soal sumber daya anggaran.
Silahkan dicek, tidak semua pemerintah daerah dapat memenuhi kewajiban proporsi anggaran 0,34% dari total belanja daerah bagi pemerintah provinsi dan paling sedikit 0,16% dari total belanja daerah bagi pemerintah kabupaten/kota, sebagaimana diatur Permendagri No. 64 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2021.
Belum lagi jika bicara soal keberpihakan tim anggaran di daerah terhadap pentingnya pengembangan kompetensi ASN. Soal prioritas, banyak daerah mengesampingkan kebutuhan anggaran pengembangan ASN.
Masih banyak yang dianggap lebih penting misalnya soal infrastruktur, pengentasan kemiskinan, stunting dan lain-lain. Praktis soal pengembangan kompetensi ASN sering kurang mendapatkan perhatian.
Secara politis, pengembangan SDM aparatur birokrasi bukanlah sesuatu hal yang menarik perhatian. Dari sisi outcome tidak akan langsung dirasakan dampaknya oleh publik.
Investasi pengembangan SDM adalah investasi jangka panjang, yang meskipun sebenarnya strategis namun kebanyakan tidak dianggap menguntungkan, sehingga wajar jika dalam forum pembahasan bersama legislatif menjadi item yang tersisihkan.
Keterbatasan Anggaran dan Prioritas Daerah
Meski berbusa-busa mencari atensi tentang pentingnya alokasi anggaran pengembangan kompetensi ASN akhirnya akan kandas juga hanya karena alasan keterbatasan dan “bukan prioritas”.
Memang harus disadari bahwa biaya pengembangan kompetensi tidaklah murah. Meski ada efisiensi bagi banyak daerah standar biaya yang ditentukan oleh LAN masih terasa sangat berat untuk dipenuhi.
Bisa diteliti peraturan LAN tentang biaya berbagai jenis pelatihan manajerial, teknis, dan beberapa jenis pemanggilan diklat yang dibebankan pembiayaannya pada instansi daerah selaku pengirim. Masih terasa mahal dan banyak daerah yang tidak punya cukup kemampuan.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam kurun waktu tiga tahun terakhir selangkah lebih maju dengan inovasi dan mendorong semua kabupaten/kota untuk berpartisipasi dalam kompetisi ASN Achievement Award.
Ajang ini menjadi bentuk apresiasi terhadap kabupaten/kota yang serius melaksanakan pengembangan kompetensi ASN di wilayahnya. Hadiahnya pun tidak main-main yakni dana sebesar satu milyar bagi juara pertama dalam bentuk kegiatan pengembangan kompetensi.
Salah satu indikator utama ASN Achievement Award adalah proporsi anggaran pengembangan kompetensi terhadap total belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Tentu ini patut diapresiasi sebagai sebuah inovasi.
Namun, bagi daerah dengan postur anggaran kecil tetap akan menjadi masalah karena tak punya keleluasaan mengalokasikan anggaran sehingga banyak daerah tak punya banyak pilihan.
Meskipun Semua Daerah Bercita-cita
Jika tidak ada terobosan baru maka daerah miskin dengan postur anggaran terbatas dan terbelenggu dengan persoalan lain yang merupakan skala prioritas tidak akan bisa bersaing dengan daerah lain yang relatif lebih kaya.
Dengan demikian, upaya pengembangan SDM – ASN akan timpang sesuai dengan kemampuan dan karakteristik daerah. Ini bisa menyebabkan cita-cita pemerintah untuk meraih predikat birokrasi kelas dunia dan mempersempit gap ketertinggalan dengan negara tetangga sulit tercapai.
Soal cita-cita pengembangan SDM saya yakin semua daerah sama kuat dan besar, tidak ada daerah yang ingin SDM nya stagnan dan tidak berkembang, sementara pemerintah pusat terus menekankan peningkatan SDM demi menghadapi tuntutan peningkatan kualitas pelayanan publik dan tantangan global.
Kalau demikian dapat disimpulkan, bahwa soal pengembangan kompetensi ASN bagi sebagian besar daerah “bagai ingin meraih bintang apadaya tangan tak sampai”.
Lantas Bagaimana Solusinya?
Di samping berbagai terobosan penting yang sudah dilakukan selama ini, sentralisasi anggaran bisa menjadi salah satu pilihan dalam menyikapi persoalan minimnya kemampuan anggaran di daerah.
Alokasikan saja anggaran yang cukup pada lembaga-lembaga yang berkompetensi melaksanakan diklat misalnya LAN atau Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM).
Kemudian perlu dilakukan pemanggilan secara merata dan berkeadilan bagi SDM di seluruh daerah sehingga semua mendapat kesempatan yang sama untuk maju dan berkembang. Tentu harus ada kualifikasi terhadap jenis diklat yang wajib dan penting sebagai prioritas pembiayaan.
Jika tidak mau menempuh langkah ekstrem dengan kebijakan sentralisasi maka pemberlakuan tarif dengan memperhatikan kemampuan daerah, barangkali bisa menjadi alternatif pilihan jalan keluar.
Caranya dengan memetakan postur anggaran masing-masing daerah dan menerapkan kualifikasi dengan predikat mampu, cukup, dan kurang mampu. Dengan demikian pemerintah dapat menerapkan tarif berbeda untuk kegiatan diklat pengembangan kompetensi sesuai dengan kemampuan.
Semua bisa dikaji dan dilakukan, tentu saja jika pemerintah menganggap soal pengembangan kompetensi ASN sebagai ujung tombak birokrasi ini benar-benar penting dan menjadi sesuatu yang harus dikejar. Wallahua’lam……
Kepala Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM)
Kab. Bondowoso, Jawa Timur.
0 Comments