Senja di Antang dan Piring Kebahagiaan dari Gerobak Daeng Bahar

by Adekamwa ♥ Associate Writer | May 18, 2025 | Sastra | 0 comments

Ketika sang surya mulai condong ke ufuk barat, mewarnai langit kota Makassar dengan sapuan jingga, sebuah panggilan alamiah yang tak terelakkan kerap muncul dari dalam diri, yaitu rasa lapar. 

Di sudut area Antang, denyut kehidupan kota terasa kian kencang menjelang malam. Bagi sebagian orang, inilah saatnya memacu kendaraan, bukan hanya untuk pulang, tetapi untuk sebuah perburuan rasa, sebuah pencarian akan pengobat letih dan lapar setelah seharian bergulat dengan rutinitas. 

Bukan restoran mewah atau kafe kekinian yang dituju penulis kali ini, melainkan sebuah hidden gem kuliner, sebuah gerobak sederhana yang mangkal tak jauh dari Polsek Manggala di Jalan Lasuloro Raya.

Di tepian jalan yang ramai itu,
bersandar pada dinding rumah warga, gerobak Daeng Bahar seolah bernapas. Kepulan asap dari wajannya bukan uap biasa, itu adalah napas sang juru masak jalanan, mengembuskan jiwa masakannya ke udara senja. 

Bawaannya jelas: aroma bawang putih yang tajam bertemu manis kecap yang pekat, sebuah undangan tak tertulis namun begitu kuat, sinyal kelezatan tersembunyi yang menantang hiruk-pikuk kehidupan urban untuk sejenak tunduk pada panggilan perut.

Maestro Jalanan

Daeng Bahar, atau yang akrab disapa Daeng Baha’ oleh para pelanggannya, adalah sosok maestro kuliner jalanan. Ia mungkin tak memiliki gelar chef dari sekolah ternama, namun tangannya menyimpan kearifan rasa yang diwariskan atau ditempa pengalaman bertahun-tahun. 

Dengan gerakan yang tampak sederhana namun penuh presisi dan keyakinan, ia meracik hidangan andalannya: Mie Goreng Jawa. 

Sebuah nama yang mungkin terdengar umum, namun di tangan Daeng Bahar, ia menjelma menjadi sajian pelipur lara yang istimewa, terutama bagi mereka yang mencari kenikmatan tanpa harus merogoh kocek terlalu dalam.

Apa yang membuat mie goreng racikan Daeng Bahar begitu memikat? Jawabannya terletak pada keberaniannya bermain rasa. Kecap manis yang digunakan bukan sekadar pemanis biasa, namun meresap hingga ke setiap helai mie, menciptakan pondasi rasa manis yang khas dan berkarakter. 

Manis ini kemudian berjalin dengan gurihnya bumbu halus terutama aroma bawang putih giling yang tajam disusul jejak bawang merah, sedikit sengatan cabai rawit bagi yang menyukainya, serta kesegaran irisan daun bawang. Semua berpadu dalam sebuah simfoni rasa yang membangkitkan selera dan menghangatkan jiwa.

Anomali yang Menyenangkan

Mie Goreng Daeng Bahar adalah sebuah anomali yang menyenangkan, menawarkan lebih dari sekadar pengganjal perut. Penulis mendapati ada kejujuran dalam setiap suapan, kehangatan hidangan rumahan yang dimasak dengan hati. 

Rasa manis kecapnya yang dominan, sebuah kenikmatan dalam kesederhanaan yang penulis rasakan, menjadi ciri khas yang membuatnya mudah dikenang. 

Namun, pesona gerobak Daeng Bahar tak berhenti di mie gorengnya saja. Ia juga menyajikan pentol bakso yang berhasil mencuri perhatian para pelanggan. Bulatan daging sapi yang kenyal dan bertekstur pas itu menjadi pendamping yang sempurna, teksturnya memberikan kontras yang menyenangkan dengan mie yang lembut. 

Keajaiban kecil ini semakin lengkap dengan kehadiran kerupuk bakso yang renyah. Hanya dengan seribu rupiah tambahan, kerupuk ini menambah dimensi kriuk yang memeriahkan pengalaman bersantap, sesuatu yang penulis anggap sebagai pelengkap yang cerdas.

Dengan banderol harga sekitar dua belas ribu rupiah, sebuah angka yang terasa hampir ironis di tengah kenaikan harga kebutuhan pokok, pelanggan sudah bisa menikmati sepiring penuh Mie Goreng Jawa racikan Daeng Bahar, lengkap dengan separuh telur rebus yang gurih dan sebiji pentol bakso kenyal. 

Bagi orang-orang yang datang dengan rasa lapar dan kelelahan setelah bekerja, ini adalah makan malam. Makanan pokok yang efisien, sebuah penangguhan singkat dari kenyataan pahit sebelum hari berikutnya tiba.

Sebuah bukti nyata bahwa kepuasan dan kebahagiaan sederhana masih sangat mungkin ditemukan, bahkan di sudut jalanan yang paling bersahaja sekalipun.

Kebahagiaan Sederhana di Bawah Langit Malam

Saat penulis melihat sekeliling gerobak Daeng Bahar ketika senja semakin larut, tampak bangku-bangku plastik sederhana itu terisi oleh wajah-wajah yang beragam: ada pekerja kantoran yang baru lepas jam kerja, mahasiswa, hingga warga sekitar. 

Ada semacam keheningan yang nyaman di antara mereka, sebuah pemahaman tak terucapkan bahwa mereka sedang berbagi momen ketenangan yang sama, terlepas dari latar belakang dan cerita hidup masing-masing. 

Semua khusyuk menikmati setiap suapan, sejenak melupakan beban dan hiruk-pikuk di luar sana, sebuah pemandangan yang diamati penulis dengan saksama.

Dan sebagaimana senja yang akhirnya benar-benar ditelan malam, selalu ada pelanggan setia yang menyuarakan kepuasan. Malam itu, Om Bahrun, salah seorang pelanggan tetap, mengakhiri santapannya dengan senyum lebar. 

Sambil mengelus perutnya yang tampak penuh, ia berujar kepada sang empunya gerobak, “Daeng Baha’, mie gorengmu ini luar biasa. Bukan cuma bikin kenyang, tapi rasanya sampai bikin lupa sejenak sama cicilan.” 

Sebuah testimoni jenaka namun jujur, yang merangkum esensi dari apa yang ditawarkan Daeng Bahar: sebuah kebahagiaan sederhana di bawah langit malam kota Makassar.

3
0
Adekamwa ♥ Associate Writer

Adekamwa ♥ Associate Writer

Author

Adekamwa, mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi di Universitas Hasanuddin sekaligus staf bagian Humas di Pusjar SKMP LAN. Saya berkomitmen penuh untuk terus belajar dan berkembang, baik sebagai orang tua maupun sebagai akademisi.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post