Dalam dunia birokrasi, suka atau tidak suka, senioritas masih menjadi perdebatan hangat dalam konteks manajemen sumber daya manusia aparatur. Seringkali pertimbangan tentang pengembangan kompetensi dan karir masih dilihat dari perspektif masa kerja dan atau usia.
ASN yang memiliki masa kerja yang lebih banyak dianggap memiliki bekal yang cukup dalam bentuk pengalaman kerja untuk menempuh tahapan selanjutnya dalam karirnya sebagai birokrat.
Bagi setiap ASN pada saat awal-awal terjun ke dalam dunia birokrasi pun pasti tidak asing dengan cerita-cerita seputar pengalaman mereka yang lebih “senior” dalam menghadapi berbagai gelombang birokrasi.
Tak jarang cerita-cerita seperti ini dibumbui dengan frasa-frasa yang mengesankan bahwa perjuangannya sebagai ASN lebih berat, lebih memeras keringat dan pikiran serta diiringi rendahnya kompensasi dan penghargaan.
Sebuah cerita yang kadang justru mengintimidasi alih-alih memotivasi. Tetapi sebetulnya apakah benar seluruh pengalaman tersebut bernilai dan bermanfaat bagi keberlangsungan organisasi?
Senioritas atau Pengalaman?
Di era di mana birokrasi mulai banyak diisi generasi milenial, konsep senioritas seringkali menjadi dilema tersendiri. Model pengembangan karir berbasis masa kerja dianggap kurang sesuai karena tuntutan zaman yang cepat berubah serta adanya pengaruh besar dalam penggunaan teknologi informasi (dan di sinilah letak keunggulan generasi milenial).
Cerita-cerita “perjuangan” ASN di masa lampau mungkin justru hanya menjadi bahan olok-olok semata bila tidak dikelola dengan benar.
Sebelum melanjutkan tulisan ini, saya ingin menekankan bahwa tujuan dari tulisan ini bukanlah untuk mengonfrontasi pendapat dan perspektif tentang senioritas dari generasi yang berbeda. Sangat jauh dari upaya membedah pandangan siapa yang lebih benar.
Dan tentu saja tidak pula ingin menjawab pertanyaan “masa kerja atau kinerja”. Tulisan ini merupakan sebuah pendapat yang justru ingin mencari sintesis dari perbedaan pendapat-pendapat tersebut.
Mengapa harus sintesis? Dalam pemikiran saya, nilai utama dari senioritas sebetulnya bukanlah angka-angka masa kerja, yang justru sering dijadikan acuan utama. Bukan pula cerita-cerita yang sifatnya mengintimidasi “anak baru”.
Akan tetapi, nilai utama dari senioritas adalah pengalaman. Pengalaman yang didapat oleh individu-individu yang sudah lama berkecimpung dalam dunia birokrasi, seyogyanya adalah sebuah mata air pengetahuan bagi jalannya birokrasi.
Utamanya bagi birokrasi yang ingin mengembangkan organisasinya melalui sebuah sistem pembelajaran. Namun selama ini, sangat jarang ditemukan pengelolaan secara efektif dan terkonsep dengan rapi, bagaimana pengalaman-pengalaman yang diperoleh ini menjadi sebuah bahan pembelajaran bersama bagi seluruh komponen organisasi.
Experience Management dalam Birokrasi, Mungkinkah?
Kiblat perkembangan dunia dalam hal manajemen sumber daya manusia, harus diakui, selalu diawali dari tren di sektor privat. Tuntutan untuk mampu survive di dalam lingkungan eksternal yang keras dan tanpa ampun, merupakan sebuah pendorong untuk terus terciptanya berbagai konsep dan inovasi dalam lingkungan sektor privat. Termasuk dengan munculnya konsep manajemen pengalaman atau experience management.
Experience management (XM) atau human experience management (HXM) adalah sebuah konsep di mana organisasi melihat pengalaman sebagai sebuah keunggulan kompetitif. Pada dunia bisnis, pengalaman yang diciptakan suatu organisasi adalah hal penting, yang akan memberikan sebuah budaya dan lingkungan kerja yang menarik, sehingga perusahaan dapat merekrut dan mempertahankan talenta-talenta terbaiknya.
Tentu saja, organisasi tidak hanya mampu bertahan menghadapi kerasnya lingkungan eksternal, tetapi juga mampu terus tumbuh secara berkelanjutan. Selain itu, organisasi sektor privat juga melakukan pengelolaan terhadap pengalaman customer sebagai bahan pengembangan produk-produknya.
Memang tidak dapat dipungkiri, konsep-konsep yang berkembang di organisasi sektor privat tidak dapat serta merta diaplikasikan di dalam organisasi sektor publik atau birokrasi karena adanya perbedaan karakteristik.
Akan tetapi, perbedaan ini dapat dieliminasi melalui sebuah penyesuaian yang selaras dengan budaya, karakter, dan tujuan yang diusung oleh organisasi sektor publik. XM dengan demikian bukan hal yang tidak mungkin dilakukan pada organisasi sektor publik atau birokrasi.
Karena pada dasarnya konsep manajemen sumber daya manusia adalah konsep yang berbicara dan fokus kepada manusia, tidak peduli apakah manusia ini berada di sektor publik, privat, ataupun lembaga non-profit.
Lantas apakah XM merupakan solusi untuk menjadikan pengalaman sebagai alat mengembangkan birokrasi?
Pengalaman adalah Aset
Menyambung tulisan saya sebelumnya di forum birokrat menulis dengan judul “ASN (Seharusnya) adalah Modal Pemerintah”, dalam pandangan saya pengalaman seharusnya adalah bagian dari modal yang dimiliki masing-masing individu ASN, selain pendidikan, pengetahuan, keterampilan, karakter, jaringan dan lain sebagainya.
Meskipun dalam sejarahnya konsep XM muncul untuk melengkapi kekurangan yang ada dalam konsep Human Capital Management.
Apakah dengan demikian semua pengalaman yang dimiliki oleh ASN adalah aset? Bagi saya iya. Hanya saja aset ini hanya akan menjadi aset produktif, apabila pengalaman ini menjadi sebuah bahan pembelajaran.
Pertanyaan berikutnya adalah, berapa banyak yang mampu dipelajari ASN atas pengalaman yang ia alami? Dan berapa banyak pula pengalaman yang bisa ia bagikan kepada anggota organisasi lain untuk pengembangan organisasi?
Saat saya masih sekolah dasar, ada sebuah quote menarik dalam halaman buku tulis yang saya beli, bunyinya adalah “experience is the best teacher”. Pengalaman, dengan demikian akan menjadi sebuah guru yang baik bagi pengembangan organisasi.
Seorang ASN sudah seharusnya mampu belajar dari pengalaman yang ia miliki, sekaligus membagikannya kepada anggota organisasi yang lain. Di lain sisi, ia harus pula mampu belajar dari pengalaman ASN lainnya.
Dengan demikian pengalaman akan menjadi sebuah aset yang produktif, aset yang berharga bila dikelola dalam sebuah konsep experience management melalui skema budaya belajar dalam organisasi. Pengalaman yang diperoleh setiap ASN, harus dikelola, dibagikan dan menjadi pembelajaran bersama.
Organisasi pemerintah dengan demikian, perlu menyediakan waktu, sarana dan fasilitas kepada setiap anggota organisasinya, tanpa memandang jabatan, usia, masa kerja dan jenis kelamin untuk berbagi dalam rangka pengembangan organisasi itu sendiri.
Tentu akan menjadi luar biasa apabila hal ini mampu terdokumentasi dan dilakukan analisis melalui sistem teknologi informasi. Selain itu, setiap organisasi pemerintah harus mampu menerapkan kebijakan bottom-up, di mana organisasi perlu secara berkala mendengarkan masukan dari anggota-anggota organisasinya.
Penerapan XM menuntut organisasi untuk menjalankan loyalitas dua arah, dimana tidak hanya anggota organisasi yang dituntut loyal kepada organisasi atau lembaga, tetapi lembaga juga perlu memberikan perhatian kepada apa yang menjadi concern setiap anggotanya. Dengan demikian, pengalaman, sebagai sebuah aset akan menemukan kebermanfaatannya.
Epilog
Menjadi seorang senior sebetulnya merupakan sebuah anugerah. Ada banyak sekali aset berupa pengalaman yang dapat dijadikan modal dalam menapak jenjang karir maupun meningkatkan kinerja yang lebih baik dari anggota organisasi yang lainnya.
Menjadi ASN yang superior, bukan diktator. Mendorong organisasi untuk terus berkembang bukan stagnan. Tetapi pertanyaannya adalah sejauh mana kita mampu menjadikan pengalaman tersebut sebagai sebuah bahan pembelajaran? Ataukah kita biarkan saja pengalaman tersebut menjadi aset tidak produktif dan terbengkalai?
0 Comments