Seleksi Kompetensi Dasar CPNS dan Talenta yang Terlempar

by Alexander Arie Sadhar ♥ Associate Writer | Nov 26, 2021 | Birokrasi Akuntabel-Transparan | 0 comments

Seleksi Kompetensi Dasar (SKD) sebagai bagian dari seleksi Calon Aparatur Sipil Negara (ASN) telah berakhir. Kementerian, Lembaga, hingga Pemerintah Daerah telah mengumumkan hasil SKD berikut menyimpulkan para peserta yang dapat melanjutkan proses ke Seleksi Kompetensi Bidang (SKB).

Pada tulisan ini, saya mencoba fokus pada hasil seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), sebab proporsinya masih yang paling besar dalam perhelatan akbar seleksi CASN tahun 2021.

Hanya Bisa (Memilih) Satu Formasi

Sejujurnya, setiap kali mengintip hasil seleksi CPNS terutama sejak implementasi kebijakan seleksi terpusat, saya seringkali merasa sedih. Sebagaimana kita ketahui, sejak dilakukan rekrutmen terpusat, maka seorang pendaftar hanya bisa memilih satu formasi pada satu rangkaian panjang seleksi.

Di era fungsionalisasi, formasi itu bahkan mengerucut sampai ke jabatan fungsional pada suatu unit eselon 2. Jadi, seorang pendaftar harus memilih sampai pada tingkatan itu dan tidak boleh memilih yang lain.

Sistematika semacam ini bisa dipahami karena pada skema seleksi sebelumnya, seorang pendaftar bisa saja mengikuti tes di lebih dari 1 Kementerian, Lembaga, atau Pemda dan dapat pula diterima di lebih dari 1 instansi.

Walhasil, akan selalu ada instansi yang dikorbankan. Sudah capek-capek menyeleksi, pas tahap akhir orang yang diterima justru mengundurkan diri karena sudah diterima di tempat lain yang tunjangan kinerjanya dinilai lebih sejahtera.

Hanya saja, upaya mengatasi permasalahan tersebut dengan sistematika satu orang satu pilihan justru menciptakan fenomena lain lagi. Sesuatu yang dalam perspektif human capital sebenarnya cukup disayangkan jika sampai terjadi. Fenomena itu adalah tersisihnya orang-orang yang punya kompetensi memadai sebagai dampak dari sistematika rekrutmen.

Case Study 1: Hasil SKD Kemenkes

Untuk lebih jelasnya, mari kita cek hasil SKD pada sejumlah kementerian. Saya mengambil contoh persaingan formasi yang mensyaratkan latar belakang pendidikan tunggal yakni S-1 Ekonomi Pembangunan di Kementerian Kesehatan.

Di Kementerian tersebut, terdapat sejumlah kebutuhan S-1 Ekonomi Pembangunan untuk beberapa jabatan fungsional. Salah satunya adalah di Direktorat Pengawasan Alat Kesehatan dan PKRT untuk formasi Perencana Ahli Pertama sebanyak 1 orang.

Terdapat 32 peserta yang mengikuti SKD untuk formasi ini dan karena tempat yang diperebutkan hanya 1 maka peserta yang berstatus P/L adalah 3 orang, dengan nilai 437, 432, dan 427.

Menariknya, peserta nomor 4 sampai 8 pada persaingan formasi tersebut nilainya masih 400 ke atas. Iya, nilainya cukup tinggi tapi tidak lebih tinggi dari 3 orang yang sesuai ketentuan berhak untuk ikut SKB.

Di sisi lain, pada kementerian yang sama dan untuk formasi yang mensyaratkan latar belakang pendidikan tunggal S-1 Ekonomi Pembangunan ada kebutuhan 1 orang untuk menjadi Analis Anggaran Ahli Pertama pada Direktorat Kesehatan Lingkungan. Di tempat ini hanya ada 5 peserta SKD dan hanya ada 1 peserta yang berstatus P/L dengan nilai 386.

Ya, ini sama-sama di Kementerian Kesehatan dan sama-sama S-1 Ekonomi Pembangunan, tapi ada orang dengan nilai SKD 400-an gagal maju ke SKB dan di sisi lain ada peserta dengan nilai SKD 386 namun sukses melenggang ke SKB.

Case Study 2: Hasil SKD Kemenkominfo

Jikalau mau melihat fenomena formasi yang kebutuhannya bisa berbagai jurusan juga cukup menarik. Kita ambil contoh hasil SKD di Kementerian Komunikasi dan Informatika dan menganalisis nasib para peserta berlatar belakang S-1 Teknik Elektro.

Untuk jabatan Penyusun Penataan Alokasi Frekuensi pada Direktorat Sumber Daya dengan salah satu jurusan yang diperkenankan untuk mendaftar adalah S-1 Teknik Elektro, terdapat kebutuhan 5 orang sehingga batas P/L-nya adalah 15 orang.

Pada jabatan ini, nilai dari peserta yang tidak lulus juga cukup tinggi karena peringkat 16-nya saja punya nilai 441 dan sampai dengan peserta ke-90 nilai SKD-nya masih 400. Formasi lain yakni Penelaah Sertifikasi Perangkat Telekomunikasi membutuhkan 12 orang—sehingga P/L-nya 36—diketahui bahwa nilai peringkat 37-nya adalah 436 dan bahkan sampai dengan peringkat ke-135 nilai SKD-nya masih di level 400-an.

Sementara itu, pada saat yang sama, S-1 Teknik Elektro juga menjadi salah satu latar belakang pendidikan untuk formasi Penelaah Mutu Layanan Spektrum Frekuensi Radio dan Sertifikasi Operator Radio.

Ada 1 tempat yang diperebutkan sehingga batas P/L-nya 3. Nilai dari 3 orang yang berhak ikut SKB adalah 436, 406, dan 383. Demikian pula untuk formasi Penyusun Data Koordinasi Satelit dengan 1 formasi, nilai peserta yang lolos dari SKD adalah 428, 402, dan 391.

Sebagai gambaran, untuk formasi Penguji Perangkat Telekomunikasi Ahli Pertama yang membuka 16 orang atau tersedia 48 posisi untuk P/L terdapat peserta nomor 49 yang lulusan S-1 Teknik Elektro dengan nilai SKD 437.

Demikian pula peserta nomor 50 yang berasal dari jurusan yang sama memiliki nilai 435. Kita bisa melihat bahwa ada orang yang nilai SKD-nya 437 tidak bisa mengikuti SKB tetapi ada yang nilainya 383 dan berhak ikut SKB.

Mengingat sistemnya sudah disepakati, tentu hasil ini dapat dibilang adil. Akan tetapi, apa tidak merasa sayang ya membiarkan peserta dengan nilai SKD setinggi itu untuk gugur begitu saja?

Dua contoh di atas baru kisah di 1 kementerian. Sementara itu, untuk banyak latar belakang pendidikan terdapat kebutuhan di banyak instansi. Boleh jadi peserta dari S-1 Teknik Elektro tadi akan duduk di peringkat 1 apabila diletakkan pada formasi lain di kementerian lain untuk kebutuhan latar belakang pendidikan yang sama. Demikian pula untuk contoh S-1 Ekonomi Pembangunan.

Perangkat Sahih yang Teruji

Satu catatan penting untuk melakukan analisis adalah kita harus sama-sama meyakini terlebih dahulu bahwa SKD yang terdiri dari TWK, TIU, dan TKP tersebut sudah merupakan perangkat seleksi yang sahih dan teruji. SKD sendiri juga merupakan saringan awal yang berarti levelnya sebenarnya sama persis untuk seluruh formasi.

Artinya, peserta yang nilai SKD-nya 437 jelas lebih baik daripada peserta yang nilai SKD-nya 391. Faktanya, peluang untuk peserta yang nilainya 437 tadi tertutup, sementara pemilik nilai 391 bisa berusaha keras di SKB untuk kemudian bisa terpilih mengisi formasi yang diperebutkan.

Sejumlah teman apoteker dengan idealisme dan kebutuhan tempat kerja juga mengalami hal yang sama pada seleksi beberapa tahun terakhir. Ada seorang rekan yang seleksi untuk UPT di Surabaya dan hanya bisa menduduki peringkat 5 dari 2 formasi yang tersedia.

Di sisi lain, untuk jabatan fungsional yang sama persis tapi pada direktorat yang kantornya di Jakarta, nilai yang dia punya itu malah lebih tinggi dari peringkat 1.

Dia kemudian hanya bilang, “Yah, namanya nasib, Mas…”

Kita percaya dan sangat berharap bahwa seleksi CPNS akan menghasilkan produk yang terbaik dengan kemajuan birokrasi. Produk yang terbaik tentu saja sebaiknya berasal dari masukan yang memang terbaik.

Terbaik dalam hal ini tentu sebaiknya adalah terbaik dari segi nilai. Ingat, yang kita cari kan yang benar-benar pintar, bukan yang pintar-pintar mencari dan memilih formasi untuk dimasuki.

Opsi-opsi Penyempurnaan

Beberapa opsi penyempurnaan tentu dapat dilakukan. Sebagai contoh, SKD sebagai pintu masuk utama. Pemilihan formasi pada suatu instansi baru dilakukan sesudah ada hasil SKD dan menuju SKB.

Pola ini tentu ada plus dan minusnya, boleh jadi akan menambah kompleksitas dalam pengelolaan, namun lebih meminimalkan jumlah bakat yang terbuang karena sistem. Toh, kalau ingin membangun human capital yang prima tentu dibutuhkan sumber daya manusia yang jawara berbasis sistem rekrutmen yang terus-menerus dimutakhirkan.

Ada pula ide lain yang tentunya akan lebih merepotkan bagi instansi pengelola seleksi yakni rekrutmen sepanjang tahun. Ide ini terlontar pada salah satu perkuliahan yang saya ikuti tahun lalu dan kebetulan membahas rekrutmen PNS.

Jadi, SKD diselesaikan dahulu. Orang-orang yang berhasil melampaui Passing Grade kemudian bisa rekrutmen beberapa kali dalam sejumlah gelombang pendaftaran. Misalnya, Kementerian Keuangan, BPK RI, dan BPKP pada bulan Januari, kemudian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, BRIN, dan Kementerian ESDM pada bulan selanjutnya.

Epilog: Berikan Kesempatan

Peserta yang sudah lolos SKD tapi gagal SKB di gelombang bulan Januari bisa mencoba lagi—sebutlah—dua atau tiga kali lagi pada gelombang berikutnya di instansi yang berbeda.

Saya menulis begini juga bukan berarti saya termasuk yang pintar. Bagaimanapun, saya masuk ke birokrasi itu dengan status cadangan nomor 1 yang hanya bisa naik pangkat karena peserta yang diterima malah mengundurkan diri.

Saya hanya sayang saja melihat sejumlah nilai yang tinggi-tinggi di SKD dari sosok-sosok bertalenta itu justru terlempar dari persaingan di babak selanjutnya, hanya karena ‘salah memilih arena’.

Dengan perspektif bahwa SKD adalah parameter yang sahih, mereka-mereka itu sudah terbukti kompeten di 3 aspek sehingga tentu dapat dipandang sebagai modal baik untuk masuk ke birokrasi, atau setidak-tidaknya dapat diberi kesempatan untuk bertarung di arena yang lebih spesifik yakni Seleksi Kompetensi Bidang.

1
0

Bapak muda beranak satu. Apoteker yang menyandang gelar Magister di bidang Ilmu Administrasi melalui beasiswa LPDP. Penulis buku Oom Alfa (Bukune, 2013) serta Asyik dan Pelik Jadi Katolik (Buku Mojok, 2021). Sejumlah tulisannya dapat dibaca di Mojok, Voxpop maupun Detik.

Alexander Arie Sadhar ♥ Associate Writer

Alexander Arie Sadhar ♥ Associate Writer

Author

Bapak muda beranak satu. Apoteker yang menyandang gelar Magister di bidang Ilmu Administrasi melalui beasiswa LPDP. Penulis buku Oom Alfa (Bukune, 2013) serta Asyik dan Pelik Jadi Katolik (Buku Mojok, 2021). Sejumlah tulisannya dapat dibaca di Mojok, Voxpop maupun Detik.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post