Antropologi merupakan studi tentang manusia, di mana dengan begitu semua hal yang berhubungan dengan manusia dan kehidupannya merupakan ranah kajianya. Antropologi sendiri telah dibagi-bagi menjadi beberapa subdisiplin guna memfasilitasi bahasannya secara lebih mendalam pada topik tertentu.
Subdisiplin tersebut antara lain adalah antropologi fisik, arkeologi, linguistik, dan antropologi budaya. Walaupun terbagi-bagi menjadi beberapa subdisiplin, mereka tetap saling mempertahankan analisa dengan dasar ilmu antropologi dan tentunya tidak bisa dipisahkan dari konsep holistik.
Tulisan ini merujuk pada buku berjudul “The anthropology of religion, magic, and witchcraft” yang ditulis oleh Rebecca, and Philip L. Stein (2017).
Holistik, insider dan outsider
Holistik sendiri merupakan salah satu pendekatan ilmu antropologi yang mewajibkan antropolog harus menganalisa kajiannya secara menyeluruh dan mendalam bahkan dalam waktu yang cukup lama mengenai hal-hal yang melingkupi kajiannya tentang manusia, tak lupa pula tetap berpegang pada dasar ilmu antropologi sendiri.
Ketika antropolog terjun dalam masyarakat, ia akan hidup dan berpartisipasi langsung dengan peran sebagai insider maupun outsider dalam masyarakat guna mendapat data yang benar-benar mendalam.
Dengan dua peran tersebut, terkadang antropolog dapat mengalami beberapa masalah seperti munculnya penilaian berdasarkan budaya mereka karena ia berperan sebagai pengamat (outsider) atau dengan kata lain perspektif etic.
Kondisi ini dapat menimbulkan sikap etnosentris. Dengan begitu antropolog harus mengimbangi perannya tersebut dengan menjadi insider, yang melihat budaya berdasarkan kacamata masyarakat yang diteliti, disebut juga sebagai perspektif emic.
Dengan begitu antropolog tetap dapat mempertahankan jantung ilmu antropologi dalam melihat budaya yaitu “relativisme budaya”, di mana antropolog ada dalam masyarakat itu bukan untuk menilai budaya itu salah ataupun benar, tetapi untuk melihat apa yang masyarakat itu percaya.
Budaya sendiri merupakan ranah kajian antropologi untuk melihat kehidupan manusia. Dengan melihat dari segi budaya, antropolog dapat melihat berbagai hal-hal kompleks sekalipun yang ada dalam sistem kehidupan manusia.
Agama sebagai unsur kebudayaan
Dengan berbagai dasar ilmu dalam antropologi ini, diharapkan dapat membawa pemahaman manusia tentang agama secara lebih objektif seperti apa yang selanjutnya para penulis paparkan.
Agama sebagai salah satu unsur kebudayaan masayarakat yang cukup penting sebagai elemen pembangun sistem kehidupan, telah menjadi kajian yang cukup menarik perhatian dalam antropologi sejak beberapa waktu lalu.
Oleh karena itu, antropologi agama muncul untuk memberikan ranah pemahaman akan “manusia” itu sendiri melalui konteks “agama”, dan bagaimana agama ini pun hadir dalam sistem kehidupan manusia.
Agama adalah konsep yang sulit untuk didefinisikan ketika kita mencoba memasukkan semua masyarakat atau manusia yang ada di dunia ini. Sebuah definisi analitik berfokus pada cara di mana agama memanifestasikan dirinya atau diekspresikan dalam budaya, sedangkan definisi fungsional melihat keterkaitan peran yang dimainkan agama dalam masyarakat.
Akhirnya, sebuah definisi esensialis melihat apa yang esensial dari sifat agama yaitu bahwa agama adalah domain yang luar biasa. Para penulis dalam bacaan ini memberi definisi dengan memandang agama sebagai seperangkat budaya keyakinan dan praktik yang biasanya mencakup dasar serangkaian karakteristik.
Para penulis buku memaparkan berbagai cerita dari etnografi-etnografi yang telah dilakukan sebelumnya untuk menggambarkan konsep “agama” dalam beberapa kelompok masyarakat.
Penyakit Kuru vs Kanibalisme di New Guinea
Salah satu yang sangat menarik bagi saya adalah tentang masyarakat di New Guinea, di mana masyarakat ini mengalami penyakit yang sering memakan korban dari golongan wanita seperti istri dan anak-anak perempuan. Penyakit ini dinamakan kuru.
Penelitian medis yang condong ke ilmu dunia barat menjelaskan bahwa penyakit ini timbul akibat adanya praktik kanibalisme yang masih mereka lakukan dalam acara adat pemakaman. Namun, di satu sisi berdasarkan apa yang telah mereka percaya, penyakit kuru ini merupakan penyakit yang berasal dari kekuatan gaib, sihir, dukun, dan sebagainya.
Penyakit ini akhirnya berangsur-angsur dapat dikurangi jumlah pengidapnya, karena mereka tidak lagi dan dilarang melakukan praktik kanibalisme ini lagi.
Di sisi lain, sebenarnya mereka tidak lagi melakukan hal tersebut bukan karena mereka benat-benar mengerti dan percaya pada penjelasan medis, tetapi karena adanya tekanan “takut dipenjara” dan “dilarang oleh pemerintah”, sehingga mereka mau tidak mau harus meninggalkan kepercayaan mereka tersebut.
Dalam kasus ini, sebenarnya butuh antropolog, untuk melihat situasi dari sudut pandang antropologis holistik, untuk membuat hubungan antara kuru dan kanibalisme, meskipun ini harus dikonfirmasi melalui serangkaian prosedur yang diamanatkan dengan metode ilmiah.
Hal ini guna menghindari berbagai masalah yang bisa timbul, seperti munculnya etnosentrisme dan sebagainya. Dalam menanggapi kondisi ini, antropolog dapat menghadapi beberapa masalah dengan dua peran yang ada.
Oleh karena itu, konsep relativisme budaya harus sangat ditekanankan. Untuk seberapa suksesnya antropolog melihat kondisi ini, tentunya akan memerlukan energi yang pastinya tidak sedikit.
Beberbapa pendekatan untuk memahami agama
Dalam mempelajari agama sendiri, para penulis sendiri menyertakan beberapa pendekatan, seperti pendekatan evolusioner yang menggambarkan bagaimana agama terus berkembang dan berevolusi dari yang sederhana menjadi semakin kompleks, seperti dari anisme, dinamisme, totemisme dan sebagainya sampai kepada agama islam, kristen, katolik dan lain-lain.
Selain itu adapula pendekatan marxis yang saya sendiri kurang merasa pas dengan penjelasannya mengenai agama. Pendekatan ini memandang bahwasanya agama adalah hasil konstruksi dari “para penguasa” yang berhubungan dengan sistem kapitalis.
Menurut saya pendekatan ini kurang dengan spesifik dan mendalam, terutama para penulis juga kurang dapat menyampaikan apa pokok dalam pendekatan ini secara lebih spesifik dan mudah dipahami, sehingga pembaca langsung digiring pada oposisi marxisme.
Selain kedua pendekatan di atas ada pula pendekatan fungsional yang melihat tentang apa yang dilakukan agama dan apa perannya.
Selanjutnya adalah pendekatan interpretatif dari Clifford Geertz yang lebih fokus terhadap simbol-makna, karena dari simbol-simbolnya tersebut dapat terlihat ide, nilai, dan cara hidup masyarakatnya.
Terakhir adalah pendekatan psikososial prihatin yang berusaha melihat hubungan antara budaya dan kemanusiaan serta hubungan antara masyarakat dan individu.
Kompleksitas studi tentang masyarakat
Dari beberapa penjelasan yang ada di bacaan ini mengenai bagaimana konsep-konsep dan kasus, saya sangat tertarik mengenai bagaimana agama dan ilmu pengetahuan sebenarnya memang sulit untuk dianalisis seimbang.
Melihat kasus yang ada seperti di masyarakat Fore, New Genuia, saya rasa untuk mencari titik tengah memanglah sulit, karena kepercayaan masyarakat tersebut telah lama dan seakan mendarah daging dalam diri masyarakat Fore.
Sangatlah sulit untuk memberi penjelasan berdasarkan ilmu medis yang mungkin baru mereka dengar. Begitu juga dengan ilmu medis, sulit untuk memberi pemahaman kepada budaya mereka yang telah ada jauh sebelum mereka hadir.
Dengan begitu, saya kurang memahami bagaimana antropologi agama harus hadir di tengah-tengah yang seakan menjadi penengah dari dua pihak ini? Karena saya rasa ketika membaca contoh kasus seperti kanibalisme ini saya sedikit memberatkan kepada ilmu medis.
Lalu bagaimana, tentunya kita perlu terus belajar untuk memahami uniknya manusia, menurut kacamata ilmu antropologi.
0 Comments