Sedia Payung Sebelum Berburu: Sebuah Paradoks Klaim Keberhasilan

by | Jun 28, 2025 | Birokrasi Berdaya | 0 comments

Seorang pria tua masuk ke bar, menyeringai, lalu mengumumkan:

 “Istri muda saya hamil!”

Terdengar tepuk tangan meriah—tapi seorang dokter di sudut ruangan hanya mengangkat alis, lalu mendekat. Ia berkata pelan,

“Kek, saya punya cerita, suatu ketika, seorang pikun pergi berburu rusa… tapi yang dibawanya hanya payung, bukan senapan. Lalu setelah sekian lama masuk hutan, sang pemburu melihat rusa dan menodongkan payungnya, DORRR….seekor rusa mati tertembak di depannya………”

Si pria tua mengernyit, lalu menyanggah:

“Mustahil! Pasti ada orang lain yang menembak rusa itu.”

Sang dokter tersenyum dan menepuk bahunya:
“Nah, tepat sekali!!!”

Ilusi Pencapaian di Birokrasi

Humor di atas mungkin membuat kita tersenyum simpul, seolah hanya cerita fiksi. Tapi sadarkah kita, bahwa ilusi pencapaian itu ada di sekitar kita. Karena kenyataannya, banyak orang—terutama dalam birokrasi—merasa sudah berhasil menembak rusa, padahal yang dibawa hanya payung.

Dalam birokrasi dan manajemen, kita sering melihat perayaan hasil—laporan penuh warna hijau, grafik naik, dan pidato apresiasi yang meyakinkan—tanpa pernah benar-benar menengok proses di baliknya: apakah rusa itu memang ditembak dengan senapan, atau hanya kebetulan jatuh begitu saja?

Padahal dunia manajemen telah mengenal kerangka IPOOI (Input–Process–Output–Outcome–Impact), sebuah model logis yang berkembang dari IPO (McGrath, 1964) dan banyak dipakai dalam sistem pengukuran kinerja dan akuntabilitas publik. 

  • Dalam kerangka ini, input mencakup segala sumber daya yang kita miliki sejak awal: jumlah dan kapasitas SDM, waktu yang tersedia, anggaran yang dialokasikan, hingga peralatan atau dukungan teknologi. 
  • Lalu ada proses—yakni cara kerja, alur tugas, sistem pendukung, dan budaya organisasi yang mewarnainya. Hasil dari semua itu adalah output, yaitu produk atau layanan yang langsung terlihat dan bisa diukur.
  • Namun tidak berhenti di situ. Yang lebih penting adalah outcome, yaitu dampak jangka menengah yang dirasakan oleh penerima manfaat—apakah layanan itu benar-benar menyelesaikan masalah. 
  • Dan akhirnya, kita bicara soal impact: perubahan besar dan berkelanjutan yang terjadi di masyarakat atau sistem, sebagai hasil jangka panjang dari kerja kita.

Namun dalam praktik, banyak pimpinan tertinggi organisasi latah melompat ke outcome dan impact, menepuk dada di atas panggung, tanpa menyadari bahwa input-nya tidak pernah cukup, atau prosesnya setengah mati. 

Maaf saja, kita tak bisa bicara dampak, jika dari awal saja pelurunya kosong.

Antara Heroik dan Ironi

Fenomena ini bukan hal baru. Di banyak instansi, sering kita temui sosok pimpinan yang lantang berkata:

“Saya meyakini di dalam diri kalian semua tersimpan potensi luar biasa untuk meraih hasil maksimal. Jadi, mari kesampingkan sejenak segala keterbatasan yang mungkin kita hadapi—baik itu kekurangan staf, waktu, atau anggaran—dan tunjukkan bahwa kita adalah tim yang mampu beradaptasi dengan segala situasi”

Kalimat ini terdengar heroik di permukaan—seolah menanamkan semangat pantang menyerah. Tapi dibalik itu, tersimpan ironi: mengabaikan realitas sumber daya adalah bentuk penolakan terhadap logika manajemen paling dasar. 

Input adalah fondasi.

Ketika fondasi ini diabaikan, maka prosesnya pun rapuh, dan output yang dihasilkan sering kali dicapai dengan mengorbankan kualitas, kesejahteraan pegawai, bahkan rasa kemanusiaan. Dan lebih menyedihkan, kadang keberhasilan itu pun bukan hasil internal—tapi buah kerja pihak lain yang tidak pernah masuk panggung.

Sayangnya, sistem tidak peduli siapa yang membawa payung dan siapa yang berdarah-darah di hutan. Yang penting rusa jatuh, tanduknya bisa dipamerkan. Yang penting target terpenuhi, sesuai indikator asal nendang yang dibebankan. 

Maka, lahirlah situasi absurd di mana pegawai dituntut menghasilkan kinerja maksimal tanpa diberikan peluru, bahkan tanpa diberi senapan. Satu orang mengerjakan tugas untuk tujuh orang. 

Hidup dalam Mode Survival

Anggaran operasional dipotong, tapi target tetap, bahkan meningkat. Waktu dengan keluarga terkikis, kesehatan mental diabaikan, dan ruang istirahat berubah menjadi ruang tangis. Kemana kiranya work-life balance yang selalu didengungkan? 

Beban kerja yang tak sebanding membuat banyak pegawai hidup dalam mode survival. Laporan “berhasil” terus dirayakan, sementara tubuh dan jiwa yang lelah menua lebih cepat, dan sebagian bahkan jatuh sebelum garis akhir. 

Dalam satu kasus yang hilang dari radar pemberitaan, seorang ASN muda meninggal karena kelelahan ekstrim setelah berjibaku dengan tumpukan pekerjaan. Apakah ini harga yang pantas untuk sebuah laporan? 

Atau hanya bukti lain bahwa kita sedang berburu rusa dengan payung, sambil tetap mengklaim kehebatan?

Di sinilah letak ironi paling kelam dari birokrasi modern: kita mulai percaya bahwa keberhasilan bisa dicapai dengan asal tendang, asal lapor, asal tampil. Asal ada grafik naik, semua senang. 

Tidak peduli apakah yang naik itu hasil inovasi atau hasil manipulasi. Tidak peduli siapa yang letih dan tertatih di balik layar. 

Bahkan ketika peluru keberhasilan itu sebenarnya ditembakkan oleh pihak lain—oleh inisiatif pribadi, solidaritas rekan kerja, atau keberuntungan belaka—sistem tetap menyambar kredit dan menyisipkan dalam laporan akuntabilitas kinerja.

Budaya Klaim dan Manajer Ilusionis

Budaya klaim seperti ini melahirkan manajer-manajer ilusionis, yang ahli menepuk dada tetapi tidak pernah mengisi peluru. Mereka yang lebih sibuk membangun narasi daripada membangun tim. 

Mereka yang lupa bahwa manajemen bukan soal mengatur output, tetapi soal mengatur agar input dan proses menghasilkan output yang berkelanjutan dan manusiawi. 

Dan persis seperti kakek yang membawa payung ke hutan lalu bangga menemukan rusa mati, para pengambil keputusan kadang lupa bertanya: siapa yang sebenarnya menembakkan pelurunya? Atau lebih penting lagi: berapa banyak orang yang harus roboh sebelum rusa itu jatuh?

Ironi lain yang jarang dibahas adalah sistem insentif yang keliru. Banyak lembaga menilai kinerja semata dari angka output—berapa laporan selesai, berapa kegiatan terselenggara, berapa target tercapai—tanpa melihat proses yang ditempuh untuk mencapainya. 

Maka, lahirlah ketimpangan yang tak kasat mata: dua pegawai sama-sama mencapai target, tapi dengan cerita yang berbeda. 

  • Yang satu bekerja dalam tim solid, didukung anggaran memadai, dengan beban kerja wajar. 
  • Yang lain bekerja sendirian, lembur setiap hari, mengorbankan waktu dan kesehatan, tanpa cukup alat bantu. 
  • Nilai kinerjanya? Sama. Sistem ini menutup mata terhadap kelelahan struktural dan justru memberi insentif pada ketidakseimbangan yang perlahan membunuh.

Lahirnya Penjilat: Spesies Tahan Banting

Dalam ekosistem yang menafikan input dan mengagungkan output semu, tumbuhlah satu spesies yang paling tahan banting: penjilat. 

Mereka adalah orang-orang yang ahli berselancar di atas kerja keras orang lain. Tak perlu tahu proses, tak peduli siapa yang kelelahan, yang penting mereka tahu kapan harus muncul di layar presentasi, kapan harus ikut foto, dan kapan berkata, “Ini semua berkat arahan pimpinan.”

Mereka tahu bahwa sistem menyukai narasi keberhasilan, bukan kebenaran proses. Maka mereka menjadi kurir narasi, mengantarkan prestasi palsu ke meja atasan dengan senyum penuh hormat dan laporan warna-warni yang dicetak mengkilat. 

Bukan hanya tidak menembakkan peluru,
mereka bahkan tak pernah masuk hutan. Tapi belakangan, nama mereka ada di daftar penerima penghargaan, atau bahkan dipromosikan. 

Lebih menyakitkan, keberadaan mereka justru menutupi jeritan mereka yang bekerja sungguhan. Mereka yang meminta tambahan personel dianggap mengeluh. Mereka yang mempertanyakan beban dianggap tidak loyal. Maka sistem terus berjalan, diwarnai oleh senyap kejujuran dan nyaring para pencari perhatian. 

Dan payung pun terus disulap seolah menjadi senapan.

Saatnya Berhenti dan Membuat Ruang Aman

Barangkali inilah saatnya kita berhenti merayakan hasil yang tidak kita pahami prosesnya. Keberhasilan yang tidak ditopang oleh input yang sehat adalah keberhasilan yang rapuh, tidak bisa direplikasi, dan sering kali dibayar terlalu mahal oleh mereka yang tak pernah masuk dalam narasi kesuksesan. 

Sistem yang memaksa hasil tanpa memperkuat sumber daya bukanlah sistem yang efektif—itu sistem yang menipu diri. Terlihat hebat di permukaan, tapi di dalamnya penuh luka, peluh, dan dendam yang tidak diucapkan.

Birokrasi yang terus menutup mata terhadap kualitas input sedang menggali kuburnya sendiri—bukan karena gagal mencapai target, tapi karena gagal menjaga manusia yang membuat target itu mungkin tercapai. 

Efek jangka panjang dari keberhasilan semu ini bukan hanya membuat pegawai muak dan pergi (brain drain), tapi juga membuat sistem menjadi reaktif: hanya sibuk menjawab krisis, bukan membangun ketahanan. 

Tanpa data proses yang jujur, tanpa pemetaan input yang benar, organisasi akan gagal melakukan perbaikan sistemik. 

Solusinya bukan revolusi besar-besaran, tapi dimulai dari keberanian sederhana: mengakui bahwa input dan proses itu penting. Bahwa manusia bukan mesin, dan bekerja bukan sihir. 

Kita butuh ruang yang aman bagi pegawai untuk menyuarakan keterbatasannya tanpa takut dicap lemah atau tidak loyal. Kita perlu mengembalikan logika manajerial ke jalurnya: kualitas hasil bukan hanya ditentukan oleh ambisi target, melainkan oleh kecukupan sumber daya dan kewarasan proses yang mengantarkannya. 

Setiap keberhasilan harus bisa ditarik benang logisnya dari awal hingga akhir—tidak putus di tengah atau sekadar dinarasikan tanpa dasar.

Sistem yang Kita Butuhkan

Sistem yang menghargai kerja nyata bukanlah sistem yang hanya menanyakan, “Mana hasilnya?”, tetapi juga bertanya, “Dengan apa kamu mengupayakannya?” 

Sistem seperti ini tidak hanya mengukur output, tetapi juga inputnya diverifikasi, prosesnya diawasi, outcome-nya dikonfirmasi, dan impact-nya ditelusuri kembali ke asal muasalnya. Kita perlu sistem yang:

  • Memetakan input secara realistis, misalnya dengan analisis beban kerja dan yang terukur dengan akurat, rasio ideal SDM terhadap tugas, serta proporsi anggaran terhadap kompleksitas program.
  • Membangun sistem proses yang transparan, seperti digitalisasi alur kerja (SOP) yang bisa diakses dan diaudit secara real-time, jalur eskalasi masalah yang benar-benar berfungsi, serta ruang refleksi berkala.
  • Menghindari glorifikasi output semu, dengan memastikan bahwa indikator yang digunakan bukan sekadar angka besar yang menyesatkan, tetapi benar-benar relevan dengan manfaat yang dijanjikan.
  • Menyusun outcome dan impact yang terukur secara berkelanjutan, melalui survei kepuasan, evaluasi efek kebijakan, atau analisis biaya-manfaat jangka panjang.

Dengan pendekatan ini, organisasi tidak hanya menghargai pegawai yang menyelesaikan pekerjaan, tapi juga memahami konteks kerja mereka. Dan jika memang ada yang hanya membawa payung, sistem akan tahu batasnya—ia tidak akan memaksa pegawai itu berburu rusa. 

Karena rusa yang mati bukan selalu tanda keberhasilan. Kadang ia hanyalah korban dari sistem yang tak bisa melacak siapa yang membawa senapan, siapa yang membawa payung, dan siapa yang setiap hari masuk hutan tanpa pelindung apa pun.

1
0
Ditya Permana ◆ Professional Writer

Ditya Permana ◆ Professional Writer

Author

ASN provokatif jebolan Manajemen Kebijakan Publik Monash University yang sedang belajar untuk menulis lagi

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post