Beberapa waktu yang lalu, Menkopolhukam Mahfud MD mengungkapkan jika ekonomi Indonesia akan memasuki jurang resesi pada kuartal ketiga 2020 –tepatnya Juli s.d. Sepetember 2020. Bahkan Mahfud menyebut bahwa probabilitas terjadinya resesi adalah sebesar 99,99%. Sehingga artinya, hanya 0,01% saja kemungkinan munculnya keajaiban Indonesia tidak mengalami resesi.
Hampir senada, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga memproyeksikan ekonomi kuartal ketiga berada di rentang minus 2 persen hingga 0 persen. Hampir tidak mungkin Indonesia menghindari resesi ekonomi yang akan atau sedang terjadi.
Kemungkinan resesi ini diperkuat oleh pernyataan beberapa ekonom. Misalnya, ekonom Institute for Development on Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati, dan ekonom Center of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah.
Keduanya sepakat memastikan ekonomi di kuartal III-2020 berada di level negatif dan ekonomi Indonesia resesi. Namun, keduanya juga memprediksi jika realisasinya akan lebih baik daripada kuartal sebelumnya.
Indonesia Resesi, Sebuah Keniscayaan
Perlu dipahami, resesi sendiri sering didefinisikan sebagai kontraksi atau pertumbuhan ekonomi negatif selama dua kuartal berturut-turut. Definisi ini dipopulerkan oleh profesor ekonomi dan statistik dari Universitas Rutgers, Julius Shiskin pada tahun 1974.
Shiskin menuliskan beberapa indikator resesi ekonomi di harian New York Times, yakni Produk Domestik Bruto (PDB), produksi industri, dan pengangguran.
Oleh karena itu, berdasarkan data BPS, Indonesia pada kuartal kedua tahun 2020 menunjukkan pertumbuhan ekonomi negatif sebesar 5,32% (year on year/yoy). Sehingga, jika ramalan kuartal ketiga pertumbuhan ekonomi masih negatif, Indonesia tidak diragukan lagi akan menyusul beberapa negara lain di dunia yang telah mengumumkan resesi pada tahun 2020 ini.
Amerika serikat menjadi salah satu negara yang secara awal mengumumkan mengalami resesi. Negeri Paman Sam ini mencatat pertumbuhan minus hingga 32,9 persen pada kuartal II-2020, seusai pada kuartal I mencatatkan pertumbuhan negatif 5 persen.
Sementara, Australia baru-baru ini juga telah mengumumkan diri mengalami resesi. PDB Australia secara kuartalan (quarter to quarter/QtQ) di kuartal II berkontraksi sebesar minus 7% dari sebelumnya kuartal I bertumbuh negatif 0,3%. Ini adalah resesi pertama Australia setelah 29 tahun.
Bahkan saat krisis global 2008 yang lalu, negara kangguru tersebut menjadi negara maju satu-satunya yang bisa terhindar dari resesi. Sementara itu, beberapa negara lain yang telah diketahui memasuki resesi yakni Jerman, Singapura, Perancis, Italia, Korea Selatan, Spanyol, Filipina, Inggris, Malaysia, Polandia, Thailand, Jepang, dan lain-lain.
Apa penyebab resesi yang mulai dialami banyak negara ini? Penyebab utamanya resesi saat ini adalah pandemi Covid-19. Pandemi ini tengah menyebabkan banyak aktivitas berhenti. Sangat berkurangnya pergerakan manusia dan uang ini jelas memukul perekonomian dunia.
Tidak Semuanya Menjadi Buruk
Menurut perkiraan Bank Dunia, ekonomi global akan menyusut 5,2 persen. Baik negara maju maupun berkembang diperkirakan banyak yang mengalami perlambatan ekonomi. Sehingga mau atau tidak mau, kenyataan jika Indonesia ekonominya tidak bagus atau bahkan mengalami resesi tidak dapat dipungkiri lagi.
Namun dengan kenyataan ini, tidak lantas semuanya jadi serba buruk. Dalam menyongsong masa resesi atau paceklik ekonomi ini, bukan berarti Indonesia harus pesimistis.
Sebagai sebuah musim paceklik yang sudah diketahui akan dilalui, maka tentu yang dilakukan bukan lagi bagaimana menghindari. Namun, yang lebih tepatnya ialah merespons untuk meminimalkan risiko kerugian resesi dan bertindak cepat dalam pemulihan ekonomi pasca pandemi.
Untuk menjustifikasi resesi buruk atau tidak, seharusnya dipandang dari segi langkah-langkah kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam memitigasi dampak ancaman resesi ini. Salah satu dampak utama yang pasti terjadi adalah penurunan pendapatan perkapita masyarakat.
Itulah mengapa dapat kita perhatikan saat ini pemerintah menggulirkan berbagai kebijakan. Tujuannya, untuk mempertahankan pendapatan masyarakat, khususnya yang berada di golongan menengah ke bawah.
Kebijakan-kebijakan
Kebijakan-kebijakan tersebut di antaranya berupa perluasan penerima Bantuan Sosial (bansos); dana hibah UMKM; sembako plus uang tunai; insentif Pajak Penghasilan (PPh) 21 bagi pegawai sektor tertentu; dan baru-baru ini pemberian subsidi gaji sebesar Rp600.000,00 per bulan bagi pegawai yang memiliki gaji di bawah Rp5.000.000,00; serta berbagai kebijakan lainnya.
Geliat kebijakan pemerintah juga menyasar sektor korporasi. Akibat pandemi covid-19 berbagai kegiatan ekonomi yang melambat sehingga banyak perusahaan kesulitan keuangan. Oleh karena itu, untuk tahun 2020 pemerintah memberikan berbagai insentif khusus di bidang perpajakan untuk membantu likuiditas perusahaan.
Insentif-insentif pajak tersebut berupa:
- Pembebasan pembayaran PPh Pasal 22 Impor untuk mendukung arus barang masuk, yang saat ini banyak berkurang akibat pandemi di negara asal, atau pengurangan aktivitas belanja impor dalam negeri;
- Pengurangan atau diskon cicilan pembayaran PPh Pasal 25 sebesar 50%. Sehingga alokasi keuangan yang semula digunakan untuk membayar pajak, setengahnya dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas perusahaan.
- Kemudahan dan percepatan pemberian restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Insentif ini membantu, agar perusahaan yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang masuk dalam klasifikasi, mendapatkan pengembalian kelebihan pembayaran PPN lebih mudah dan cepat. Insentif ini dimaksudkan agar perusahaan segera memperoleh aliran kas masuk untuk memperkuat arus kasnya.
- Insentif PPh Final Jasa Konstruksi atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Penerima Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3-TGAI) ditanggung Pemerintah sejak tanggal 14 Agustus s.d. Masa Desember 2020.
Tidak hanya itu, masih terdapat kebijakan lain yang diterbitkan pemerintah, seperti pemberian subsidi bunga untuk stimulus UMKM; penjaminan kredit modal kerja baru UMKM; penyertaan modal ke BUMN; dan sebagainya. Tidak lupa pula kebijakan yang terpenting dalam mengatasi sumber utama masalah pelemahan ekonomi ini, yakni mengatasi pandemi.
Pemerintah banyak merelokasi dan me-refocusing anggaran ke bidang kesehatan khususnya dalam penanganan wabah, termasuk dengan memberikan insentif tambahan penghasilan kepada tenaga kesehatan. Dengan berbagai kebijakan positif tersebut, tentu telah menunjukkan kesiapan pemerintah dalam menghadapi masa resesi yang akan datang.
Epilog
Jika resesi diibaratkan badai hujan, maka antisipasi kedatangannya bukan pada diskursus bagaimana menghalau hujannya, tapi lebih pada langkah antisipasi. Dalam hal ini yaitu mengenakan pelindung berupa payung atau jas hujan, dan mempersiapkan perbekalan yang cukup untuk melewati masa-masa badai tersebut.
Jika pelindung telah dikenakan dan perbekalan telah cukup, maka seharusnya tidak ada rasa khawatir lagi dalam melewati resesi yang telah menanti di depan mata. Untuk itu, resesi tidak lagi harus dianggap serba buruk lagi. Optimisme untuk Indonesia mampu melewati masa resesi dan segera bangkit dari keterpurukan ekonomi bukan sesuatu yang musykil.
Apalagi, solusi dari penyebab utama masalah ekonomi tersebut, yakni vaksin Covid-19 semakin menemui titik terangnya. Maka sudah hampir dapat dipastikan, badai akan secepatnya berlalu.
Tabik.
ASN pada Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan RI. Alumnus STAN.
Terima kasih untuk pencerahannya, Mas. Masih banyak yang belum paham dampak dari resesi.