
Dalam enam bulan pertama masa jabatannya, Presiden Prabowo Subianto telah dua kali mengunjungi Uni Emirat Arab (UAE). Kunjungan ini berdekatan dengan gelaran Kejuaraan Pencak Silat Dunia di Abu Dhabi, olahraga yang secara historis merupakan identitas budaya Indonesia.
Fenomena ini memantik pertanyaan: seberapa strategiskah UAE bagi Indonesia? Apakah diplomasi intensif ini benar-benar membawa keuntungan konkret, atau sekadar ilusi komitmen yang tertahan birokrasi dan ketergantungan asing?
Mencari Investasi
Sebagai negara dengan dana kekayaan negara (sovereign wealth fund) terbesar keempat di dunia (USD 1,5 triliun pada 2023), UAE memang menjadi magnet bagi negara berkembang seperti Indonesia.
Sejak 2020, UAE telah menjanjikan investasi senilai USD 32,7 miliar,
terutama di sektor energi terbarukan dan infrastruktur, termasuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) bersama Masdar dan pengembangan
Ibu Kota Nusantara (IKN) (return.pub).
Namun, realisasi investasi UAE baru mencapai kurang dari 35%, dengan proyek strategis seperti kilang minyak Grassroot Refinery di Bontang yang tertunda akibat hambatan perizinan dan regulasi yang tidak jelas.
Masalah utama terletak pada inkonsistensi kebijakan dan birokrasi Indonesia yang korup. Laporan Ease of Doing Business Bank Dunia (2020) menempatkan Indonesia di peringkat 73 dari 190 negara, lebih rendah dari Vietnam (70) dan Thailand 21, yang mencerminkan lambannya proses perizinan.
Jika tidak ada reformasi struktural, janji investasi UAE hanya akan menjadi lip service, sementara Indonesia terus kehilangan kesempatan membangun kemandirian energi dan infrastruktur.
Penguatan Kerja Sama Pertahanan
Sebagai mantan Menteri Pertahanan, Prabowo tampaknya melihat UAE sebagai pintu masuk untuk modernisasi alat utama sistem pertahanan (alutsista). UAE, yang menghabiskan USD 23,8 miliar untuk impor senjata pada 2023, memang menjadi mitra potensial.
Namun, kerja sama ini menyimpan paradoks. Misalnya, pengadaan drone Bayraktar TB2 dari Turki melalui UAE memang meningkatkan kemampuan pertahanan udara, tetapi juga memperkuat ketergantungan pada teknologi asing.
Padahal, proyek bersama PT Len Industri dan Edge Group dalam pengembangan radar dan drone masih dalam tahap awal, dengan hasil yang belum terukur.
Pengalaman Indonesia dalam proyek KF-21 Boramae bersama Korea Selatan mengajarkan bahwa transfer teknologi membutuhkan waktu puluhan tahun dan komitmen anggaran yang masif.
Tanpa kerangka hukum yang menjamin alih teknologi penuh, kerja sama dengan UAE berisiko menjerumuskan Indonesia ke dalam lingkaran impor alutsista, seperti yang terjadi pada proyek jet tempur Rafale Prancis, di mana pembelian 42 unit tidak disertai klausul transfer teknologi kritis (zonajakarta.com).
Membangun Jembatan Diplomatik
UAE kerap diproyeksikan sebagai “jembatan diplomatik” Indonesia di Timur Tengah, khususnya dalam isu Palestina. Namun, klaim ini perlu dikritisi. Sejak normalisasi hubungan dengan Israel lewat Abraham Accords (2020), pengaruh UAE dalam konflik Palestina justru dipertanyakan.
Sementara Indonesia mengutuk okupasi Israel, UAE malah membuka hubungan dagang dengan Israel senilai USD 2,85 miliar pada 2023 (reuters). Diplomasi “tangan panjang” ini berisiko merusak konsistensi Indonesia dalam mendukung Palestina.
Di sisi lain, kedekatan dengan UAE membawa konsekuensi reputasi. UAE tercatat sebagai aktor utama dalam konflik Sudan melalui pendanaan kelompok militia Rapid Support Forces (RSF) yang dituduh melakukan pelanggaran HAM (UN Report).
Jika Indonesia tidak hati-hati, kemitraan ini bisa ditafsirkan sebagai pembiaran terhadap pelanggaran HAM, di mana hal ini bertentangan dengan prinsip bebas-aktif yang diamanatkan konstitusi.
Komitmen vs. Realisasi
Meski mencatat peningkatan perdagangan bilateral sebesar 28% pada 2023, kontribusi UAE sebagai investor masih kecil, hanya 8% dari total PMA Indonesia. Jumlah ini jauh di bawah Singapura (34%) dan Tiongkok (15%). Karena itu, Indonesia harus mendiversifikasi mitra dan tidak terjebak pada retorika “komitmen fantastis” dari UAE.
Transparansi juga menjadi masalah. Proyek IKN yang melibatkan Al Dahra Holdings, misalnya, dikritik karena minimnya keterbukaan informasi terkait skema bagi hasil dan dampak lingkungan. Tanpa akuntabilitas, proyek-proyek ini berpotensi menjadi ajang korupsi dan eksploitasi sumber daya alam.
Maka, kunjungan Prabowo ke UAE mencerminkan strategi pragmatis, tetapi keberhasilannya bergantung pada kemampuan Indonesia mengatasi masalah struktural: birokrasi, transparansi, dan visi teknologi jangka panjang.
UAE adalah mitra penting, namun bukan satu-satunya. Indonesia perlu menjaga keseimbangan dengan memperkuat kerja sama dengan Jepang, Korea Selatan, dan Uni Eropa yang memiliki rekam jejak jelas dalam transfer teknologi dan tata kelola investasi berkelanjutan.
Diplomasi bukan sekadar pertukaran kunjungan dan MoU, melainkan bagaimana memastikan setiap kesepakatan membawa keadilan dan kemandirian bagi Indonesia.
Tanpa perubahan sistemik, hubungan Indonesia-UAE hanya akan menjadi hubungan elite yang menguntungkan segelintir pihak, tetapi gagal menjawab kebutuhan rakyat. Saatnya diplomasi tidak hanya “mencari investor”, melainkan juga memperkuat kedaulatan dan martabat bangsa.
0 Comments