Saya Tahu Nusantara Bakal Mangkrak, Inilah Alasannya. Nomor 5 Paling Tidak Disangka

by Ditya Permana ◆ Active Writer | Feb 13, 2025 | Birokrasi Akuntabel-Transparan | 2 comments

 

Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) terus berjalan, tapi ada sesuatu yang terasa janggal. Alih-alih ramai oleh pekerja konstruksi dan calon penduduk, berita yang beredar justru memperlihatkan angsa dan bebek berkeliaran di area yang seharusnya menjadi pusat pemerintahan baru.

Jalanan lebar masih kosong,
gedung-gedung yang dibangun baru sebatas rangka, dan belum ada tanda-tanda kehidupan kota yang sesungguhnya.  Lebih parah lagi, janji keberlanjutan anggaran sirna karena titah efisiensi dari penguasa.

Saya tidak terkejut. Sejak awal, proyek ini terasa lebih seperti ambisi politik daripada solusi nyata untuk Indonesia. Ada terlalu banyak tanda-tanda yang menunjukkan bahwa kota ini tidak akan benar-benar hidup seperti yang dibayangkan pemerintah.

Dan semakin lama, semakin jelas bahwa IKN berisiko menjadi proyek yang mangkrak—dibangun dengan gegap gempita, tapi ditinggalkan begitu saja setelah euforia awal mereda. 

Alasan pertama: sejak zaman prasejarah, kota selalu tumbuh secara alami, bukan karena perintah atau keputusan politik semata. Kota adalah hasil dari pertemuan kepentingan, dan kepentingan paling mendasar manusia adalah ekonomi—terutama berdagang. Itulah sebabnya hampir semua peradaban besar berkembang di sepanjang jalur perdagangan utama. 

Lihatlah kota-kota besar dunia: Mesir Kuno tumbuh di sepanjang Sungai Nil karena sungai itu menjadi jalur transportasi dan sumber kehidupan. Mesopotamia berkembang di antara Sungai Eufrat dan Tigris karena tanahnya subur dan menjadi pusat perdagangan. Kota-kota modern seperti New York, London, Shanghai, dan bahkan Jakarta berkembang karena menjadi pusat aktivitas ekonomi dan pertemuan manusia. 

Tidak ada kota besar yang benar-benar berhasil ketika dibangun dari nol tanpa alasan ekonomi yang kuat. Salah satu contoh paling terkenal adalah Brasília, ibu kota Brasil.

Kota ini dirancang secara futuristik dan dibangun dengan visi modern, tetapi hingga sekarang masih kalah jauh dibandingkan São Paulo atau Rio de Janeiro dalam hal ekonomi dan populasi. Brasília tetap menjadi pusat administrasi, tetapi gagal menjadi kota yang benar-benar hidup. 

Hal yang sama bisa saja terjadi pada IKN. Kota ini lahir bukan karena kebutuhan, melainkan karena keputusan politik. Ia tidak memiliki pelabuhan alami, tidak berada di jalur perdagangan utama, dan tidak memiliki daya tarik ekonomi yang tumbuh secara organik.

Jika kota tidak memiliki alasan bagi manusia untuk menetap di dalamnya, maka kota itu hanya akan menjadi kumpulan bangunan kosong yang tak pernah benar-benar hidup. 

Alasan kedua: Saya pernah mampir ke Canberra, ibu kota Australia, yang sering disebut sebagai salah satu contoh sukses dari kota yang dibangun dari nol. Tapi meskipun tidak bisa dibilang gagal, Canberra tetap bukan kota yang benar-benar berkembang seperti Sydney atau Melbourne.

Setelah lebih dari 100 tahun berdiri sebagai ibu kota, Canberra masih terasa sepi—sebuah kota yang lebih berfungsi sebagai kantor besar ketimbang tempat hidup yang sesungguhnya. 

Di Canberra, sebagian besar penduduknya adalah pegawai negeri sipil dan mahasiswa. Kota ini lebih ramai di hari kerja, tapi di akhir pekan, banyak orang memilih pergi ke Sydney atau Melbourne untuk mencari hiburan.

Tidak ada denyut ekonomi yang kuat,
tidak ada aktivitas sosial yang berkembang secara alami, bahkan, jam 5 sudah terasa sangat sepi. Kota ini hanya ada karena keputusan pemerintah, bukan karena ada kebutuhan nyata bagi manusia untuk tinggal di sana. 

IKN sangat berisiko mengalami nasib yang sama. Jika kota ini hanya diisi oleh ASN yang terpaksa pindah, tanpa sektor ekonomi yang mendukung kehidupan mereka di luar jam kerja, maka IKN hanya akan menjadi Canberra versi Indonesia—ramai di hari kerja, sepi di akhir pekan, karena banyak yang cari hiburan ke Balikpapan.   

Alasan ketiga: pemerintah tampaknya lupa bertanya kepada mereka yang akan menjadi penghuni utama IKN—para ASN dan pekerja pemerintahan—apakah mereka benar-benar bersedia pindah? 

Ingat, orang Indonesia punya keterikatan emosional yang sangat kuat dengan keluarga dan kampung halaman, sampai muncul jargon makan nggak makan asal kumpul.

Setiap tahun, jutaan orang rela berdesakan untuk mudik saat Lebaran, demi bisa pulang ke rumah meskipun hanya untuk beberapa hari. Jika sudah ada kebiasaan seperti ini, bagaimana mungkin pemerintah bisa mengharapkan ribuan ASN dengan sukarela pindah ke kota baru yang masih kosong, jauh dari keluarga mereka? 

Bahkan sebelum proyek ini benar-benar berjalan, sudah banyak suara yang mempertanyakan manfaat bagi para ASN yang harus pindah. Banyak dari mereka yang memiliki pasangan yang bekerja di Jakarta, anak-anak yang bersekolah di sana, atau bahkan bisnis kecil yang menopang kehidupan mereka.

Memindahkan mereka ke tempat baru berarti mengubah
seluruh ekosistem sosial mereka—sesuatu yang tidak bisa diatur hanya dengan perintah birokrasi. Jika kota ingin berkembang, orang harus memiliki alasan untuk tinggal di dalamnya. Jika sejak awal, mereka sudah enggan, bagaimana mungkin kota ini bisa tumbuh?

Alasan keempat: dari awal, keputusan memindahkan ibu kota ini terasa terburu-buru dan dipaksakan. Pemerintah seolah ingin meyakinkan publik bahwa satu-satunya cara menyelesaikan masalah Jakarta adalah dengan membangun kota baru, seakan-akan menyelamatkan Jakarta jauh lebih mahal daripada memulai dari nol. Tapi benarkah begitu? 

Kota-kota besar lain di dunia menghadapi tantangan yang sama dengan Jakarta—banjir, kemacetan, polusi, kepadatan penduduk—tetapi mereka memilih untuk memperbaiki, bukan kabur.

  • Bangkok menghadapi ancaman tenggelam, tetapi mereka membangun sistem pengendalian banjir.
  • Tokyo berkali-kali hancur karena gempa dan perang, tetapi mereka terus membangunnya kembali dengan perencanaan kota yang lebih baik.
  • London dan New York menghadapi masalah transportasi dan polusi, tetapi mereka berinvestasi dalam infrastruktur yang lebih modern. 

Indonesia justru mengambil jalur yang lebih ekstrem: daripada mencari solusi untuk Jakarta, mereka memilih membangun ibu kota baru, tanpa ada perdebatan yang cukup tentang alternatif lain.

Apakah revitalisasi Jakarta benar-benar lebih mahal daripada membangun IKN? Apakah masalah Jakarta benar-benar tidak bisa diselesaikan? Tidak ada jawaban yang jelas. Yang ada hanyalah keputusan sepihak yang disampaikan dengan nada final, seolah-olah semua sudah pasti berhasil. 

Dan yang membuat proyek ini semakin tidak masuk akal sekaligus alasan kelima adalah: pandemi Covid-19. Saat wacana pemindahan ibu kota pertama kali muncul sebelum pandemi, saya masih setengah yakin proyek ini akan terwujud—mungkin sekitar 50%. Tapi setelah pandemi? Keyakinan itu langsung turun drastis, mungkin hanya 20%. 

Pandemi membuktikan bahwa kehadiran fisik di kantor bukan lagi sesuatu yang wajib. Work from home (WFH) dan work from anywhere (WFA) menjadi standar baru. Banyak pekerjaan yang dulunya dianggap harus dilakukan di kantor ternyata bisa dikerjakan dari mana saja tanpa hambatan.

Jika dunia sudah bergerak ke arah kerja fleksibel, mengapa pemerintah masih bersikeras memindahkan ribuan ASN ke tengah hutan? 

Gelombang WFA ini bukan tren sesaat, melainkan perubahan mendasar dalam cara manusia bekerja. Perusahaan global kini membiarkan karyawan mereka bekerja dari mana saja, beberapa negara bahkan mulai menawarkan visa khusus untuk pekerja remote.

Tapi di saat dunia semakin fleksibel, pemerintah justru mengambil langkah mundur—membangun kota baru yang berbasis kerja konvensional, dengan gedung-gedung kantor yang di masa depan mungkin akan menjadi peninggalan dari cara kerja yang sudah ketinggalan zaman. 

Epilog: Angsa, Bebek, dan Kota yang Tak Pernah Benar-benar Hidup 

Mungkin saya salah.

Mungkin beberapa tahun dari sekarang, IKN akan berkembang pesat, menjadi kota yang ramai dan maju seperti yang dijanjikan.

Mungkin ribuan ASN akan dengan sukarela pindah ke sana dan menemukan kehidupan baru yang lebih baik.

Mungkin gedung-gedung pemerintahan akan penuh dengan aktivitas, bukan hanya sekadar monumen kosong. 

Tapi kalau saya benar, maka yang akan kita lihat adalah kota yang hanya hidup di atas kertas, tapi mati dalam kenyataan. Kota yang di siang hari diisi pegawai yang datang karena kewajiban, lalu sepi begitu malam tiba. Kota dengan jalan lebar tapi kosong, dengan lampu-lampu jalan menyala tanpa ada kendaraan yang melintas. Kota yang lebih banyak dihuni satwa liar dibanding manusia.   

Dan mungkin, di masa depan, ada satu pemandangan yang akan menjadi ikon tak resmi IKN—deretan angsa dan bebek yang berkeliaran dengan santai di jalanan kota, menikmati ruang kosong yang seharusnya dipenuhi manusia. 

Tak apalah…

Setidaknya, mereka tidak perlu dipaksa untuk tinggal di sana.

22
2
Ditya Permana ◆ Active Writer

Ditya Permana ◆ Active Writer

Author

ASN provokatif jebolan Manajemen Kebijakan Publik Monash University yang sedang belajar untuk menulis lagi

2 Comments

  1. Avatar

    Terima kasih atas pencerahannya 👍👍👍 sangat benar dan cerdas analisa nya.
    Reklamasi teluk Jakarta gagal terus pindah ke IKN ???
    Atau sebaliknya karena reklamasi ibu kota harus pindah !!!!!
    Sekedar pikiran ,,,,,

    Reply
  2. Avatar

    Ke ikn baru tau.. Jgn koar2 dulu.

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post