Santan dan Sepatu

by | Feb 7, 2021 | Sastra | 0 comments

“Bapakmu itu bodoh. Kawan-kawannya sudah diangkat semua jadi PNS, cuma bapakmu saja yang tertinggal. Tinggal nyoblos Partai Pohon saja ndak mau. Malah keukeuh nyoblos Partai Galaxy,” ibuku nyerocos begitu saja sambil marut kelapa untuk janganan lodeh nangka muda. Sajian yang harus siap sebelum bapak pulang kerja jadi satpam di pabrik tekstil.

“Ya sudah, ketinggalan sendirian. Lihat itu kawannya Pak Ubet, sudah mapan hidupnya. Sekarang sudah jadi pejabat di Dinas Pendidikan. Kerjanya tinggal duduk di kantor ber-AC. Ndak bingung besok mau makan apa, besok bayar uang sekolah pakai apa,” lanjut ibu yang mulai menuang air putih ke baskom berisi parutan kelapa.

“Sudah ibu bilangin dari dulu, meski katanya bebas-umum-rahasia, nyatanya pamong pada tahu kita milih apa di bilik tapi bapakmu itu ngeyel aja. Wes embuh! Jadinya ya hidup kita sekarang kayak gini ini,” tangan ibu otomatis nguyel-uyel kelapa basah dan mengepalkan dengan erat di atas saringan plastik yang sudah bolong sedikit terkena lidah api. Suatu momentum emosi yang pas antara plot cerita ibu dengan tahapan produksi santan yang harus dijalani.

“Akhirnya apa? Dia sendirian yang masih jadi honorer bertahun-tahun. Kawannya sudah jadi PNS semua. Udah gitu malah memutuskan untuk berhenti. Mbok ya sabar dulu, barangkali besok-besok nasibnya mujur. Kalau jadi PNS kan enak sudah terjamin, ada uang pensiunnya lagi,” perasan tangan terakhir kelapa ini berbarengan dengan frase terakhir ibu barusan.

“Bapakmu itu memang pendiriannya kuat. Sejak muda dulu memang rajin ke surau. Ibu tahu cerita itu dari Bude Aminah. Ketemu ibu saja karena pas ibu jalan lewat surau yang biasa dia tiduri kalau bosan tidur di rumah mbah. Mungkin karena itu jadi susah untuk tidak nyoblos Partai Galaxy.” Kini tangan ibu memulai prosesi pengupasan nangka muda. Tidak lupa memasukkan tangan kirinya ke dalam plastik terlebih dahulu sebagai ganti sarung tangan untuk melindung agar tak lengket kena getahnya.

“Pernah ibu tanya ‘Kenapa toh, Pak, wong tinggal nyoblos saja? Wong masih tetep bisa salat, masih bisa puasa. Kalau merasa dosa bisa wirid istighfar.’ Tapi apa jawab bapakmu? Katanya ini masalah prinsip. Ibu malah di tanya balik ‘Sampeyan ini apa lupa zalimnya orang-orang partai pohon pada kiai-kiai kita?’” Separuh nangka muda itu sudah terkelupas dengan baik. Kini tinggal separuhnya lagi.

“Dapat jawaban itu ya ibu ndak bisa jawab apa-apa lagi. Itu benar juga. Tapi ya gimana juga. Sebagai istri, ibu ikhlas sama bapakmu. Ibu bantu ikhtiar terus agar kita tetap bisa makan, dan kamu dan kakak-kakakmu bisa sekolah sampai tamat. Yang penting, bapakmu masih mau cari kerja lain yang bikin hatinya tenang, meski gajinya nggak seberapa.” Sekarang sudah terkupas sempurna semuanya. Ibu mulai membelah dan memotong kecil-kecil.

Sebagai anak bungsu, aku yang sering tinggal di rumah menemani ibuku mulai pagi hingga siang hari saat bapak dan kakak-kakak sedang kerja dan sekolah. Semua cerita hidup bapak ibuku biasanya tertumpah otomatis tanpa diminta saat prosesi ibu memasak di dapur setiap hari. Tanpa ada jeda sehari pun kecuali ibu sedang sakit atau ada keperluan lain yang harus keluar rumah.

“Karena sering ibu reweli gitu mungkin ya, bapakmu jadi punya trauma tersendiri. Setidaknya berusaha mengurangi rasa tidak enaknya dengan cara melindungi anak-anaknya agar nasibnya jadi lebih baik. Dulu kamu ini mau dikasih nama Mohammad Jasin. Tapi mungkin bapakmu ndak mau mengulangi kesalahan yang sama karena agak-agak berbau partai galaxy, maka akhirnya namamu diganti Tanto Triyono. Padahal sehari-hari bapakmu itu ya ngaji, ya kumpul Pak Yai tapi ngasih nama anak kok kayak orang nggak ngerti agama.” Kini semua bahan sayur lodeh sudah siap. Belanga berisi air mulai dipanaskan sebagai wadah bertemunya asam di gunung dan garam di laut.

  • **

“Mas, ini sepatunya. Ayo cepat dipakai, sudah ditunggu Bapak di mobil.”

“Iya, Bik, sebentar. Aku masuk dulu, ada buku yang ketinggalan,” cepat kuambil buku di kamar dan segera memasukkan kaki di sepatu yang sudah disiapkan, buru-buru masuk mobil Papa.

“Sudah sarapannya, Nak?”

“Sudah, Ma.” Aku menjawab suara mama dari kursi belakang.

“Nanti Papa ada rapat di kantor, jadi nggak bisa jemput Kakak. Jadi kakak nanti pulang sendiri ya? Bisa naik angkot atau ojek di depan sekolah. Uangnya masih ada kan?”

“Iya, Pa. Masih ada.” Aku menjawab suara Papa dari kursi kendali.

Situasi seperti ini cukup sering aku hadapi. Harus pulang sendiri di siang hari ke rumah naik angkot atau ojek. Seringnya aku memilih naik angkot karena bisa beramai-ramai dengan kawanku satu sekolah dasar yang searah lokasi rumahnya.

Saat sampai rumah, aku disambut bibi yang standby jaga rumah dan membantu semua keperluan orang di rumah. Biasanya ada waktu beberapa jam sebelum orangtuaku pulang dari kantor. Di momen inilah biasanya aku mendengar cerita tentang Papa dan Mama.

Pernah suatu ketika, “Bibi sudah sejak muda ikut Bapak dan Ibu, Mas.” Saat Bibi mulai menyiapkan meja makan untuk ku makan siang.

“Rumah Bibi ini aslinya tetangganya Nenek. Bibi diajak waktu Ibu lagi mudik dan melihat Bibi belum ada pekerjaan setelah ditinggal suami bibi begitu saja. Ibu itu orang baik, akhirnya Bibi diajak kerja di sini untuk membantu Ibu jaga rumah dan merawat Mas Tomy. Bapak juga orangnya baik, tidak pernah membentak Bibi. Kalau ada yang nggak cocok, paling cuma menyindir saja. Hehe… Tapi biasanya Bibi langsung kerasa dan segera berusaha memperbaiki apa yang kurang benar.” Bibi mulai membuka piring dan mengambilkan nasi dari magic jar agar tidak terlalu panas saat kumakan.

“Kalau lebaran, Bibi juga diijinkan mau pulang kapan saja, dan balik kapan saja. Tapi ya tetap dipeseni jangan lama-lama. Hehe… Biasanya Bibi tahu diri, paling tiga hari sebelum dan tiga hari sesudah lebaran Bibi sudah balik lagi ke rumah Mas Tomy. Bibi juga harus membantu Bapak Ibu, kalau lebaran kan tamunya banyak dari kantor.” Bibi mulai mempersilakan dan aku mulai makan. Kalau begini biasanya Bibi menemani aku duduk di kursi sebelah di meja makan.

“Yang bantu anak Bibi bisa kerja honorer di Kantor Pamong, juga Papanya Mas Tomy. Kalau orang lain biasanya harus bayar berjuta-juta. Lha Bibi duit darimana? Untungnya Pak Slamet, Papanya Mas Tomy mau membantu Bibi. Katanya sih ada kenalan orang kepegawaian yang bisa mengatur orang bekerja di Pemda. Bibi berdoa semoga besok-besok anak bibi diangkat jadi PNS, biar hidupnya mulia kayak Papanya Mas Tomy. Hehe…” Bibi terus melanjutkan ceritanya sembari aku terus menyantap makan siang yang sudah terhidang.

Aku memang sering mendengar ‘kesaktian’ Papa atas lobi-lobi di pemerintah daerah ini. Kesimpulanku ini karena sering curi dengar secara tidak sengaja kalau ada tamu yang datang ke rumah di luar jam kerja untuk minta bantuan agar kerabatnya bisa kerja di pemerintahan. Selebihnya, yang aku tau, kinerja Papa cukup baik dan terbukti dipercaya untuk terus menjadi pimpinan Kantor Dinas.

Pernah di semester enam kuliahku, menjelang masa-masa tugas akhir sebelum kelulusan, Papa berpesan, “Kamu fokus saja kuliah biar lulus tepat waktu. Ndak perlu bingung nanti kerja apa, relasi Papa di kantor sudah siap menampung anak Papa kalau mau jadi PNS.”

Aku hanya mendengar dan diam kala itu.


“Tan, naik gunung lagi yuk! Terakhir kita naik gunung sebelum skripsi dulu. Udah lama nih,” pesan SMS Tomy kepada Tanto.

“Wah boleh juga, kebetulan lagi nganggur nih. Nggak ada kerjaan. Minggu depan gimana?”

“Boleh.”

“Tapi semua logistik kamu yang siapin ya? Haha… Aku bawa badan sama carier aja.” Klausul Tanto kepada Tomy seperti dulu-dulu jika mereka naik gunung bersama.

“Haha, siaap.  Yang penting kita jadi naik. Lagi penat nih. Kita ketemu di Stasiun Purwokerto ya?”

“Ok..!” balas Tanto menutup dialog di ponselnya.


“Haha… Gila, Bro, kapan kita terakhir ketemu ya? Setahun yang lalu kayaknya ya pas yudisium?” Tracking menanjak Gunung Slamet mulai mereka lahap setelah puas melahap tempe mendoan di pos awal pendakian.

“Iya, kamu kan nggak ikut wisuda. Kalau sama kawan yang lain, masih sempat ketemu pas wisuda,” Tomy membalas dari arah belakang Tanto menyusuri jalan setapak.

“Mau kerja apa kamu? Sudah melamar kemana saja?” Tomy kini uluk tanya ke orang di depannya.

“Masih sering di rumah saja,” jawab Tanto yang mulai ngos-ngosan.

“Bapakku kemarin nawarin, aku bisa dimasukkan jadi PNS kalau mau. Ya mungkin diawali jadi honorer dulu di Pemda. Gimana menurutmu?” Tomy meminta pendapat sahabatnya sejak di masa kuliah dulu.

“Wajar sih, Bapakmu kan pejabat. Aku jadi ingat Bapakku dari cerita ibuku. Dia gak diangkat-angkat jadi PNS gara-gara gak mau nyoblos partai pilihan bos-bosnya di kantor. Mau dibantu juga biar bisa jadi PNS tapi dengan syarat harus bayar sekian juta. Gara-gara itu Bapakku akhirnya nggak lanjut kerja jadi honorer. Akhirnya jadi satpam di pabrik. Hehe…” Posisi membungkuk rukuk diambil Tanto sambil menahar carier beratnya di punggung untuk mengambil napas istirahat. Ini pelajaran pertama dari pelatihnya di pecinta alam dulu: bagaimana mengambil posisi istirahat yang efisien tenaga agar bisa kuat terus dipakai menanjak.

Nggak mau korupsi katanya. Nggak mau ikut-ikutan yang nggak bener.” Badan Tanto mulai ditegakkan setelah cukup reda badai helaan napasnya. Langkah demi langkah dimulai lagi.

Sorry lho, Bro, ini bukan bermaksud gimana-gimana. Terserah sama kamu mau terima tawaran itu atau enggak. Kalau aku mau coba ikhtiar sebisanya saja tanpa yang aneh-aneh. Mampulah aku ini.” Tanto berusaha menjaga perasaan sahabatnya setelah ceritanya tentang bapaknya meluncur begitu saja tanpa sadar sepenuhnya.

Tomy hanya mendengar dan diam kala itu.


“Bi, sepatuku yang baru dicuci kemarin, mana? Mau jogging sore nih.” Tomy menginterupsi kesibukan Bibi di dapur.

“Oh iya, Mas Tommy, sebentar ya saya masukkan santan ini dulu. Katanya ibu lagi pengen sayur lodeh kayak di kampung kami,” kesiap Bibi sambil memasukkan Santan ke dalam kulkas. Sejurus kemudian Bibi langsung mengambilkan sepatu yang dimaksud Tomy.

“Tom, besok ikut Bapak menghadap Pak Bupati, ya? Bulan depan kayaknya mau ada pembukaan lowongan PNS di Pemda. Ya, biar dapat selot satu lah buat Kamu, jadi kita silaturahim dulu.” Pak Slamet tiba-tiba muncul ke teras depan dimana Tomy sudah ambil pemanasan jogging.

“Anu, Pa, nggak usah aja ya, Pa. Kalau memang ada pembukaan lowongan, biar Tomy ikuti jalur yang semestinya saja. Nggak enak juga kan Papa ngrepotin Pak Bupati terus,” jawaban halus Tomy yang telah dipersiapkannya berhari-hari sepulang dari gunung Slamet, digunakan untuk menjawab pertanyaan Papanya: Pak Slamet. (*)

3
0
Trian Ferianto ◆ Professional Writer

Trian Ferianto ◆ Professional Writer

Author

Auditor pada salah satu Instansi Pemerintah Pusat. Alumni Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan Universitas Jenderal Soedirman. Pengembang aplikasi monitoring pengawasan MRRP COVID-19. Online and Digital Enthusiast. Penikmat Buku dan Kopi. Suka bersepeda. Professional blogger at PinterIM.com

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post