Oleh: DANNY ARDIANTO*
Dalam literatur atau pelatihan manajemen di manapun, sering kita mendengar betapa pentingnya perencanaan dalam sebuah kegiatan atau pencapaian misi organisasi. Saking pentingnya perencanaan, Benjamin Franklin mengatakan bahwa “if you fail to plan, you plan to fail”. Dengan kata lain, bahkan ketika gagal merencanakan sesuatu, maka sesungguhnya kita sedang merencanakan kegagalan.
Tetapi, apakah benar bahwa perencanaan itu penting? Jika benar, mengapa masih banyak hal di dunia ini yang meleset dari rencana alias gagal? Apakah kita salah dalam memahami bentuk perencanaan yang benar?
Perencanaan atau rencana?
Ambil contoh, dalam konteks negara, Indonesia tidak pernah kurang dalam menyusun perencanaan. Jika di masa Orde Baru kita mengenal Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahunan), maka di masa sekarang kita mengenal RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) dan RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional). Selain itu, ada unit pemerintahan tersendiri yang menangani perencanaan pembangunan baik di tingkat nasional maupun daerah. Bahkan ada jabatan fungsional khusus untuk para ahli perencanaan termasuk di dalamnya sertifikasi di bidang perencanaan. Singkatnya, tidak ada satu hal pun yang luput dari perencanaan di republik ini, mulai dari penyusunan rencana strategis hingga rencana kerja pegawai di bidang apa pun.
Pertanyaan selanjutnya, seberapa efektif-kah perencanaan yang telah disusun tersebut? Jika perencanaan adalah sebuah langkah utama dalam mencapai tujuan organisasi atau negara, maka kita harus bertanya apakah segenap perencanaan tersebut telah berhasil mengantarkan Indonesia dalam mencapai tujuannya?
Fakta bahwa Indonesia sudah semakin maju dibandingkan dengan saat pertama kali merdeka tentu tidak dapat dipungkiri. Akan tetapi, tentu kita juga sepakat bahwa ada banyak hal di negeri ini yang masih belum sesuai harapan atau rencana. Misalnya, pembangunan infrastruktur di berbagai tempat banyak yang molor atau bahkan tidak terealisasi. Belum lagi soal penerimaan pajak yang sudah lama tidak mencapai target yang direncanakan.
Dwight Eisenhower, jenderal angkatan bersenjata Amerika Serikat, pernah mengatakan bahwa “in preparing for the battle, I have found that planning is essential, but plans are useless”. Merujuk kutipan tersebut, saya berpendapat bahwa kegagalan perencanaan umumnya disebabkan oleh cara berpikir atas perencanaan sebagai objek/output dan bukan sebagai kegiatan aktif yang berlangsung terus-menerus.
Perencanaan sebagai kata kerja, bukan kata benda
Terlalu sering kita lihat bahwa perencanaan tidak lebih dari sekedar dokumen. Bahkan, dokumen perencanaan seringkali dipandang sebagai dokumen yang sakral – tidak boleh diubah, kalaupun boleh diubah harus melalui proses yang sangat ketat. Aparat penegak hukum, termasuk auditor BPK, seringkali menggunakan dokumen perencanaan sebagai tolok ukur kinerja organisasi. Dokumen perencanaan berubah menjadi janji keramat yang tidak boleh diingkari oleh siapapun. Jika terbukti melakukan sesuatu yang tidak sesuai rencana, maka siap-siap lah berurusan dengan hukum.
Perencanaan berkembang bukan hanya sebagai alat mencapai tujuan, melainkan juga sebagai alat akuntabilitas. Padahal, “to plan” dan “to promise” adalah dua hal yang berbeda. To plan adalah sebuah kata kerja aktif, bukan kata benda. Perencanaan seharusnya tidak menjadi dasar sebuah janji, karena perencanaan lebih banyak berurusan dengan ketidakpastian. Yang seharusnya dievaluasi adalah tujuan organisasinya itu sendiri. Tentang cara mencapai tujuan, itu lain soal.
Sebagai contoh, saya berjanji akan tiba di rumah ibu saya sebelum tiba waktu Maghrib untuk berbuka puasa bersama. Lalu, saya berencana untuk naik bus Transjakarta dari rumah saya 2 jam sebelum tiba di tempat tujuan. Tentu tidaklah tepat bila yang dievaluasi adalah apakah saya benar-benar naik bus Transjakarta selama dalam perjalanan. Yang lebih utama di sini adalah apakah saya berhasil tiba di rumah ibu saya tepat waktu untuk berbuka puasa bersama. Bisa saja, ternyata bus Transjakarta tidak beroperasi hari ini sehingga saya memutuskan untuk naik ojek ke rumah ibu saya. Yang paling utama adalah bagaimana saya bisa mengelola ketidakpastian yang berada di antara saya dan tujuan saya.
Dokumen perencanaan bukanlah yang utama
Banyak perencanaan gagal karena terlalu fokus pada penyusunan dokumen perencanaan. Padahal, kita tahu bahwa perencanaan adalah soal mengelola ketidakpastian dan manusia itu sangatlah buruk dalam hal memprediksi masa depan. Riset bertahun-tahun menunjukkan bahwa manusia memiliki berbagai jenis bias dalam berpikir dan bertindak. Kahneman dan Tversky (1979) salah satunya menyatakan bahwa kita punya optimism bias di mana kita cenderung optimistis dalam merencanakan sesuatu dan meremehkan waktu dan ketidakmampuan kita dalam menyelesaikannya.
Tanyakan hal ini pada mahasiswa doktoral atau mahasiswa manapun yang sedang menyelesaikan skripsi, tesis, atau disertasi. Berapa banyak dari mereka yang mampu menyelesaikan naskah akademiknya tepat waktu dan sesuai dengan proposal yang pertama kali dibuat? Atau, tanyakan pada diri kita sendiri, berapa sering kita membuat “to-do list” setiap harinya untuk kemudian berakhir membuat “to-do list” yang sama keesokan harinya?
Dokumen perencanaan hanyalah perwujudan keseriusan kita atau organisasi dalam mencapai tujuan. Ia akan menjadi pengingat bagi kita apabila kita terlena dalam mencapai tujuan. Tidak lebih dari itu. Dokumen tersebut hampir pasti akan berubah dengan semakin banyaknya variabel ketidakpastian yang melingkupi pencapaian tujuan.
Di beberapa tempat, ketidakpastian ini dikelola dengan cara mengubah dokumen perencanaan secara berkala yang dikenal dengan istilah “living document” – sebuah analogi bahwa dokumen tersebut terus berkembang layaknya makhluk hidup. Akan tetapi, tetap saja bahwa fokusnya ada pada perubahan dokumen, bukan langkah antisipasi terhadap aspek ketidakpastian.
Penting untuk diingat bahwa perencanaan bukanlah sebuah peristiwa di awal kegiatan saja, melainkan sebuah proses terus-menerus. Bukan hanya sekadar membuat dokumen perencanaan, lalu meninggalkan dan mengunjunginya kembali satu tahun setelah dokumen itu dibuat untuk mengetahui apakah rencana itu berhasil atau tidak. Perencanaan adalah tindakan mental dan fisik untuk mengelola ketidakpastian dan hanya akan berhenti ketika tujuan telah berhasil dicapai.
Pengalaman sebagai faktor dalam perencanaan
Kawan saya, Marudut, mengangkat tentang isu pengalaman dalam perencanaan. Ia bertanya, apakah tidak sebaiknya perencanaan itu disusun oleh orang yang telah berpengalaman dalam melaksanakan hal-hal yang telah direncanakan tersebut? Ia mengupas beberapa dilema tentang hal itu. Tentu pengalaman adalah hal penting dalam perencanaan. Tapi, bukan berarti hal yang paling utama.
Saya sependapat bahwa orang yang berencana menikah tidaklah harus pernah menikah sebelumnya. Toh, banyak yang berhasil pula dalam pernikahannya, bukan? Yang penting bagi calon suami/istri adalah kesiapan dalam menghadapi dinamika yang nantinya timbul dalam pernikahan. Kesiapan ini tidak harus didapat dari pengalaman. Bisa jadi, kesiapan ini diperoleh dari bertanya/belajar kepada orang yang tepat atau interpolasi dari pengalaman lain yang sejenis.
Perencanaan layaknya sebuah tim sepakbola
Salah satu bentuk perencanaan yang dapat dicontoh adalah yang dilakukan oleh tim sepakbola. Sebuah tim sepakbola seringkali kalah ketika dianggap tidak mempunyai game plan yang cocok untuk menghadapi lawannya. Game plan ini yang seharusnya kita adopsi dalam sebuah perencanaan. Ia selalu berubah-ubah tergantung tujuan yang hendak dicapai (i.e., lawan) dan komposisi kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh tim itu sendiri.
Sebelum dimulainya pertandingan final Champions League 2017, Zinedine Zidane sebagai pelatih Real Madrid, telah mempersiapkan formasi tim (misal: 4-4-2) dan strategi yang hendak digunakan dalam melawan Juventus baik secara verbal maupun tertulis. Tapi rencana itu tidak berhenti di situ saja. Selama durasi pertandingan, ia akan melakukan banyak penyesuaian termasuk diantaranya mengevaluasi pergerakan lawan, melakukan pergantian pemain, memberikan instruksi khusus kepada pemain tertentu, hingga memberikan dukungan mental kepada para pemainnya. Ia juga mendengarkan masukan dari anggota tim lainnya.
Semua kegiatan tersebut adalah kegiatan perencanaan yang merupakan dua sisi mata uang dengan kegiatan pelaksanaan itu sendiri. Perencanaan dan pelaksanaan adalah tidak terpisahkan karena yang satu akan mempengaruhi yang lain. Perencanaan hanya akan berhenti ketika pelaksanaan juga berhenti. Zidane tidak berhenti berpikir tentang strategi timnya hingga peluit panjang berbunyi dan timnya telah benar-benar berhenti bertarung melawan Juventus.
Apakah Zidane berhasil membawa Real Madrid juara Champions League karena ikut bermain di tengah lapangan? Tidak. Artinya, pelaku perencanaan tidak harus ikut “bertarung” langsung di lapangan, namun tetap harus terlibat aktif dalam berkomunikasi, melakukan perubahan, dan bekerja sama untuk mencapai tujuan. Pengalaman Zidane sebagai pemain sepakbola tentu bermanfaat dalam menyukseskan kinerjanya sebagai pelatih, tetapi bukanlah yang utama. Banyak juga pelatih sukses yang dulunya tidak terlalu sukses sebagai pemain sepakbola (misal: Jose Mourinho, Max Allegri, dsb), atau sebaliknya. Yang terpenting adalah kolaborasi antara seluruh anggota tim dalam menyusun dan melaksanakan game plan.
Penutup
Pemerintah Indonesia atau organisasi manapun perlu mengubah mindset perencanaan dari kata benda menjadi kata kerja. Tidaklah soal teramat penting apakah perencana atau pelaksana program pernah punya pengalaman di bidangnya. Justru yang lebih utama adalah membuat kolaborasi yang efektif antara perencana dan pelaksana program.
Jangan sampai kita memiliki pelatih bertalenta seperti Zidane namun tugasnya hanya sebatas membuat rencana dan strategi tim nasional tanpa pernah mau tahu dengan bagaimana caranya mewujudkan rencana tersebut. Sebaliknya, pemain sekelas Ronaldo atau Gareth Bale juga tidak akan mampu meraih trofi apapun jika tidak bekerja sama dengan baik dan menyukseskan rencana tim.
*) Penulis adalah mahasiswa PhD (under examination) di Monash University, Australia yang juga ASN di Kementerian Keuangan RI. Ia tertarik pada topik-topik filosofi pengetahuan, the future of work, dan interaksi komputer-manusia.
Mahasiswa Ph.D. (under examination) di Monash University, Australia yang juga ASN di Kementerian Keuangan RI. Ia tertarik pada topik-topik filosofi pengetahuan, the future of work, dan interaksi komputer-manusia.
ulasan yang praktis, semoga banyak birokrat yang tergelitik dengan kupasan mas danny