Romantika Pilkada Langsung: Melek dan Etika Politik di Indonesia

by Nugroho Kuncoro Yudho ◆ Active Writer | Dec 9, 2024 | Politik | 0 comments

a card sitting on a table next to a coffee cup

Pemilihan langsung merupakan salah satu bentuk demokrasi yang paling ideal. Pemilihan langsung dapat menjadi instrumen yang efektif untuk memilih pemimpin yang berkualitas dan mewujudkan pemerintahan yang demokratis. 

Namun, keberhasilannya banyak dipengaruhi berbagai faktor, seperti kualitas pendidikan politik masyarakat, kematangan partai politik, independensi media massa, penegakan hukum dan netralitas pejabat negara, termasuk aparat negara.

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung di Indonesia
baru saja digelar serentak di 545 daerah, terdiri dari 37 provinsi, 415 kabupaten
dan 93 kota, yang diikuti oleh 1.556 pasangan kandidat kepala daerah
di berbagai tingkat pemerintahan.

Terdapat 103 pasang calon gubernur-wakil gubernur di 37 provinsi, 1.168 pasang calon bupati dan wakil bupati di 415 kabupaten dan 284 pasang calon wali kota dan wakil wali kota di 93 kota. 

Pilkada langsung tersebut merupakan salah satu bentuk implementasi demokrasi langsung di Indonesia. Mekanisme ini memberikan hak kepada masyarakat untuk memilih pemimpin daerah secara langsung, tidak lagi diwakili oleh anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD), baik di tingkat provinsi maupun kabupaten kota. 

Namun, pelaksanaan pilkada langsung di Indonesia masih belum dimaknai sebagai suatu hal yang penting di tengah masyarakat. Hal tersebut terlihat dari tingkat partisipasi masyarakat dalam memilih. 

Bahkan di Jakarta, tingkat partisipasi masyarakat  dalam Pilkada langsung tahun 2024 hanya sekitar 50-60%, lebih rendah dari Pilkada sebelumnya.

Masyarakat Indonesia Belum Melek Politik?

Masyarakat Indonesia belum melek politik merupakan isu permasalahan yang kompleks dan sudah lama menjadi sorotan. Kurangnya literasi politik di masyarakat memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas demokrasi kita. Beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat Indonesia belum sepenuhnya melek politik adalah sebagai berikut:

  • Pendidikan politik masyarakat kurang memadai, baik di sekolah maupun di tingkat masyarakat. Materi yang diajarkan atau informasi yang didapatkan Masyarakat sering kali terlalu teoritis dan tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari.
  • Media massa lebih banyak menyajikan hiburan, daripada berita politik yang mendalam. Hal tersebut membuat masyarakat kurang tertarik untuk mengikuti perkembangan politik.
  • Apatisme politik, yaitu masyarakat merasa apatis atau tidak peduli dengan politik karena merasa bahwa suara mereka tidak akan didengar atau tidak memiliki dampak yang signifikan.
  • Kurangnya atau rendahnya kepercayaan terhadap partai politik, karena seringkali dikaitkan dengan korupsi dan praktik politik yang tidak sehat. Di samping itu, politik  sering kali dijadikan kendaraan untuk memperluas dan memuluskan bisnis elit politik, namun tidak berdampak terhadap kehidupan Masyarakat.
  • Ekonomi masyarakat masih terpuruk, sehingga masyarakat lebih memilih memenuhi kebutuhan ekonominya. Pada sisi lain, kondisi ini dimanfaatkan oleh elit politik untuk menggunakan politik uang dan atau bantuan sosial (bansos) untuk mengambil suara rakyat. Praktis, masyarakat hanya berpikir sesaat, bagaimana mereka dapat uang dan atau bansos dari orang yang menawarkannya.

Dampak Negatif Kurangnya Literasi Politik

Melek politik terkait erat dengan kurangnya literasi politik yang dimiliki masyarakat. Kondisi ini berdampak negatif pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, antara lain:

  • Masyarakat mudah dimanipulasi, oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, karena Masyarakat tidak atau kurang melek politik. Pengambil kebijakan yang dihasilkan dari Masyarakat yang kurang literasi politik akan membuat kebijakan atau regulasi yang akan menyengsarakan masyarakat dalam jangka panjang.
  • Kualitas pemimpin yang dihasilkan rendah, karena masyarakat tidak memiliki cukup informasi untuk memilih calon yang tepat dan berkualitas. Di samping itu, rekam jejak dan kualitas calon tidak menjadi alternatif utama dalam memilih calon, namun siapa yang memberi uang atau bansoslah yang diutamakan.
  • Stabilitas politik dan keamanan negara terancam, karena kurangnya partisipasi masyarakat dalam politik. Hal ini dikarenakan masyarakat tidak merasa mempunyai tanggung jawab terkait dengan politik sehingga apa yang dihasilkan dari proses pemilihan tidak menjadi perhatian.
  • Perkembangan demokrasi terhambat, dikarenakan masyarakat yang kurang aktif dan kurang partisipatif.

Tantangan Etika dalam Pilkada Langsung

Kurang meleknya politik masyarakat dan rendahnya literasi politik masyarakat sering kali dimanfaatkan segelintir elit politik yang berpikir sesaat, yang penting terpilih dan berkuasa. 

Dengan menggunakan segala cara, baik intimidasi, politik uang atau bansos, penggiringan opini dan lain-lain, mereka mempengaruhi dan mengambil suara masyarakat. Hal ini juga terjadi pada pilkada langsung yang berlangsung beberapa waktu lalu di Indonesia.

Pemilihan langsung dalam Pilkada di Indonesia, juga bersinggungan dengan etika. Pengamat politik menyatakan, yang namanya etika, tidak bisa disandarkan pada hukum tertulis, karena hukum tertulis bisa disepakati oleh pengambil kebijakan. 

Namun, etika lebih pada aturan tidak tertulis, yang menyatakan sesuatu itu layak atau tidak layak, dapat diterima secara norma atau tidak. Etika akan membuat orang malu jika melakukan pelanggaran, walaupun secara hukum tidak ada pelanggaran.

Etika yang kerap diabaikan
dalam pemilihan langsung adalah money politic (politik uang), black campaign
(kampanye hitam), intervensi pihak eksternal (termasuk penguasa dan elit politik),
dan tidak netralnya birokrasi. 

Penggunaan uang dalam jumlah besar untuk membiayai kampanye dapat memicu munculnya korupsi. Praktik memberikan uang atau hadiah (bingkisan) kepada pemilih untuk mempengaruhi pilihan mereka masih menjadi masalah serius. 

Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya pembagian bantuan sosial dan atau serangan fajar. Di samping itu, Pilkada langsung juga menggunakan kampanye hitam dengan penyebaran informasi yang tidak benar atau fitnah terhadap calon lawan untuk menjatuhkan kredibilitasnya. 

Campur tangan elite partai politik pusat, tokoh nasional, atau kelompok kepentingan lainnya dalam pemilihan langsung juga kerap terjadi. Bahkan terkadang terjadi kriminalisasi terhadap lawan politik. 

Di sisi lain, pejabat dan aparatur negara sering kali sulit menjaga netralitas, terutama jika memiliki kedekatan dengan salah satu calon atau yang menjadi calon adalah petahana.

Dampak Negatif Pelanggaran Etika Politik

Praktik-praktik tidak etis dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi. Pemimpin yang terpilih melalui cara-cara yang tidak demokratis cenderung tidak memiliki integritas dan komitmen untuk melayani masyarakat. 

Pelanggaran etika politik dalam pilkada langsung akan menimbulkan berbagai dampak negatif. Adapun dampak negatif yang dapat terjadi adalah melemahnya kualitas demokrasi, munculnya pemimpin yang tidak berkualitas, meningkatnya polarisasi (perpecahan) sosial dan praktik korupsi. 

Kampanye hitam dapat memicu perpecahan di masyarakat dan praktik money politic (politik uang) dapat membuka peluang terjadinya korupsi setelah pemimpin terpilih.

Solusi Peningkatan Literasi Politik

Kurang meleknya politik masyarakat dan rendahnya literasi politik masyarakat diperlukan upaya bersama, mencakup penguatan pendidikan politik, reformasi media massa, peningkatan partisipasi masyarakat dan reformasi partai politik. 

Pendidikan politik harus dimulai sejak dini dan terus dikembangkan di semua jenjang Pendidikan dengan materi pendidikan yang menarik dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. 

Media massa perlu lebih banyak menyajikan berita politik yang akurat, mendalam, dan berimbang, agar masyarakat lebih paham tentang dampak politik jangka panjang, baik dampak posiitif maupun negatif dari partisipasi masyarakat dalam politik. 

Masyarakat juga harus didorong untuk lebih aktif berpartisipasi dalam kegiatan politik, seperti mengikuti pemilu, bergabung dengan organisasi masyarakat sipil, atau menjadi relawan. 

Selanjutnya partai politik harus melakukan reformasi internal untuk meningkatkan kualitas kader dan program-programnya, sehingga partai mempunyai kader berkualitas dan kompeten, yang pada gilirannya dapat diunggulkan.

Peran Individu yang Melek dan Sadar Politik

Setiap individu mempunyai peran penting dalam meningkatkan literasi politik, dengan memulai dari diri sendiri untuk aktif mencari informasi terkait dengan politik dari berbagai sumber yang berbeda, jangan hanya mengandalkan informasi dari satu sumber saja. 

Selanjutnya perlu dilakukan diskusi dengan orang lain yang memiliki pandangan berbeda dalam memperluas wawasan kita. Hal penting lainnya adalah berpartisipasi dalam kegiatan politik dengan mengikuti kegiatan politik yang ada di sekitar kita, seperti mengikuti pemilu, bergabung dengan organisasi masyarakat sipil, atau menjadi relawan.

Upaya Mencegah Pelanggaran Etika Politik

Untuk mencegah pelanggaran etika politik dalam pilkada langsung, diperlukan berbagai upaya yang konsisten dan berkesinambungan. Hal ini mencakup penguatan pengawasan yang ketat oleh berbagai pihak, termasuk Bawaslu, partai politik, dan masyarakat sipil. 

Pendidikan politik yang memadai juga penting agar masyarakat
dapat memilih pemimpin yang berkualitas. Selain itu, penegakan hukum terhadap
pelaku pelanggaran etika politik harus dilakukan dengan tindakan tegas
sesuai hukum yang berlaku. 

Penyelenggaraan pilkada juga perlu dilakukan secara transparan dan akuntabel, disertai dengan penguatan partai politik melalui reformasi internal serta peningkatan kualitas kader dan program-programnya.

Penutup

Pilkada langsung merupakan momentum penting bagi masyarakat untuk memilih pemimpin daerah yang kompeten dan amanah. Namun, untuk mewujudkan pilkada yang berkualitas dan demokratis, diperlukan komitmen bersama dari semua pihak untuk mencegah pelanggaran etika politik. 

Di samping itu, kepada masyarakat juga perlu ditingkatkan literasi dan kesadaran politiknya, agar mereka dapat menentukan sosok yang ideal menjadi pemimpin. 

Dengan meningkatkan literasi politik, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih cerdas, kritis, dan berpartisipasi aktif dalam membangun negara, salah satunya dengan memilih kepala daerah yang kompeten dan amanah. 

Untuk itu, hal penting yang juga harus dilakukan adalah meningkatkan kualitas kader partai, sehingga mempunyai kelayakan untuk dipilih masyarakat menjadi pemimpin, terutama di daerah. 

Dengan demikian, pilkada langsung dapat menjadi sarana untuk melahirkan pemimpin yang berkualitas dan membawa perubahan positif bagi daerahnya. 

0
0
Nugroho Kuncoro Yudho ◆ Active Writer

Nugroho Kuncoro Yudho ◆ Active Writer

Author

Praktisi kesehatan dan pemerhati masalah sosial kemasyarakatan berdomisili di Sampit, Kalimantan Tengah.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post