“Umpama rintik hujan yang akan jatuh ke tanah namun tak jadi, tapi ia lebih memilih menggantung di awan meski ia tahu langit tak memberi dia harapan.”
Memandang pantulan wajah dalam cermin membuatku terhanyut dalam bayangan terdahulu atau sebaliknya sebelum aku terlelap dalam alam mimpi. Pikirku pun melayang seolah terbawa kelana perjalananku. Kerap kali ku jadikan teman bercerita saat hadirnya kegundahan dalam diri, sebab tak ada lagi orang yang ku percaya.
Rintik hujan menggema menari-nari diatas genteng seolah mengikuti halunan irama. Suara ayam jago berkokok di pondok sebelah terdengar nyaring berbunyi empat kali. Ini menandakan waktu sudah menandakan tengah malam. Aku masih terjaga seolah tubuh ini enggan untuk diajak beristirahat.
“Aku mencintaimu, tapi kita berbeda.” masih terngiang ucapan Gerral yang berusaha meyakinku atas kenyataan ini.
“Jika Tuhan menciptakan cinta untuk umatnya, lantas kenapa aku tidak boleh mencintaimu?”, ujarku dalam derai air mata. Sakit, kecewa itu yang aku rasa. Seolah dia mempermainkan perasaanku. Sungguh, aku hanya mencintaimu tapi tidak mengambilmu dari Tuhanmu, begitupun aku tidak mengkhianati Tuhanku.
“Mengertilah Helena, kita tidak berpisah hanya saja tidak berada dalam frekuensi yang sama.” lagi mencoba membuatku mengerti dengan pendiriannya. Aku tak tahu harus berbuat apa lagi, yang jelas coba mengerti dan menerima kenyataan ini.
Jika suatu saat nanti aku menghilang tanpa kabar bukan aku membencimu atau tidak mencintaimu lagi. Melainkan masing-masing dari kita harus berhenti untuk saling mengharapkan. Mungkin ini cara terbaikku untuk menghapus perasaan ini.
“Beri aku waktu untuk mengerti.” Aku menghela nafas berat. Tak mudah memang melupakannya begitu saja.
Hingga waktu telah menunjukan pukul 01.45, namun mataku tetap juga terjaga. Sekarang jerit sang halilintar seakan menertawakanku sebagai perempuan lemah tak berdaya. Hujan mengaduk sepenggal rindu yang bersemayam dalam jiwa. Sepintas bayanganku dengan Gerral melintas dalam bayangan cermin.
“Apakah tuhan akan marah jika kita saling mencintai?” ucapku di depan cermin, lelaki yang aku harapkan menjadi pertama dan terakhir dalam hidupku.
“Entahlah. Bisa jadi katedral dan temple yang selama ini kita lihat berseberangan saling mencintai seperti kita. Atau bisa jadi antara negeri gajah putih dengan nusantara yang bertangga saling mencintai seperti kita. Jika seperti itu apa semesta akan murka juga? Tanyaku di depan cermin.”
“Mengapa sejak awal aku tidak menepis firasatku,
kalau aku dan kamu tidak akan menjadi kita? Simbol agamamu melekat pada seutas kalung
yang kau sembunyikan dalam kemeja putihmu, sedangkan simbol agamaku merekat pada gelang tiga warna melingkar pada tangan kananku. Dan simbol negerimu merekat pada gajah putih, sedangkan negeriku merekat pada burung garuda,” ujarku dalam hati.
Memang benar kita berpijak di planet yang sama. Namun bukan berarti segala hal harus sama. Kita berbeda dalam segala hal, tapi kita hanya mengerti bahasa cinta menenggelam kita dalam kubangan yang mungkin semesta tak merestui.
Kemurnian cinta nampak bias. Kita sudah membuat seperempat kisah yang harus tuntas akibat terhalang tembok besar nan kokoh menghalangi dari segala penjuru. Rasa perih dan sakit harus kita tanggung sekarang sebelum lebih parah lagi.
Ayo bangunlah pada kenyataan bahwa cinta kita sangat berbeda, tapi kita hanya paham pada bahasa cinta saja. Namun, logika selalu menuntut untuk berargumentasi dengan ingatan lama tentang seseorang yang aku cintai. Mereka tak bosan berkonspirasi untuk membuatku berhenti introspeksi.
Rintik hujan tak berhenti turun mengguyur bumi, membasahi tanah dan menghanyutkan dedaunan kering yang dilaluinya. Namun daun tak pernah protes ketika ia dibawa tak tentu arah dan tujuan, karena ia tahu ini takdir yang harus dijalani.
Perihal cinta yang tak selamanya indah karena tak selamanya harus dimiliki. Setidaknya kita telah melewati lika-liku dan luka untuk mendapatkan hasilnya sempurna. Umpama si lebah terobsesi menjadi kupu-kupu, padahal ia tahu si bunga hanya sebatas fatamorgana.
Aku mulai mengerti. ’’Setiap orang memiliki prinsip yang kokoh, antara cinta atau agama pasti salah satunya ada yang lebih mendominasi. Antara lonceng yang berdentang dan antara puja trisandya yang berkumandang.
Antara salib yang membuatmu tenang
dan antara asap dupa yang menjernihkan pikiranku. Antara dahsyatnya syafaat dan merdunya suara matram gayatri, aku yakin genggaman tanganmu dan cakupan tanganku akan bertemu kata yang sama.” Begitu ujarku dalam diam.
Semesta tak pernah memberi batas dalam sebuah rasa. Yang aku pahami, bagaimana ia tumbuh memberi rasa nyaman meski pada akhirnya pergi bak daun kering tertiup angin tak karuan arah. Dalam bahasa sunyi nestapa telah diam-diam merangkai kata untuk kita.
Hingga terpungutlah satu persatu-satu membentuk sebuah frase indah dalam bahasa. Hanya kita yang paham, mungkin seseorang bisa dalam membaca namun sulit untuk menemukan makna dalam seutas kata.
0 Comments