Revisi UU ASN: Roda-Roda Gigi Birokrasi dan Usulan yang Terasa Janggal

by | May 28, 2025 | Refleksi Birokrasi | 0 comments

Di sebuah angkringan, tempat ampas kopi dan keluh kesah para pekerja sipil negara seringkali mengendap bersama remang senja, terdengar bisik lirih namun menusuk: “Kita ini sekadar roda gigi kecil, Bung”. 

Sebuah perumpamaan yang mungkin terkesan usang, namun tetap relevan untuk melukiskan nasib yang putarannya ditentukan dari jauh, dari pusat-pusat yang gemerlap namun acap kali abai terhadap suara-suara dari komponen terkecil. 

Revisi sebuah undang-undang tentang aparatur negara,
yang kini tengah diproses itu, agaknya tak lepas dari logika mesin ini. Ia dirakit dalam senyap, atau setidaknya dalam ruang-ruang yang tak sepenuhnya terbuka bagi mereka, roda-roda gigi itu, yang kelak akan menjalankan mekanisme ini hari demi hari. 

Warisan Sejarah Birokrasi

Sejarah birokrasi di negeri ini, adalah sebuah narasi panjang tentang bagaimana kekuasaan, dalam berbagai kostum dan perannya, dari VOC yang bangkrut dan mewariskan struktur pegawai Hindia Belanda hingga republik yang terus mencari jati dirinya, selalu berhasrat untuk, “menjinakkan” para pelayannya. 

Sejarah panjang pegawai negeri adalah juga sejarah tentang instrumentalisasi itu; sebuah cerita tentang bagaimana abdi menjadi alat, menjadi prajurit yang patuh pada perintah. 

Netralitas, sebuah konsep yang luhur, digembar-gemborkan dalam aneka aturan, namun di panggung sehari-hari, aturan tersebut tak jarang hanya menjadi selubung tipis bagi pertarungan kepentingan para elite. 

Mutasi dan promosi tak lagi semata soal prestasi atau rekam jejak yang baik, tapi juga soal siapa menyulam benang loyalitas paling dekat dengan singgasana dalang. Sebuah lagu lama yang, sayangnya, terus diulang, seolah kita tak pernah belajar dari masa lalu.

Usulan Perpanjangan Usia Pensiun

Lalu datanglah sebuah usulan dari KORPRI, wadah yang katanya menyatukan suara para abdi negara. Atas nama “penguatan ASN”, begitu tertulis di atas kertas resmi bertanggal 15 Mei 2025 itu. Sebuah frasa yang terdengar gagah dan menjanjikan perbaikan. 

Namun, betapa mengejutkan, ketika lembar-lembar usulan itu kita telaah lebih dalam, yang paling mencolok, adalah poin-poin tentang perpanjangan usia pensiun. 

  • Untuk pejabat tinggi utama, dari 60 tahun diusulkan menjadi 65 tahun. 
  • Untuk pimpinan tinggi madya, dari 60 menjadi 63. 
  • Bahkan untuk ahli utama fungsional, dari 65 diulur menjadi 67 tahun. 

Dalihnya: angka harapan hidup yang, katanya, meningkat. Seakan-akan penguatan adalah soal memperpanjang masa edar bagi mereka yang sudah lama duduk nyaman di orbit kekuasaan, yang kursinya sudah hangat bertahun-tahun.

Barangkali, usulan semacam ini lahir dari sebuah anomali dalam cara pandang: bahwa ‘mesin’ hanya akan kuat jika komponen-komponen besarnya terus berputar, seolah lupa bahwa kekuatan sejati sebuah mekanisme justru terletak pada presisi dan kesehatan setiap bagian, hingga yang terkecil sekalipun. 

Atau mungkin, ini adalah cerminan dari sebuah sistem yang terlalu lama memuja senioritas, menganggap usia dan jabatan sebagai garansi tunggal atas kearifan dan kemampuan, seraya mengabaikan potensi energi baru yang dimiliki roda-roda gigi yang lebih muda, yang mungkin haus untuk unjuk kinerja namun jalurnya terasa semakin sempit dan terjal. 

Penguatan “Sejati” dan Pusat Pemerintahan

Suara siapa sesungguhnya yang diwakili oleh usulan-usulan macam ini? Suara seluruh komponen mesin, atau hanya deru dari bagian-bagian yang sudah nyaman di pusat putaran?

Padahal, “penguatan” sesungguhnya tak bisa diukur semata dari berapa lama sebuah komponen bertahan atau seberapa besar ukurannya dalam konstelasi mesin. 

Penguatan sejati mestinya berbicara tentang bagaimana meningkatkan kualitas setiap material pembentuk roda gigi, melumasi setiap sambungan agar tak ada gesekan yang merugikan, memastikan setiap putaran berkontribusi pada tujuan utama mesin: melayani publik, bukan melayani diri sendiri atau segelintir operator. 

Ini soal membangun sebuah sistem yang setiap komponennya merasa dihargai, diberi ruang untuk berkembang, dan suaranya, sekecil apapun, didengar dan dipertimbangkan dalam setiap kalibrasi ulang rancang bangun mesin besar bernama birokrasi ini.

Pada usulan tentang “penguatan ASN” itu, fokus malah bergeser, atau mungkin memang selalu tertuju, pada mereka yang sudah kuat dan posisinya sudah mapan. Lalu bagaimana nasib ribuan, mungkin jutaan, aparatur sipil negara di lapisan bawah? 

Mereka yang jadi ujung tombak pelayanan, yang sehari-hari berhadapan langsung dengan keluh kesah rakyat, yang perutnya seringkali harus diikat lebih kencang untuk mengejar harga-harga yang berlari kencang. 

Apa suara mereka, suara sosok seperti pegawai di kelurahan atau perawat di Puskesmas pelosok itu, tak cukup penting untuk sampai ke pusat pemerintahan sana?

Regenerasi dan Ketimpangan Struktural

Regenerasi, sebuah kata yang vital bagi kesehatan setiap organisasi, termasuk birokrasi yang katanya mau dibikin kelas dunia, terancam menjadi angan-angan dan sekadar hiasan bibir. 

Jika ruang-ruang di puncak semakin lama terisi oleh generasi yang sama,
yang mungkin enggan untuk beranjak, birokrasi berisiko menjadi sebuah monumen besar yang kaku. Mengesankan dari kejauhan, namun diam tak bergerak, kehilangan
denyut kehidupan dan kelincahan di dalamnya. 

Usulan ini, betapapun dibungkus dengan niat baik yang mungkin tulus, terasa seperti hanya menyentuh permukaan, seperti menyiram air di daun talas, bukan? 

Tak pernah benar-benar sampai ke akar persoalan yang sebenarnya yaitu ketimpangan struktural, minimnya kepastian karier bagi banyak orang, sebuah sistem yang belum sepenuhnya lepas dari bayang-bayang patronase dan faktor suka-tidak suka.

Maka, suara-suara dari roda-roda gigi kecil yang menjadi penggerak utama dalam mekanisme birokrasi sehari-hari, tetap saja sayup, seperti gesekan halus yang terabaikan oleh bisingnya putaran komponen besar. 

Mereka lebih sering menjadi objek dalam skema besar, bukan subjek yang turut merancang, dalam sebuah mekanisme rumit yang cetak birunya dirancang oleh para teknokrat atau operator. 

Yaitu mereka yang mungkin lupa bahwa setiap roda gigi, meski hanya logam dingin, adalah representasi dari manusia yang punya cerita, punya rasa, punya harapan. Mereka adalah bagian dari mesin yang terus berputar, seringkali tanpa pernah benar-benar ditanya arah putaran mana yang terbaik, atau apakah pelumasnya sudah cukup.

Sebuah Refleksi tentang Kepada Siapa Melayani

Revisi undang-undang ini, pada akhirnya, bukan hanya tentang pasal dan ayat yang diubah. Ia adalah sebuah cermin besar, tempat kita bisa berkaca, menatap wajah kita sendiri sebagai bangsa. 

Bagaimana sebuah republik ini membayangkan para aparaturnya? Sebagai instrumen kekuasaan belaka, sebagai sekrup-sekrup kecil dalam mesin raksasa yang loyalitasnya lebih penting dari kompetensi dan integritasnya? 

Ataukah sebagai manusia utuh, sebagai pelayan publik yang punya martabat, yang suaranya layak didengar, yang kesejahteraannya dalam arti luas, bukan hanya materi, menjadi kepedulian bersama?

Tanpa sebuah pergeseran paradigmatik, tanpa keberanian untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pelik dengan jujur dan tuntas, birokrasi akan tetap menjadi sebuah mesin raksasa yang bergerak mungkin dengan presisi, namun tanpa jiwa, tanpa roh kemanusiaan. 

Sebuah bayang-bayang panjang dari kekuasaan yang, jangan-jangan, telah lupa pada tujuan awal perakitan mesin itu dan lupa kepada siapa mereka seharusnya melayani.

2
0
Dendy Raditya Atmosuwito ♥ Associate Writer

Dendy Raditya Atmosuwito ♥ Associate Writer

Author

Seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bekerja di Yogyakarta

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post