Revisi UU ASN 2025: Efisiensi Pusat, Ketidakpercayaan Daerah?

by | Jun 5, 2025 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) 2025 membawa berbagai perubahan yang signifikan dalam tata kelola pemerintahan, khususnya terkait sistem kepegawaian di Indonesia. UU ASN ini mendapatkan perhatian luas, baik berupa apresiasi terhadap langkah reformasi birokrasi maupun kekhawatiran terkait implikasi yang lebih besar terhadap struktur pemerintahan.

Sebagai seorang ASN yang telah bertugas di pemerintah daerah
selama lebih dari satu dekade,

saya menyambut baik setiap upaya reformasi birokrasi yang bertujuan
untuk meningkatkan efektivitas pelayanan publik
serta profesionalisme aparatur.

Namun, revisi kali ini tidak hanya berkaitan dengan aspek administratif, tetapi juga menyentuh dimensi relasi kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah serta persoalan kepercayaan terhadap sistem birokrasi yang lebih luas.

Perubahan yang diusulkan dalam UU ASN 2025 memperlihatkan adanya pergeseran dalam mekanisme pengelolaan kepegawaian, yang berpotensi mempengaruhi otonomi daerah. Dalam konteks ini, menjadi penting untuk mempertanyakan apakah revisi ini benar-benar bertujuan untuk memperkuat profesionalisme ASN, atau justru menambah kendali pusat atas birokrasi daerah.

Keberlanjutan reformasi birokrasi tidak hanya bergantung pada efektivitas regulasi, tetapi juga pada kepercayaan ASN terhadap sistem pemerintahan yang lebih transparan, adil, dan akuntabel.

Kewenangan yang Ditarik

Salah satu poin utama dalam revisi UU ASN 2025 adalah dialihkannya kewenangan terkait pengangkatan, pemberhentian, dan mutasi jabatan ASN dari kepala daerah ke pemerintah pusat.

Kebijakan ini terutama berlaku untuk jabatan struktural eselon II ke atas, dengan tujuan yang jelas: mengurangi intervensi politik, memperkuat sistem meritokrasi, serta memastikan netralitas ASN, terutama menjelang tahun-tahun politik yang krusial.

Perubahan ini diharapkan dapat menciptakan birokrasi yang lebih profesional dan berorientasi pada kinerja, tanpa terpengaruh oleh kepentingan politik lokal. Namun, implementasi kebijakan ini juga memerlukan strategi yang tepat agar tetap selaras dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang efektif.

Namun, sebagai orang yang bekerja langsung dalam struktur birokrasi daerah, saya mempertanyakan satu hal: apakah penarikan kewenangan ini benar-benar menjamin profesionalisme, atau justru menyembunyikan ketidakpercayaan pusat terhadap daerah?

Sebelumnya, kepala daerah bertindak sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), yang tentu punya tanggung jawab menata birokrasi daerah agar sejalan dengan visi dan misi pembangunan lokal.

Dengan revisi ini, kepala daerah kehilangan sebagian besar kendali atas perangkat kerjanya. Akibatnya, bisa jadi mereka hanya menjadi “penonton” atas ASN yang bekerja dalam sistem yang dikendalikan dari pusat.

Secara teori, sentralisasi kewenangan ini memiliki tujuan yang baik memastikan birokrasi berjalan lebih profesional dan bebas dari kepentingan politik lokal. Namun dalam praktiknya, tantangan besar muncul.

Jika seorang kepala daerah tidak memiliki kewenangan untuk mengganti kepala dinas yang kinerjanya buruk, bagaimana ia bisa memastikan pelayanan publik berjalan optimal?

Lebih jauh, kepala daerah memiliki tanggung jawab langsung kepada masyarakat, yang menuntut pemerintahan yang efektif dan responsif. Namun, tanpa fleksibilitas dalam memilih pemimpin birokrasi di wilayahnya, efektivitas tata kelola daerah bisa terganggu.

Maka, penting untuk menyeimbangkan antara sentralisasi dan kemandirian daerah, agar reformasi birokrasi benar-benar membawa perubahan positif bagi masyarakat. Ini seperti meminta seseorang menjadi nakhoda kapal, tapi tidak memberinya kemudi.

Pembubaran KASN: Siapa yang Akan Jadi Wasit?

Selain sentralisasi, revisi ini juga memuat pembubaran Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Fungsi pengawasan dan penegakan sistem merit rencananya akan dialihkan ke BKN dan Kementerian PANRB. Tapi, di sinilah kekhawatiran saya semakin dalam.

KASN adalah lembaga independen yang selama ini menjadi “wasit” dalam menjaga netralitas dan profesionalitas ASN. Dengan dihapusnya lembaga ini, muncul dua pertanyaan besar:

  • Siapa yang akan menjamin sistem merit tetap berjalan?
  • Apakah lembaga eksekutif bisa mengawasi dirinya sendiri dengan objektif?

Sebagai ASN, saya percaya bahwa sistem pengawasan harus memiliki jarak dari kekuasaan. Tanpa itu, keadilan bisa menjadi abu-abu.Revisi UU ASN 2025 juga mendorong mobilitas ASN lintas wilayah dan instansi, dalam rangka pemerataan SDM. Ini kebijakan yang progresif di atas kertas.

Namun, kami yang di lapangan tahu bahwa mobilitas tidak sesederhana memindahkan nama dari satu SK ke SK lain.

ASN bukan angka dalam spreadsheet.
Kami adalah manusia dengan keluarga, komunitas, dan tanggung jawab lokal.
Jika mobilitas tidak dilengkapi dengan insentif yang layak, pemetaan kebutuhan yang objektif,
serta partisipasi dari ASN itu sendiri, maka ia berubah dari peluang menjadi
pemindahan paksa yang kering dari sisi kemanusiaan.

Yang paling terasa bagi kami di daerah adalah rasa dikesampingkan. Seolah-olah ASN di daerah dianggap sebagai sumber masalah, bukan sebagai bagian dari solusi. Padahal, kami adalah garda depan layanan publik dari pendidikan, kesehatan, hingga kebencanaan.

Jangan Jadikan ASN Korban Ketakutan Politik

Salah satu alasan revisi ini adalah menghindari politisasi ASN, apalagi menjelang Pilkada dan Pemilu. Ini kekhawatiran yang sah. Tapi jangan sampai karena kekhawatiran itu, seluruh ASN daerah dikekang seolah-olah tidak mampu bersikap netral.

Solusinya bukan menarik semua kendali ke pusat, melainkan memperkuat pendidikan etika birokrasi, mempertegas sanksi bagi pelanggar, dan membangun sistem karier berbasis kinerja, bukan kedekatan politik.

Saya tidak menolak revisi UU ASN. Banyak niat baik di dalamnya dari perbaikan sistem merit, penghapusan tenaga honorer, hingga efisiensi SDM. Tapi sebagai ASN yang mengabdi di daerah, saya ingin menyuarakan kekhawatiran bahwa revisi ini akan menjadi langkah mundur bagi otonomi daerah dan profesionalisme birokrasi, jika dijalankan secara sentralistik dan tanpa kontrol independen.

Revisi ini bisa menjadi langkah maju, tapi hanya jika pemerintah pusat berhenti melihat daerah sebagai “wilayah pengawasan”, dan mulai menganggapnya sebagai mitra pembangunan.

3
0
Tomi Subhan ♥ Associate Writer

Tomi Subhan ♥ Associate Writer

Author

Aparatur Sipil Negara di Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post