Resensi Buku: Teori Telik Sandi

by | Dec 1, 2020 | Resensi/Ulasan Buku dan Film | 0 comments

Medio 2011, saya diminta menuliskan kronologis pengintaian salah satu tokoh di Indonesia. Ini merupakan rangkaian pengumpulan informasi mulai dari Bekasi, Jakarta, Singapura, hingga Selandia Baru. Pengintaian dan pengumpulan informasi ini ujungnya adalah satu: membuktikan suatu pengkhianatan yang jika terbukti valid, akan membongkar kedok orang tersebut dan berpotensi membuat gaduh masyarakat luas.

Dalam teori, saya hanyalah bagian dari operator dalam siklus terakhir intelijen: penyusun sajian informasi dan hasil analisis intelijen akhir untuk digunakan sebagai bagian dari pengambilan keputusan. Karena perlunya distribusi seketika ke seluruh pengguna informasi yang tersebar di baragam daerah dan berpacu cepat dengan potensi kontra intelijen yang terdeteksi akan dilancarkan pihak lawan, maka keahlian saya dalam dunia online dan web development, menjadi berguna dan mendapat alasan untuk ikut dilibatkan.

Saat itu, saya tidak terlalu memahami apa kebutuhan pengguna informasi intelijen yang sedang dijalankan. Saya juga tidak terlalu memperhitungkan risiko yang akan saya hadapi. Yang saya ingat, banyak tokoh yang hadir yang sudah saya cek sepak terjangnya sehingga saya tidak berpikir panjang untuk ikut terlibat membantu. Saat pembahasan, banyak sekali diksi intelijen muncul dalam diskusi.

Di akhir cerita, operasi intelijen ini terbongkar dan tidak berjalan mulus sesuai dengan keinginan pengguna.

Saat diajukan ke meja hijau dengan delik pencemaran nama baik dan fitnah, banyak terkuak informasi-informasi yang belum level A1 (Source level A: no doubt of the autencity of the source; Information level 1: known to be true without any reservation – istilah yang juda digunakan di dunia intelijen) di lapangan namun dijadikan bahan analisis sehingga kesimpulan yang diambil terlalu gegabah. Sialnya, informasi tak valid ini sudah kadung tersebar ke seluruh daerah, dan saya menjadi bagian man-in-the middle dalam rangkaian operasi intelijen yang gagal ini.

Akibatnya, saat itulah saya pertama kali harus hadir di persidangan berhadapan dengan majelis hakim untuk menjelaskan kronologis kejadian yang sempat membuat saya panas dingin. Untungnya, saya kooperatif kepada penyidik saat BAP sebelumnya dan mengusahakan tidak akan dijadikan tersangka karena melihat profil dan keterlibatan saya. Meski jika mau, ada celah untuk mengikutkan saya dijebloskan ke penjara.

Hampir sepuluh tahun kemudian, saat membaca buku Teori Telik Sandi karya seorang ambtenaar Darmawan S. Pranoto, saya diingatkan kembali peristiwa itu dan mendapatkan landasan-landasan teori operasi intelijen yang dulu saya pernah terlibat (awalan ter- bermakna tak sengaja), termasuk mengapa akhirnya gagal dan berujung tak sesuai keinginan pengguna.

Intelijen merupakan kegiatan terorganisasi untuk melakukan pengumpulan informasi, yang lalu informasi tersebut dinilai sedikit demi sedikit dan dibentuk hingga terwujud dalam pola yang lebih jelas, sampai pada saatnya kita dapat melihat sesuatu yang akan terjadi dengan sangat tajam. – hlm. 13

Menurut Ledislas Farago, editor buku The Axis Grand Strategy: Blueprint for The Total War, intelijen tidak memiliki karakter khusus harus misterius atau serba tertutup, namun lebih kepada kemampuan memahami dan mengolah pemikiran dalam arena adu kecerdasan.

Sebagai sebuah buku pengantar, buku ini singkat dan padat mengelaborasi hal-hal penting dalam suatu rangkaian intelijen, mulai dari apa itu intelijen, siklus intelijen, analisis intelijen, kontra intelijen, hingga penggunaan sandi dan kriptografi dalam operasi intelijen.

Dalam siklus intelijen misalnya, penulis membagi ke dalam empat tahap, yakni 1) Tahap Perencanaan, 2) Tahap Pengumpulan, 3) Tahap Pengolahan, dan 4) Tahap Penggunaan. Dinamakan siklus karena jika sudah dalam tahap terakhir namun misi intelijen belum tercapai maka akan mengulangi kembali ke tahap pertama.

Pada tahap perencanaan inilah ditentukan intelegent problem, yakni apa kebutuhan intelijen yang akan dilaksanakan. Kebutuhan ini seringkali dirumuskan oleh pimpinan organisasi intelijen berdasarkan dengan kepentingan pengguna, seperti kepala negara, komandan, atau siapapun yang secara sah menjadi pengguna. Dari kebutuhan ini kemudian dirumuskan bagaimana cara mendapatkannya.

Cara mendapatkannya ini yang memunculkan kebutuhan perekrutan agen khusus, atau cukup dengan mempekerjakan personil organik badan intelijen tesebut. Termasuk apakah cukup dengan penggalian informasi yang sudah banyak beredar atau perlu melakukan kegiatan spionase/klandestin agar kebutuhan intelijen terpenuhi.

Informasi yang terkumpul ini kemudian dilakukan pengolahan. Dalam tahap pengolahan inilah kemudian muncul istilah info A1 yang berasal dari Admiralty Code yang akhirnya banyak digunakan luas hingga saat ini untuk menilai tingkat validitas sumber dan informasi.

Gambar: Tabel penyempurnaan Admiralty Code
yang awalnya 6 level disederhanakan menjadi 4 level kualitas sumber dan kualitas informasi

Setelah mendapatkan cukup informasi bermutu berlevel A – B, personil intelejen kemudian melakukan analisis atas informasi tersebut.

Analisis intelijen adalah pekerjaan yang bergantung pada kapasitas individual. Karena, elemen paling dasar dari sebuah analisis intelijen adalah persepsi sang analis itu sendiri. – hlm79

Di sinilah perlunya seorang analis intelijen jempolan yang memiliki kemampuan penalaran yang mumpuni. Seringkali, agen intelijen di lapangan yang memperoleh informasi yang masih sangat mentah dan tampak tak saling berhubungan dengan informasi-informasi lain yang terkumpul. Seorang analis intelijen kemudian bertugas connecting the dots untuk diambil kesimpulan yang mengarah pada kebutuhan pengguna. Dan yang tak kalah penting, hasil analisis ini harus dapat disajikan secara tepat waktu dalam sebuah laporan yang disampaikan ke pengguna.

Dalam dunia intelijen, sebagus apapun informasi yang didapat dan telah diolah menjadi laporan berkualitas, jika tidak disajikan tepat waktu, akan menjadi sia-sia. Ketepatan waktu menjadi bagian penting dari keberhasilan kerja-kerja intelijen. Dari sisi ini, kerja intelijen mirip-mirip dengan kerja seorang auditor.

Dalam pelaksanaan semua siklus intelijen ini kemudian muncul istilah-istilah seperti operasi intelijen, agen, jaringan, sandi dan kriptografi, mata-mata, perekrutan, infiltrasi, sabotasi, propaganda, teror, subversi, jaringan klandestin, dan sebagainya.

Dalam buku ini dijelaskan satu per satu istilah tersebut lengkap dengan konteks penggunaaan dalam rangkaian siklus intelijen.

Buku ini menawarkan banyak referensi yang bisa dirujuk-lanjut oleh pembaca jika menginginkan informasi yang lebih. Referensinya juga cukup kaya, mulai dari dokumen terbatas di kepolisian, dokumen-dokumen intelijen luar negeri yang sudah dibuka untuk publik, hingga fakta-fakta intelijen yang berserak di sepanjang masa sejarah nusantara, indonesia, dan dunia.

Penulis rajin mengumpulkan satu persatu peristiwa bernuansa intelijen untuk dihadirkan kepada pembaca dan memberinya konteks ke dalam bahasan yang sedang ingin di presentasikan. Menurut saya, ini salah satu keunikan buku ini sehingga ringan dan renyah dinikmati.

Setiap bab diawali dengan fragmen cerita intelijen yang menambah wawasan pembaca, alih-alih hanya menghadirkan deretan teori-teori kering yang biasanya kurang menarik untuk pembaca awam.

Misalnya, cerita bahwa Bapak Pandu Dunia Lord Robert Baden-Powell adalah seorang mayor jenderal yang menghabiskan hampir seluruh karir militernya dalam dunia intelijen. Di tengah karir penugasannya itu, Baden-Powell membentuk Mafeking Cadet Corps.

Mafeking Cadet Corps adalah satuan berisi remaja yang bertugas untuk berjaga, mengirimkan pesan, membantu di rumah sakit, dan sebagainya. -hlm. 41

Terinspirasi oleh etos kerja korps bentukannya inilah, selepas pensiun Baden Powell merintis gerakan kepanduan dan menyusun panduan berjudul Scouting for Boys. Gerakan inilah yang kemudian berkembang keberbagai penjuru dunia dan di Indonesia diadaptasi menjadi Gerakan Praja Muda Karana (Pramuka).

Istilah kepanduan sendiri berasal dari kata dasar pandu, yang merupakan serapan dari padvinder (Belanda) atau pathfinder yaitu satuan militer yang ditugaskan paling awal untuk menyelidiki dan mencari jejak arah. Sedangkan istilah scout secara etimologi berarti perjalanan mencari informasi. Sungguh sangat bernuansa intelijen.

Kelebihan buku ini adalah cara penuturan yang menarik dan tidak kaku karena dilengkapi dengan kisah-kisah yg kontekstual. Selain itu, ini merupakan buku yang singkat dan padat. Istilah-istilah umum yang beredar terkait dunia intelijen, tampaknya tarangkum dengan apik penjelasannya di buku ini.

Kelebihan yang terakhir ini juga dapat menjadi kekurangannya karena sebagai penikmat buku bertema perang dan intelijen, kehausan saya belum terasa lega dan makin dahaga karena cuplikan-cuplikan yang disajikan tidak terlalu dalam dan hanya dipermukaan saja.

Ketika saya konfirmasi langsung kepada penulisnya, beliau menjawab, “Namanya juga buku pengantar.”

Maka, selamat menikmati buku karya salah satu birokrat yang menulis ini. Layak dan nikmat untuk dikonsumsi.

Identitas buku:
Judul : Teori Telik Sandi – Pemahaman Dasar Intelijen
Penulis : Darmawan S. Pranoto, Ahli Madya Kepabeanan dan Cukai
Pengantar : Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, Kepala Badan Intelijen Strategis TNI 2011-2013
Tahun terbit : 2020
Jumlah Halaman : xxii + 186
Penerbit : Dinatra

0
0
Trian Ferianto ◆ Professional Writer

Trian Ferianto ◆ Professional Writer

Author

Auditor pada salah satu Instansi Pemerintah Pusat. Alumni Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan Universitas Jenderal Soedirman. Pengembang aplikasi monitoring pengawasan MRRP COVID-19. Online and Digital Enthusiast. Penikmat Buku dan Kopi. Suka bersepeda. Professional blogger at PinterIM.com

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post