Rekursif Kemiskinan Nasional di Tengah Tragedi

by Diah Wahyuni ◆ Active Writer | Jul 28, 2021 | Birokrasi Melayani | 1 comment

Masih terkenang dua tahun yang lalu, Pemerintah Indonesia di bawah naungan Presiden Joko Widodo mendapatkan apresiasi luar biasa lantaran mampu mengurangi persentase kemiskinan di Indonesia di bawah dua digit. Di akhir tahun 2019, kemiskinan Indonesia mencetak rekor terendah selama satu dasawarsa dengan mencapai ambang 9,22 persen. Prestasi ini membawa optimisme dan angin segar bagi arah pembangunan bangsa.

Kembali Menembus Dua Digit

Namun sayang, tiada seorangpun yang mampu menjamin apa yang akan terjadi esok. Berbagai musibah silih berganti menghantam negeri tercinta. Sejak maraknya penyebaran wabah dunia di tahun 2020, perekonomian bangsa dipukul mundur beberapa langkah.

Prestasi yang pernah ditoreh pemerintah seakan sirna tak bersisa. Kontraksi pertumbuhan ekonomi nasional di bawah bayang-bayang resesi ternyata bersorak hingga pada kehidupan masyarakat kecil jelata dalam bentuk kemiskinan.

Potret kemiskinan Indonesia sepanjang tahun 2020, kembali menembus dua digit, menjadi 10,19 persen di bulan September 2020. Upaya maksimal yang digenjot pemerintahan Joko Widodo demi menekan kemiskinan jebol sudah hanya dalam waktu singkat.

Banyak yang berdalih, lonjakan jumlah penduduk miskin di Indonesia meningkat akibat adanya berbagai musibah dan bencana yang tidak dapat kita hindari. Tetapi sampai kapan, musibah dan bencana menjadi kambing hitam dari lonjakan kemiskinan yang melanda bangsa?

Persebaran: Maluku, Papua, dan Jawa

Jika diperhatikan dari sebaran penduduk di Indonesia, wilayah Maluku dan Papua merupakan wilayah dengan catatan rekor persentase termiskin se-Indonesia yang mencapai 20,65 persen. Berarti di antara 10 orang yang tinggal di Maluku dan Papua, 2 orangnya terkategorikan miskin.

Dari sisi jumlah penduduk, Pulau Jawa memegang rekor jumlah penduduk miskin terbanyak di Indonesia, yaitu mencapai 14,75 juta jiwa selama September 2020. Sebagai wilayah dengan intensitas kepadatan penduduk tertinggi, tidak heran dalam satu dasawarsa pulau Jawa menjadi jawara dalam jumlah penduduk miskin terbanyak di Indonesia.

Dari sisi sebaran kemiskinan ini jelas terlihat ada jurang yang amat besar antara si miskin di berbagai wilayah dan pulau di Indonesia. Beberapa wilayah di Indonesia kerap menunjukan bias kemiskinan abadi yang tidak akan pernah mencapai zero poverty seperti cita-cita dunia dalam Sustainable Development Goals.

Kini di tengah berbagai musibah yang melanda, penduduk Indonesia yang hidup dalam balutan kemiskinan sudah mencapai 27,55 juta jiwa dari seluruh jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 270 juta jiwa.

Dengan rekor kemiskinan seperti ini, maka Pemerintah Indonesia dan seluruh jajarannya memiliki tugas yang cukup berat untuk menekan atau paling tidak mempertahankan tingkat kemiskinan yang didera bangsa kita.

Batas Miskin: Konsumsi Rp15.300 sehari

Kemiskinan yang tercatat oleh Badan Pusat Statistik didasarkan pada kemampuan pemenuhan kebutuhan dasar setiap individu di Indonesia. Kemampuan ini diukur oleh suatu ukuran yang disebut sebagai Garis Kemiskinan. Rumah tangga atau individu yang tidak mempu mengkonsumsi senilai garis kemiskinan tersebut lantas termasuk dalam kelompok “si miskin”.

Garis kemiskinan Indonesia pada bulan September 2020 yaitu sebesar Rp 458.947,- per bulan per kapita, atau dibulatkan menjadi Rp 2.216.714,- per bulan per rumah tangga dengan asumsi terdapat empat anggota rumah tangga.

Jika dihitung kasar, maka sejatinya untuk setiap orang di Indonesia hanya butuh untuk mengkonsumsi makanan maupun memenuhi kebutuhan nonmakanan lainnya sedikit di atas Rp 15.300,-  sehari, untuk dapat keluar dari jerat kemiskinan. Atau konsumsi senilai Rp 73.000,- setiap harinya untuk satu rumah tangga.

Coba bayangkan, bukankah nilai rupiah sebesar 15ribu ini cukup kecil? Tetapi faktanya ternyata terdapat 27,55 juta orang di Indonesia yang bahkan tidak mampu untuk sekedar memenuhi kebutuhan dasar hariannya senilai Rp 15.300,-!

Penyumbang Kemiskinan: Beras dan Rumah Tinggal

Jika dilihat dari jenis komoditi yang menyumbang persentase terbesar dalam garis kemiskinan, maka kita dapati ternyata beras merupakan penyumbang pertama dalam garis kemiskinan makanan di Indonesia.

Sebagai negara agraria yang konon tanahnya disebut gemah ripah loh jinawi, ketidak-merdekaan rakyat dalam menikmati makanan pokok berupa beras sehingga menyulut tingginya kemiskinan nasional merupakan keprihatinan yang hakiki.

Padahal, di tahun 2020, Kementan dengan bangga menyebut jumlah produksi tanaman pangan di Indonesia yang meningkat menjadi 55 juta ton dalam bentuk gabah kering giling. Namun sayangnya, distribusi dan harga jual hingga di hadapan masyarakat tidak lagi terkontrol dengan baik, sehingga banyak masyarakat Indonesia yang tidak mampu mencukupi kebutuhan berasnya.

Menilik dari sisi kebutuhan non makanannya, maka komoditi perumahan adalah kebutuhan yang menyumbang garis kemiskinan nonmakanan tertinggi. Padahal, rumah juga merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia selain pangan dan pakaian. Sayangnya, di negeri ini, rumah kian menjadi barang mewah yang tidak bisa dinikmati oleh segenap bangsa Indonesia.

Apalagi di tengah musibah yang melanda, ekonomi masyarakat terguncang, jumlah pengangguran maupun setengah pengangguran semakin melonjak, tetapi harga rumah tidak pernah berempati. Betapa banyak saudara-saudara sebangsa di perkotaan yang tidak lagi mampu membayar sepetak kos-kosan triplek dan harus keluar menyusuri kolong-kolong jembatan ibukota untuk berlindung.

Epilog: Mengheningkan Cipta untuk Musibah Sosial

Kemiskinan mungkin akan selalu menjadi sisi gelap dari setiap catatan pembangunan bangsa. Akan tetapi bukankah bangsa yang baik, adalah yang mampu mengayomi setiap rakyatnya dalam memenuhi kebutuhan dasarnya? Kalaupun kemiskinan disumbang oleh konsumsi rokok kretek, daging, bensin ataupun biaya angkutan, mungkin saja hal tersebut masih dapat pemakluman.

Namun, ketika kemiskinan yang melonjak disebabkan oleh kebutuhan semisal beras dan rumah, yang tidak lain adalah hak hidup seorang manusia, maka di manakah perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu? Atau mungkin ia telah menjadi semboyan usang yang tak lagi lekat sebagai nilai luhur bangsa.

Belum lagi tugas untuk menekan jurang kemiskinan antarwilayah di Indonesia yang mampu mengancam integrasi bangsa. Kecemburuan pembangunan dan ekonomi mampu memicu efek domino lainnya yang mampu menguncang kesatuan bangsa.

Karena itulah, mari mengheningkan cipta sejenak atas musibah yang tidak hanya berupa wabah, namun juga hingga menyerat musibah sosial selayak kemiskinan. Mungkin dengan cara inilah, kita dapat menyingkirkan ego sombong kita dan mendoakan bangsa ini agar lekas pulih dari keterpurukan berbagai musibah yang melanda.

Indonesia tidak hanya menghadapi musibah berupa wabah dan bencana alam. Lebih dari itu, musibah sosial semisal kemiskinan juga terus mengancam bangsa. Sebagaimana terdapat lonjakan kemiskinan di tahun 2020, Indonesia memiliki tantangan untuk dapat mewujudkan keadilan sosial yang lebih nyata.

5
0
Diah Wahyuni ◆ Active Writer

A young female statistician, work in Statistics Office of Papua. An activist who loves to discuss about population, poverty, and Papua.

Diah Wahyuni ◆ Active Writer

Diah Wahyuni ◆ Active Writer

Author

A young female statistician, work in Statistics Office of Papua. An activist who loves to discuss about population, poverty, and Papua.

1 Comment

  1. Muhamad Badar Hamid

    Good job

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post