Reformulasi Kebijakan Kerja Sama Antar-Desa Lintas Kabupaten/Kota

by Oki Oktaviana ◆ Active Writer | Jan 9, 2023 | Birokrasi Berdaya | 0 comments

Kelahiran Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa disambut dengan euforia dan harapan yang tinggi dari berbagai kalangan kepada Pemerintah Desa untuk memberikan kontribusi lebih dalam pencapaian tujuan bernegara. 

Namun, tingginya angka kemiskinan di wilayah pedesaan, pelayanan publik yang masih jauh dari harapan, serta masih tingginya minat masyarakat desa untuk mengadu nasibnya di wilayah perkotaan (arus urbanisasi) menunjukkan bahwa semangat diundangkannya regulasi tentang desa masih belum cukup optimal.  

Bahkan, fenomena urbanisasi ini seolah tak terbendung dan diperkirakan akan terus berlanjut di masa mendatang, sehingga komposisi penduduk Indonesia pada tahun 2035 diperkirakan akan lebih banyak di wilayah perkotaan sebesar 66,6% (Laporan BPS). 

Menurut sumber yang sama, di beberapa wilayah Pulau Jawa seperti Banten, Jawa Barat, serta Yogyakarta, komposisi penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan akan melebihi angka 80 persen.

Karakteristik yang Berubah

Semakin banyaknya penduduk yang tinggal di perkotaan memang bukan semata disebabkan karena adanya perpindahan penduduk dari desa ke kota, namun dapat pula disebabkan metamorfosis wilayah pedesaan yang menjelma menjadi wilayah dengan karakteristik perkotaan yang karena perubahan aktivitas masyarakatnya. 

Bagai pedang bermata dua, metamorfosis ini pada satu sisi tentu saja dapat dipandang sebagai wujud keberhasilan pembangunan yang telah mengubah struktur mayoritas masyarakat yang tadinya bergerak pada sektor primer menjadi ekonomi sekunder, bahkan tersier. 

Namun di sisi lain, tentu saja menyisakan kekhawatiran mengingat fungsi desa sebagai produsen yang menyediakan kebutuhan bahan pangan, serta fungsi konservasi lingkungan yang cenderung akan lebih sulit dilakukan ketika aktivitas perekonomian bergerak di sektor industri. 

Perubahan lainnya yang terjadi di kalangan masyarakat pedesaan adalah menurunnya semangat kerja sama dan kebersamaan akibat dampak negatif globalisasi yang melahirkan perilaku individualistik maupun dampak ikutan kebijakan program dan kegiatan yang selama ini diimplementasikan di wilayah pedesaan. 

Kebijakan program Padat Karya Tunai (PKT), meskipun di satu sisi telah menunjukan keberhasilan dalam hal penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan di pedesaan, namun di sisi lain menimbulkan ekses menurunnya semangat gotong royong di desa (Sofi, 2020). 

Menjadi Individualistik

Pembangunan infrastruktur pedesaan dengan menggunakan skema PKT dipandang oleh sebagian warga berlaku juga dalam seluruh kegiatan pembangunan yang digulirkan di wilayahnya. 

Akibatnya, timbul sikap pragmatisme yang keliru berupa terjadinya penurunan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan jika tidak mendapatkan bayaran sebagaimana pada kegiatan dengan skema PKT.

Fenomena praktek individualistik tampaknya menjalar pula dalam pelaksanaan tata kelola kelembagaan pemerintahan di desa. 

Pengamatan penulis dalam beberapa pelaksanaan Musrenbang penyusunan dokumen perencanaan jangka menengah Desa (RPJMDes), atau pun rencana pembangunan tahunan di desa (RKPDes) sangat sedikit desa yang melibatkan atau turut mengundang desa tetangganya. 

Dalam penyusunan perencanaan, Pemerintah Desa hanya memandang permasalahan dan potensi di lingkungan desanya saja tanpa memperhatikan potensi dan permasalahan di desa tetangga. 

Adanya keberpihakan anggaran dari Pemerintah Pusat berupa Dana Desa atau pun Alokasi Dana Desa dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada masing-masing desa, dipandang mampu menyelesaikan permasalahan dan mengoptimalkan potensi yang ada di desanya tanpa perlu bekerja sama dengan desa-desa di sekitarnya. 

Padahal dalam hal tertentu, banyak persoalan pembangunan yang beririsan dan memerlukan peran serta desa tetangga agar pengentasan permasalahan atau pun optimalisasi sumber daya akan lebih efektif dan akseleratif. 

Dalam bidang pelayanan publik, permasalahan penyediaan akses pendidikan, kesehatan, serta infrastruktur jalan sangat mungkin memerlukan kerja sama antar-desa. 

Begitu pula dalam hal optimalisasi lahan pertanian, perikanan, perkebunan, atau pun kawasan pariwisata, kerap kali melewati batas administrasi desa sehingga memerlukan mekanisme kerja sama. 

Permasalahan Regulasi

Praktik kerja sama antardesa sebenarnya sudah diakomodir dalam Undang-undang nomor 6/2014 tentang Desa. 

Dalam regulasi tersebut disebutkan bahwa substansi pembangunan desa tidak hanya berbicara tentang desa itu sendiri, tetapi bagaimana pendekatan pembangunan kawasan pedesaan yang tak lain lahir dari skema kerja sama antardesa. 

Bahkan UU 6/2014 secara eksplisit menyebutkan bahwa kerja sama desa merupakan salah satu hal yang bersifat strategis dan harus menjadi pokok bahasan dalam musyawarah desa (Pasal 54). 

Selanjutnya UU 6/2014 menjelaskan aspek kerja sama antardesa yang meliputi:

  1. pengembangan usaha bersama yang dimiliki oleh desa untuk mencapai nilai ekonomi yang berdaya saing
  2. kegiatan kemasyarakatan, pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat antardesa; dan/atau
  3. bidang keamanan dan ketertiban.

Melihat aspek kerja sama desa sebagaimana disebutkan di atas, jelas terlihat urgensi kerja sama antar-desa dapat dilakukan baik dalam hal peningkatan perekonomian desa, akselerasi perwujudan pemberdayaan masyarakat, atau pun peningkatan pelayanan publik yang menjadi kewenangan pemerintah desa. 

Meskipun demikian, sebagai turunan dari UU 6/2014 tentang desa, ruang lingkup Permendagri 97/2017 tentang Tata Cara Kerja Sama Desa di Bidang Pemerintahan Desa hanya mengatur kerja sama antardesa dalam 1 (satu) kecamatan dan antarkecamatan dalam 1 (satu) kabupaten/kota.  

Menunggu Inisiatif Daerah Induk

Apabila desa dengan desa di lain daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) daerah provinsi mengadakan kerja sama, maka harus mengikuti ketentuan kerja sama antardaerah.

Jika merujuk kepada regulasi tentang pengaturan kerja sama antardaerah, maka Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2018 tentang Kerja Sama Daerah menjadi rujukan bagaimana antardaerah yang berbeda kabupaten, kota, atau pun provinsi untuk bekerja sama. 

Konsekuensinya, jika desa yang berbeda kabupaten/kota ingin bekerja sama, tahapan yang harus ditempuh mengikuti mekanisme kerja sama antar Pemerintah Daerah. 

Namun sayangnya, PP 28/2018 tidak sepatah kata pun mencantumkan nomenklatur tentang desa, sehingga ketika desa yang berbeda kabupaten/kota ingin bekerja sama tentu saja harus menunggu inisiatif daerah induknya dalam hal ini kabupaten/kota. 

Realisasi kerja sama antardesa yang berbeda kabupaten/kota dianggap sebagai bagian dari pelaksanaan salah satu urusan pemerintahan yakni Urusan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD). 

Di sisi lain, jika merujuk kepada Undang-undang 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa kerja sama antardesa yang berbeda kabupaten/Kota menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi, serta Kepmendagri 050-3708 tahun 2020 tentang Hasil Verifikasi dan Validasi Pemutakhiran Klasifikasi, Kodefikasi dan Nomenklatur Perencanaan Pembangunan dan Keuangan Daerah, pelaksanaan program dan kegiatan fasilitasi kerja sama antardesa berbeda kabupaten/kota ada di level Pemerintah Provinsi. 

Kondisi inilah yang menyebabkan niat Pemerintah Desa yang ingin bekerja sama dalam pembangunan dengan desa tetangganya yang berbeda kabupaten/kota menjadi terhambat. 

Secara garis besar, perlu tahapan dukungan inisiatif Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menyusun perjanjian kerja sama, inisiatif dinas yang menangani Urusan PMD di tingkat Provinsi untuk memfasilitasi kerja sama dalam bentuk program dan kegiatan.

Lalu yang terakhir perlu penandatanganan Keputusan bersama antara para Kepala Desa sebagai landasan legal formal pelaksanaan kerja sama antardesa tersebut.  

Peluang Penting yang Terabaikan

Tahapan realisasi kerja sama antardesa sebagaimana disampaikan sebelumnya jelas sangat tergantung pada inisiatif pemerintahan supradesa yang menaungi di mana desa itu berada. 

Padahal, banyak desa di wilayah perbatasan antar kabupaten/kota yang berbeda, secara historis memiliki latar belakang budaya yang sama, dan secara geografis berada dalam kawasan yang sama menjadi terpisahkan ketika terjadi pemekaran daerah. 

Romantisme masa lalu ini tentu saja akan menjadi bekal bagi perwujudan kerja sama antardesa yang berbeda kabupaten/kota, yang diinisiasi Pemerintah Desa tanpa harus tergantung dan menunggu inisiatif pemerintah supradesa.  

Asas rekognisi berupa pengakuan pada praktik pemerintahan terdekat dengan masyarakat, serta subsidiaritas berupa pelaksanaan kewenangan di tingkat desa, menjadi tereduksi ketika level pemerintahan di atasnya tidak memandang kerja sama desa antar kabupaten/kota ini menjadi sesuatu yang strategis dan menjadi bagian dari upaya percepatan pencapaian tujuan pembangunan desa, kabupaten, provinsi bahkan nasional.   

Epilog: Saatnya Pendekatan Kebijakan

Diperlukan pendekatan kebijakan lebih implementatif dan dapat merangsang inisiasi di tingkat desa dalam mengatur kerja sama antardesa yang berbeda kabupaten/kota. 

Merujuk kepada UU 6/2014 tentang Desa, tujuan pengaturan desa diantaranya untuk mewujudkan Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, bertanggung jawab serta mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat desa guna kesejahteraan bersama.  

Sudah saatnya penyempurnaan Permendagri 97/2017 dan memasukkan mekanisme pengaturan kerjasama antardesa lintas kabupaten/kota, bukan meletakkan pengaturannya dalam regulasi berbeda yang saat ini tidak menyampaikan sedikitpun kata desa. 

Sudah saatnya kerja sama antardesa yang berbeda kabupaten/kota yang diinisiasi Pemerintah Desa, menjadi contoh sehingga dapat merangsang kembali tumbuh kembangnya budaya kerja sama di masyarakat. 

Daftar Pustaka

Sofi Irfan. 2020. Implementasi Padat Karya Tunai Dana Desa untuk Masyarakat Miskin di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Probolinggo. Jurnal Matra Pembaruan: Jurnal Inovasi Kebijakan. Edisi 4 Vol:1. jurnal.kemendagri.go.id/index.php/Mp. Hal: 25-35. DOI: 10.21787/mp.4.1.2020.25-35

https://www.bps.go.id/statictable/2014/02/18/1276/persentase-penduduk-daerah-perkotaan-menurut-provinsi-2010-2035.html

2
0
Oki Oktaviana ◆ Active Writer

Fungsional Peneliti Bappeda Provinsi Banten, dengan bidang riset seputar ekonomi pembangunan.

Oki Oktaviana ◆ Active Writer

Oki Oktaviana ◆ Active Writer

Author

Fungsional Peneliti Bappeda Provinsi Banten, dengan bidang riset seputar ekonomi pembangunan.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post