Refocusing Perencanaan Pembangunan Daerah

by Alfian Rosiadi ◆ Active Writer | Dec 31, 2022 | Birokrasi Efektif-Efisien | 2 comments

Satu abad yang lalu, kita mungkin tak pernah menyangka bahwa kita akan tiba di sebuah era, di mana perubahan berlangsung begitu cepat. Teknologi informasi komunikasi dan internet of things membawa masyarakat di seluruh dunia ke dalam sebuah masa yang disebut sebagai disruption era.

Era di mana tatanan, gaya hidup, dan cara kerja yang lama benar-benar terdisrupsi, terdefinisikan ulang, bahkan mungkin tergilas menjadi sekedar catatan sejarah.

Belum sempat gaya hidup kita terbiasa dengan sempurna akan hadirnya transportasi online, marketplace, dan online shopping, kita dikejutkan lagi dengan pernyataan yang mengatakan bahwa sekarang kita telah sampai pada era baru (lagi) yang dinamai society 5.0, menggantikan Revolusi Industri 4.0. 

Society 5.0 yang pertama kali dicetuskan di Jepang ini lebih mengandalkan manusia sebagai komponen utama dalam pengembangan dan penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Reformasi Birokrasi dan Era Disrupsi

Jika lingkungan eksternal berubah begitu cepat, maka sejatinya dunia birokrasi juga telah memutar roda-roda perubahan sedikit lebih awal. Sejak tahun 1990, mesin penggerak perubahan birokrasi mulai berjalan dengan munculnya paradigma reformasi birokrasi. 

Salah satu paradigma yang terkenal tentu saja adalah New Public Management dengan tokoh-tokohnya Osborne, Hood, dan Gaebbler pada awal tahun 1990-an. 

Tidak berhenti sampai di sini, paradigma reformasi birokrasi terus berkembang, sehingga Denhardt dan Denhardt (2000) membagi sistem birokrasi menjadi 3 (tiga) kelompok besar, yaitu The Old Public Administration (OPA), New Public Management (NPM) dan New Public Service (NPS). 

Dinamika yang runtut, cepat, dan mungkin saling berkontradiksi ini, menunjukkan bahwa dunia birokrasi sendiri sebenarnya juga mengalami sebuah era disrupsi. Sebuah era di mana perubahan yang terjadi tanpa henti dan sulit diprediksi.

Akan tetapi, apakah paradigma reformasi birokrasi ini cukup untuk mengantisipasi era disrupsi yang terus melaju tanpa henti?

Perencanaan adalah Kunci

Layaknya organisasi pada umumnya, manajemen birokrasi tentu mendasarkan aktivitasnya pada sebuah sistem perencanaan, yang sering juga disebut dengan perencanaan pembangunan. 

Adanya berbagai paradigma reformasi birokrasi tentu menjadikan sistem perencanaan pembangunan dipengaruhi masing-masing mazhab birokrasi tadi. Dengan demikian, bagaimanapun juga, keberhasilan implementasi paradigma reformasi birokrasi tergantung bagaimana sistem perencanaan pembangunan bekerja. 

Dalam paradigma birokrasi klasik atau OPA, perencanaan lebih berfokus kepada pengalokasian input dan bagaimana institusi pemerintah mampu menjalankan proses sesuai standar dan target yang telah ditentukan. 

Sementara pada paradigma post-bureaucracy yang lebih modern baik pada NPM maupun NPS, outcome menjadi fokus yang utama dalam sistem perencanaan. 

Lantas, manakah yang saat ini dipergunakan oleh birokrasi kita? Manakah yang lebih layak kita pergunakan?

Karena keterbatasan saya dalam praktik-praktik perencanaan di instansi pusat, maka saya akan menganalogikan hanya pada apa yang sering terjadi pada proses perencanaan di pemerintah daerah. 

Lebih mudahnya, kita dapat membagi pola pikir perencanaan dalam 2 premis utama. Premis pertama adalah, “Kita memiliki sumber daya (atau dana) sekian juta, milyar, triliun, akan kita gunakan untuk apa? Kapan harus selesai?”. 

Sementara pada premis kedua, “Kita ingin mencapai ini (outcome), berapa sumber daya yang kita butuhkan? Bagaimana caranya? Kapan ini bisa kita capai?”. 

Apabila premis pertama yang digunakan, maka fokus kita akan mengarah lebih kepada spending atau yang saya sebut sebagai process and spending oriented

Sementara pada premis kedua, akan mengarahkan kita ke achieving dan akan saya sebut sebagai totally outcome-oriented karena benar-benar mendasarkan pola pikir kepada pencapaian outcome. Sayangnya, yang sering saya temui justru pola pikir pada premis pertama. 

Belajar dari Pandemi, Mewujudkan Perencanaan yang Dinamis

Untuk menjawab pertanyaan, tentang paradigma birokrasi manakah yang lebih baik digunakan sebagai panduan birokrasi kita untuk menghadapi era disrupsi, saya akan memulai dengan sebuah dialog dalam suatu webinar. 

Dalam sebuah sesi webinar, Bapak Susiwijono, Sekretaris Utama Kemenko Perekonomian menyampaikan bahwa pada masa pandemi, perubahan yang terjadi begitu cepat. Refocusing anggaran berkali-kali dilakukan untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam mengatasi pandemi dan segala dampaknya. 

Perencanaan pembangunan, dengan demikian dituntut untuk mampu bergerak lebih cepat, fleksibel dan dinamis, mengingat berbagai asumsi dan strategi-strategi yang telah dirumuskan sebelumnya, bisa jadi tidak dapat dilaksanakan dan dicapai. 

Masih dalam sesi webinar yang sama, disampaikan bahwa mungkin perlu dilakukan restrukturisasi proses perencanaan. Perencanaan yang fleksibel dan dinamis tentu tidak dapat dilakukan pada sebuah tahapan yang terlalu panjang dan terlalu jauh dari tahap pelaksanaan itu sendiri. 

Dokumen perencanaan yang disusun pada tahun n-2, tentu tidak dapat melakukan prediksi yang tepat tentang apa yang akan terjadi di masa pelaksanaan rencana. Dan lagi, proses evaluasi pembangunan yang diharapkan dapat menjadi feedback proses perencanaan tahun berikutnya tidak dapat dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen yang baik. 

Pandemi memang semakin menegaskan bahwa prinsip adapt or die benar-benar harus diterapkan oleh manusia agar mampu bertahan hidup. 

Era disrupsi, paradigma reformasi birokrasi, dan pandemi benar-benar menampar wajah perencanaan pembangunan. Belum sempat suatu program dan kegiatan dieksekusi, refocusing harus segera dilakukan sebagai respons terhadap pandemi. 

Asumsi dan strategi yang telah dirumuskan sebelumnya, tentu sudah tidak dapat digunakan lagi. Oleh karena itu, sistem perencanaan sebaiknya juga segera me-refocusing diri. 

Totally Outcome-oriented

Robins dan Coulter (2013) menyampaikan bahwa perencanaan sebenarnya juga memiliki fungsi untuk meminimalisasi ketidakpastian. Dengan kata lain perencanaan bertindak sebagai antisipator. 

Hal ini tentu tidak dapat dilakukan apabila fokus perencanaan pembangunan masih bertumpu pada pemenuhan proses yang rumit, kompleks, dan memakan waktu serta hanya berpikir tentang bagaimana mengalokasikan sumber daya. 

Fokus perencanaan pembangunan seharusnya berubah menjadi bagaimana mencapai kinerja yang terukur dan bermanfaat, fleksibilitas dalam pelaksanaan, serta memperkaya alternatif strategi untuk menghadapi berbagai model dan kondisi lingkungan eksternal yang sulit diprediksi. 

Pada dasarnya paradigma birokrasi modern, baik NPM maupun NPS, bahkan juga Neo Weberian State, mengedepankan asas kebermanfaatan aktivitas birokrasi serta kemampuan birokrasi untuk bekerja secara cepat, tepat, efektif dan efisien serta adaptable

Birokrasi kita, disebut memang telah menganut sistem birokrasi NPM melalui Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi. 

Tetapi apapun paradigma birokrasi modern yang akan kita pakai, yang lebih penting adalah merubah fokus perencanaan pembangunan kita dari process and spending-oriented menjadi totally outcome-oriented (dengan 3 fokus utama yang saya sampaikan di atas). 

Secara sederhana, hal ini dapat dicapai melalui 4 (empat) langkah. Pertama, membuat hierarki organisasi menjadi lebih datar (Robbins dan Coulter, 2013). Deeselonisasi dapat menjadi faktor pendukung dalam proses ini. 

Kedua, memperpendek rantai kinerja di tahapan outcome. Selama ini level outcome perencanaan di Indonesia (maupun di daerah) cukup panjang, mulai dari outcome program, outcome sasaran dan tujuan perangkat daerah, dan terakhir outcome Sasaran RPJM (belum ditambah pula adanya sub-output yang bahkan membagi output menjadi 2 level). 

Ketiga, memperpendek jangka waktu penyusunan rencana, pada rentang waktu antara penetapan rencana dan pelaksanaan rencana, sehingga para perencana juga dapat memiliki waktu dan sumber data yang cukup untuk memperdalam analisis dan asumsi-asumsi yang dibutuhkan untuk perencanaan periode berikutnya. 

Dan keempat, menetapkan batasan-batasan perubahan. Bisa jadi rencana belanja dapat berubah, strategi dan kebijakan juga dapat berubah, tetapi outcome final, seharusnya tetap.

Selain keempat langkah di atas, saya akan membahas mengenai adanya mispersepsi perencanaan dan penganggaran, perencanaan partisipatif, dan urgensi audit kinerja sebagai kelanjutan dari tulisan ini pada kesempatan lain. 

Epilog:  Fokus Baru Perencanaan Masa Depan

Pada dunia yang sangat dinamis, perencanaan tidak cukup hanya mengandalkan rumusan-rumusan target, indikator, serta strategi dan kebijakan yang diperlukan untuk mencapai sasaran pembangunan tadi dalam sebuah formulir yang kompleks dan kaku. 

Perencanaan dituntut fleksibel dan dinamis terhadap segala perubahan yang terjadi sangat cepat. Proses perencanaan yang terlalu panjang tentu tidak efektif. Perencanaan yang fleksibel, dinamis tapi tetap terarah dan visioner, inilah yang perlu menjadi fokus baru perencanaan di masa depan. 

Ini semua bertujuan agar output perencanaan tidak hanya sekedar menjadi dokumen karena tidak dapat dilaksanakan oleh organisasi-organisasi pemerintah. 

Sebagaimana yang pernah disampaikan mantan wakil presiden bapak Jusuf Kalla, “Pekerjaan yang baik tanpa perencanaan hanya akan jadi sulit, perencanaan yang baik tanpa pelaksanaan hanya akan jadi arsip”.

5
0

ASN Fungsional Perencana. Tanpa Rencana, Mustahil bisa Berkarya.

Alfian Rosiadi ◆ Active Writer

Alfian Rosiadi ◆ Active Writer

Author

ASN Fungsional Perencana. Tanpa Rencana, Mustahil bisa Berkarya.

2 Comments

  1. Avatar

    perencanaan memang sungguh faktor menentukan dalam pencapaian tujuan organisasi, tulisan terkait konsep perencanaan perlu mendapatkan perhatian bagi seluruh pimpinan daerah… perencanaan harus fokus pada tujuan konkret organisasi dengan mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki (learning and growth (istilah BSC)) dan memitigasi risiko atas pencapaian…perencanaan pada pemerintah daerah sangat bergantung pada kebijakan yang diambil oleh Kemendagri, harus ada peran nyata kemendagri, Bappenas, dan kemenkeu dalam meng advokasi pemerintah daerah, mengingat perencanaan saat ini “dipaksa” harus memanfaatkan konsep konsep management dalam pencapaian kinerja diantaranya manajemen kinerja, manajemen organisasi, manajemen SDM, dll, sehingga perencanaan dapat terukur sebagaimana asas SMART, dan tentu saja akan selalu terbuka ruang untuk perbaikan terus menerus (continues improvement)…

    Reply
  2. Avatar

    Tulisan yang peka dengan ekosistem perencanaan dewasa ini. Kita sadar betul bahwa klaim NPM maupun NPS itu ada dalam redaksi visi pemerintah, tapi struktur DNA kita masih terjebak dalam paradigma klasik OPA. Bukti fantastiknya mudah ditemukan, dimana seluruh ongkos pembangunan hanya di ukur dari tingkat serapan output, bukan outcomes. Dalam bahasa pekatnya, habiskan anggaran secepat-cepatnya, bahwa Ia berubah jadi kotoran atau jembatan yang menghubungkan sorga dan neraka, bukan soal. Bisa dipahami mengapa prestasi kita hanya berhenti di kotoran, bukan di jembatan tadi. Trima ksih.

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post