Sebulan lebih telah berlalu sejak pertama kali saya melaksanakan Work From Home (WFH) sesuai instruksi pimpinan tertinggi instansi kami. Hal ini selaras dengan kebijakan Presiden Jokowi (Kompas, 16 Maret 2020) agar kita “Kerja dari rumah, Belajar dari rumah, Ibadah di rumah” dalam rangka menyikapi pandemik COVID-19. WFH menjadi metode bekerja resmi instansi pemerintah yang ditetapkan oleh KemenpanRB, sebagian besar perusahaan swasta, dan menjadi tren secara internasional sebagai pilihan untuk tetap produktif.
Pada praktiknya, tidak semua pegawai bisa melaksanakan WFH. Secara terbatas beberapa pegawai kebagian tugas untuk piket, terutama di beberapa kantor pelayanan dan kantor pengawasan (seperti kantor Bea dan Cukai, Kantor Pajak, Kantor Pos, PLN dan Unit Transmisi dan kantor lain yang beroperasi selama PSBB).
Tentunya jumlahnya sangat minimal, tetapi dedikasi mereka sangat luar biasa memastikan kesinambungan pelayanan kepada masyarakat atau pengguna layanan pada instansi kami. Demikian halnya untuk rekan-rekan yang melaksanakan tugas sebagai garda terdepan menghadapi COVID-19 seperti dokter, perawat, tenaga medis, petugas keamanan, penjaga mini-market, jasa pengiriman serta essential workers lainnya yang bekerja di lapangan. Keep save teman-teman, selamat berjuang dan kiranya selalu terlindungi.
Pengalaman work from home saya
Bekerja dari rumah menjadi pengalaman berharga buat saya. Ada plus minusnya (baca ulasan yang sistematis Trantri Dewayani; Liputan6), tapi sejujurnya bagi saya lebih banyak sisi plusnya. Misalnya, saya tidak lagi harus berdesakan di commuter-line ketika berangkat dan pulang kerja. Bisa memiliki waktu yang banyak dengan dua anak-anak saya yang masih SD dan Pre-school. Overall, saya menikmati menjalankan WFH.
Mungkin karena kondisi yang mendukung, antara lain, saya memiliki ruangan kerja sendiri, dilengkapi laptop dan ekstensi monitor selebar 30 inci yang bisa saya bagi untuk beberapa ruang tampilan. Juga tersedianya aplikasi-aplikasi yang dikembangkan instansi saya sejak tahun lalu untuk melaksanakan tugas sehari-hari perkantoran.
Selain system security jaringan yang terjaga, juga telah teridentifikasi dengan baik Business Continuity Plan (bacaan BCP). Ketepatan juga saya sudah berlangganan paket internet unlimited yang di-bundling dengan beberapa channel buat keluarga sejak lama. Selain itu, mayoritas tim yang bekerja di kantor adalah generasi yang melek teknologi yang sehari-hari familier bekerja dengan menggunakan media sosial.
Di sisi lain, bekerja dari rumah memiliki tantangan tersendiri. Terutama, hilangnya interaksi yang sangat berharga dengan rekan-rekan sejawat di kantor. Suasana bekerja dari rumah memberikan dampak psikologis seolah-olah berjarak dengan profesi sebenarnya.
Saya juga merindukan interaksi informal dengan para kolega misalnya kebiasaan menikmati kopi pagi bersama sambil berbagi cerita ringan. Juga interaksi jokes dan humor di pagi hari yang biasa terjadi di ruangan, semacam building rapport untuk tim.
Bekerja tanpa interaksi langsung secara face-to-face juga dapat memiliki kesulitan yang signifikan. Bahkan ada penjelasan secara scientific-nya (baca The science of why remote meetings don’t feel the same). Misalnya, manusia sudah melakukan komunikasi face-to-face sejak 70.000 tahun lalu, sementara menggunakan tele-conference pun media on-line mungkin baru sekitar 100 tahun (negara berkembang mungkin bahkan baru beberapa dekade).
Sehingga, memahami instruksi dan meneruskan instruksi melalui bahasa tulis pada kolom chat rentan untuk mendistorsi informasi. Narasi yang dipahami sangat tergantung dari pemahaman dan kondisi subjektif penerima pesan.
Pun demikian ketika melakukan video conference (vikon), baik menggunakan zoom atau pun aplikasi lainnya juga tidak semudah berinteraksi langsung. Beberapa ada yang memerlukan penyesuaian pada awalnya. Terbatasnya waktu juga menjadikan komunikasi kurang efektif, selain itu tidak semua bisa berkesempatan untuk berbicara dengan durasi yang tepat.
Secara biaya, terjadi off-set antara pengeluaran transportasi dengan tambahan biaya listrik, biaya komunikasi, dan perlengkapan internet lainnya penunjang WFH. Meskipun THR tidak beserta tunjangan, namun penghasilan tetap gaji dan tunjangan yang masih diberikan full adalah sesuatu yang sangat patut untuk disyukuri.
Terkait biaya komunikasi yang meningkat, beberapa sinisme menyebutkan istilah “fakir-pulsa”, dan saya kurang sependapat. Jika memang dipastikan kebutuhan biaya tersebut dalam rangka efektivitas menjalankan tugas dan sepanjang alokasi anggaran masih tersedia, menurut hemat saya dapat diberikan dengan selektif, efisien (at cost), dan bertanggung jawab terutama untuk kelompok pelaksana dan host vikon.
Demikian juga refocusing dan realokasi biaya lain terutama dalam rangka penanganan pandemi dan dampak COVID-19 baik di tingkat pusat dan daerah selaras dengan kebijakan Kemenkeu.
Tips peningkatan kualitas work from home
Menyikapi plus-minus bekerja dari rumah, berdasarkan pengalaman pribadi lebih dari sebulan terakhir, serta hasil googling topik sejenis dari media on-line, terdapat 9 poin reflektif utama yang menurut saya dapat meningkatkan efektivitas WFH. Secara khusus saya memberikan penekanan pada tips penggunaan fasilitas vikon yang lebih tepat.
1Mengenakan pakaian kerja sesuai jadwal, dapat meningkatkan rasa profesionalisme ketika menjalankan WFH. Kebiasaan itu juga memudahkan bagi keluarga, khususnya anak-anak memahami bahwa kita akan fokus untuk beberapa jam ke depan untuk pekerjaan kantor. Ketika istirahat break misal pukul 10.30-10.45 dan 12.00-13.00 upayakan meluangkan waktu dengan keluarga khususnya anak-anak.
2Ketika menggunakan media vikon, jika jumlah pesertanya sedikit, sebaiknya tidak usah mematikan mikrofon. Biarkan saja menyala, sehingga ketika ada yang menyampaikan pendapat, gagasan atau ide maka respons-respons singkat seperti “Ok”, “Baik..”, “Betul.. betul.. betul..” “Siap!” akan sangat membantu penyaji, atau pembicara untuk menunjukkan respons bahwa peserta sedang aktif mendengarkan.
3Luangkan dan jadwalkan waktu khusus dalam seminggu dengan tim untuk melakukan vikon untuk saling menyapa dan menanyakan kabar tanpa membahas pekerjaan kantor. Misalnya, update kabar-kabar keluarga dan tantangan selama CV di wilayah masing-masing. Dalam konteks budaya timur itu sangat diperlukan untuk mendekatkan yang jauh dan merapatkan yang sudah dekat. Secara psikologis, tim building akan selalu terjaga.
4Ketika melakukan vikon sebaiknya semua bagian wajah peserta dapat terlihat dengan jelas, pencahayaan yang cukup, background yang tidak mengganggu sehingga mimik wajah terlihat lengkap. Hal ini penting bagi pemberi pesan, jika ada respons non-verbal yang kurang memahami dapat segera direspons. Bekerja dengan metode baru dari kebiasaan sehari-hari memang memerlukan penyesuaian yang luar biasa. Beberapa pekerjaan yang dilakukan di kantor saja memerlukan komunikasi yang jelas dan explisit. Ketika bekerja menggunakan media internet, pastikan memberikan instruksi dan respons secara jelas terutama untuk jenis pekerjaan/penugasan baru yang bukan rutin. Jika tidak memahami penugasan segera disampaikan sehingga tidak menimbulkan perbedaan interpretasi penyelesaian pekerjaan.
5Upayakan semua peserta mendapatkan alokasi waktu yang cukup (fair) untuk memberikan masukan, feedback, respons terhadap topik pembicaraan. Karena hal itu merupakan hak peserta, sehingga tidak terjadi dominasi pembicaraan. Jika memang untuk menyampaikan informasi secara searah (one-way) sebaiknya menggunakan email atau fasilitas chat jalur pribadi, hindari menggunakan vikon.
6Ketika melaksanakan team meeting yang terjadwal sebaiknya mempersiapkan catatan terkait hal-hal yang akan diklarifikasi yang disampaikan. Demikian juga ketika mendaptkan informasi sebaiknya dituangkan dalam catatan pribadi meskipun ada fasilitas recording oleh host.
7Ada baiknya hindari perbedaan pendapat (perdebatan) yang terlalu mengkonsumsi banyak waktu. “Sepakat untuk tidak sepakat” adalah norma yang lumrah ketika komunikasi jarak dekat apalagi secara on-line jarak jauh (remote communication). Hambatan komunikasi dapat diselesaikan dengan pembahasan lanjutan dapat dilakukan melalui channel lain atau jalur pribadi.
8Di sela-sela waktu yang tersedia, upayakan membuka diri mempelajari hal-hal yang baru yangmeningkatkan skill dan kebutuhan anda baik dalam berkarir maupun sebagai individu. Atau untuk sekedar mengusir kejenuhan namun memiliki nilai tambah (value added). Saya sendiri meluangkan waktu untuk belajar sketsa, drawing dengan fasilitas aplikasi gratis yang tersedia di internet. Saya juga banyak belajar dari video-video di internet tentang pentingnya psikologi parenting untuk mendidik anak-anak zaman-now. Pasangan saya memanfaatkan waktu untuk bereksperimen membuat kue dan penganan baru yang menjadi kejutan selama Stay at Home.
9Terakhir, tetap bersikap positif dan berimbang antara pekerjaan, peran dalam rumah tangga serta sosial. Perlu sekali menjaga keseimbangan rasa harap dan takut. Partisipasi dalam donasi baik extended-family maupun komunitas bisa menjadi penyeimbang kekhawatiran kita menyikapi krisis akibat pandemik. Selain tentunya berolahraga ringan secara rutin untuk menjaga kebugaran. Saya lebih sering menikmati menggunakan sepeda lipat bersama anak-anak di lingkungan kompleks. Aktivitas ini juga bermanfaat untuk menyalurkan energi di usia yang sangat membutuhkan gerakan-gerakan perkembangan otot dan syaraf motorik mereka.
Epilog
Demikian, refleksi singkat yang dapat saya bagikan dari pengalaman pribadi dan berdasarkan riset kecil-kecilan melalui internet. Menurut saya tips ini penting untuk birokrat tatkala harus menghasilkan kebijakan dan tetap memberikan dukungan layanan kepada masyarakat. Mungkin ada satu dua poin hal baru yang bermanfaat untuk rekan-rekan Birokrat dan pembaca laman Birokrat Menulis.
Sebagaimana semangat komunal Birokrat Menulis, para Birokrat dituntut untuk tetap berkinerja optimal di tengah pandemik. Sehingga, kehadiran “Kinerja itu tidak semata kehadiran tetapi benar-benar kinerja nyata”. Mungkin strategi kolektif pemerintah dan masyarakat kita belum sehebat negara maju (seperti pengalaman Selandia Baru misalnya tulisan terkini salah satu Professional Writer BM Bergman Siahaan), tetapi mari kita memaksimalkan peran kita masing-masing.
Semoga pandemik ini segera berlalu, dan kebiasaan yang baik WFH bisa menjadi budaya yang tidak saja menambah efisiensi belanja negara tetapi juga menciptakan work-life harmony. Kelak setelah pandemic berakhir mungkin saja kita perlu belajar kembali transisi bagaimana sebaiknya Work From Ofice (WFO).
Disclaimer: Melanjutkan catatan Diyan Nur Rakhmah (Satu Bulan Bekerja Di Rumah: Sebuah Catatan Reflektif), tulisan ini fokus untuk memberikan sharing kepada ASN yang berkesempatan melaksanakan WFH di tempat tinggal (home-based). Empati yang luar biasa saya sampaikan kepada rekan-rekan yang melaksanakan WFH di tempat penugasan. Juga empati yang luar biasa untuk rekan-rekan non-PNS, seperti pengusaha maupun profesional lainnya yang pekerjaannya terdampak oleh pandemik ini. Saya percaya, dan saya mengajak kita semua yakin “badai pasti berlalu”.
@Eva
Gak usah baper kali om!
Ambil aje hikmahnye
Itu versi ente yang sudah mapan om bagaimana di daerah pelosok sinyal dak jelas ruang rumah tidak semapan ruang ente juga ruang kerja kantor harap maklum bos ini indonesiana