
Di era sekarang ini, paradigma pembahasan tentang hubungan manusia dengan lingkungan tidak lagi cukup dibahas sebagai masalah etika atau estetika semata.
Krisis iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, dan kerusakan ekosistem
telah mengubah paradigma pembahasan itu ke ranah eksistensial, di mana kita manusia sebagai spesies yang dominan mesti menata ulang posisi, tanggung jawab,
dan praktik kita terhadap lingkungan agar kelangsungan hidup generasi mendatang
masih dapat dipertahankan.
Tulisan ini merupakan sebuah opini yang mencoba melihat kembali bagaimana relasi antara manusia dengan lingkungan itu.
Lingkungan dan Kerusakan Alam
Lingkungan adalah salah satu unsur bagi kelangsungan hidup bagi makhluk hidup. Apabila lingkungan tidak ada maka manusia, hewan, dan tumbuhan tidak dapat bertahan hidup.
Lingkungan seharusnya menjadi tempat tinggal bagi semua makhluk hidup yang ada di bumi, termasuk manusia, hewan, dan tumbuhan yang harus kita jaga ekosistemnya. Namun, saat ini lingkungan tersebut tidak lagi menjadi tempat tinggal yang aman dan nyaman bagi makhluk hidup.
Kerusakan lingkungan semakin hari semakin parah, kondisi tersebut telah mengancam kehidupan makhluk hidup. Kerusakan tersebut dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu akibat peristiwa alam dan akibat ulah manusia.
Banjir, tanah longsor, gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi merupakan beberapa contoh peristiwa alam yang mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup. Jika ditelaah lebih lanjut, peristiwa alam seperti banjir, tanah longsor bisa saja terjadi akibat adanya campur tangan manusia.
Kerusakan yang disebabkan oleh peristiwa alam ini dengan adanya campur tangan manusia justru lebih besar dibanding kerusakan akibat peristiwa alam itu sendiri. Potensi kerusakan dapat meningkat akibat campur tangan manusia yang terjadi secara berkelanjutan dan terus menerus.
Kerusakan ini umumnya disebabkan oleh aktifitas manusia yang tidak ramah lingkungan seperti perusakan hutan (deforestasi) dan alih fungsi hutan, pertambangan, pencemaran udara, air, dan tanah.
Kerusakan-kerusakan yang Terjadi
Laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) yang dirangkum secara sistematis menyatakan bahwa pengaruh manusia telah menjadi penyebab utama perubahan aktivitas peristiwa alam mulai dari peningkatan suhu global hingga frekuensi dan intensitas peristiwa cuaca ekstrem.
Data FAO juga menunjukkan bahwa antara tahun 2015-2020 dunia kehilangan sebesar 10 juta hektar hutan setiap tahun, angka yang besar dan berdampak luas pada keberlanjutan ketahanan ekosistem lingkungan hidup.
Pernyataan ini mengubah cara pandang kita melihat “alam” bukan hanya sekedar benda pasif yang menanggung segala akibat, melainkan sebagai sistem dinamis yang terhubung erat dengan tindakan manusia dan responsnya.
Dalam konteks Indonesia, peran hutan pada perekonomian dan budaya lokal
menjadi isu yang semakin kompleks secara sosial politik. Berbicara tentang Indonesia, negara kepulauan ini masih memiliki proporsi tutupan hutan yang signifikan,
namun menghadapi tekanan dari konversi lahan, kebakaran lahan, dan pembangunan yang mempercepat degradasi ekosistem.
Di sisi lain, Indonesia sebenarnya telah menetapkan target pengurangan dan strategi transisi menuju ekonomi hijau (termasuk target Net Zero Emmision jangka panjang), tetapi implementasinya bergantung kepada kebijakan sektoral, tata kelola lahan, dan insentif ekonomi yang jelas.
Dengan kata lain, kapasitas negara untuk menyeimbangkan pembangunan ekonomi dan perlindungan ekologis menjadi kunci.
Peringatan Keras dari Aceh, Sumut dan Sumbar
Pada akhir November 2025 sampai awal Desember 2025 kita melihat bagaimana alam menyajikan peringatan keras yang tak bisa lagi kita abaikan.
Gelombang banjir bandang dan tanah longsor yang menerjang pulau Sumatera terutama Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah menelan ratusan korban jiwa, ratusan ribu orang mengungsi, melumpuhkan infrastruktur serta mata pencaharian lokal.
Tidak hanya itu, makhluk hidup lainnya seperti binatang bahkan terkena dampak, kehilangan habitat asli bahkan sampai mengalami kematian.
Peristiwa ini bukan hanya sekedar statistik bencana meteorologi, melainkan titik balik refleksi tentang bagaimana tindakan manusia, kebijakan pembangunan, dan pengelolaan lingkungan berkontribusi pada besarnya korban dan kerusakan yang terjadi.
Sudut pandang ilmu pengetahuan melihat bahwa peristiwa ekstrem ini dipicu oleh hujan lebat yang dipadukan dengan anomali cuaca termasuk peran sebuah siklon tropis yang terbentuk sangat dekat dengan garis khatulistiwa disebut juga dengan siklon tropis senyar.
Peristiwa ini membuat sungai-sungai cepat meluap dan lereng-lereng yang rentan longsor runtuh menyeret rumah, jalan, jembatan, dan infrastruktur lainnya. Namun, untuk memahami mengapa peristiwa ini berubah menjadi bencana berskala besar kita perlu melihatnya dalam konteks ekologi dan tata guna lahan.
Pola deforestasi, konversi lahan pertanian dan perkebunan, pengerukan dan pembangunan infrastruktur di daerah hulu, serta degradasi lahan gambut telah mengurangi kemampuan lanskap menahan air dan menstabilkan lereng.
Banyak pengamat dan warga menyatakan bahwa kayu-kayu besar yang terbawa banjir dan bukti kerusakan hulu mengindikasikan peran kuat kerusakan ekosistem dalam memperparah dampak bencana ini.
Refleksi Ulang Ekologis
Kerusakan ekologis tidak hanya menghilangkan keindahan alam atau porensi ekonomi jangka panjang namun dapat memperbesar risiko langsung terhadap nyawa manusia.
Saat hutan di hulu ditebang, kemampuan tanah menyerap air menjadi menurun sehingga sistem akar dan pencegahan alami menjadi terganggu, air yang semestinya diserap dan debit air berkurang justru menjadi aliran deras yang menghantam pemukiman di hilir.
Bencana alam ini menunjukkan kelemahan tata kelola ekologis, meski ada aturan zonasi, izin konversi, dan program konservasi, namun pelaksanaannya seringkali terfragmentasi di antara kepentingan ekonomi jangka pendek seperti perluasan perkebunan sawit, pertambangan, dan proyek infrastruktur besar.
Refleksi ekologis menuntut penafsiran ulang relasi antara manusia dengan alam. Bagaimana cara menafsir ulang relasi manusia dengan alam agar tidak hanya sekedar menunda kerusakan, tetapi benar-benar memulihkan hubungan yang berkelanjutan? Ada beberapa tindakan yang dapa kita lakukan untuk merefleksikan ini.
- Pertama, mengubah paradigma dominasi menuju paradigma ketergantungan dan kerjasama. Kebiasaan saat ini sering menganggap alam sebagai sumber daya yang tak terbatas untuk dimanfaatkan, sebuah pandangan yang memberi legitimasi pada eksploitasi intensif.
Paradigma yang baru harus mengakui ketergantungan manusia pada fungsi ekosistem. Pergeseran paradigm aini menuntut perubahan pada instrumen kebijakan seperti penetapan kawasan konservasi, pajak karbon, pembatasan konversi lahan, restorasi pegunungan dan lahan terdegradasi, serta program reboisasi berbasis komunitas.
- Kedua, menerapkan prinsip keadilan ekologis. Dampak lingkungan paling berat selalu dirasakan oleh komunitas lokal dan terpinggirkan, sementara keuntungan jangka pendek didapatkan oleh aktor-aktor berdasi. Dalam konteks Indonesia, masyarakat adat kerap menjadi garda terdepan yang mendapatkan dampak deforestasi. Keadilan ekologis menuntut kebijakan redistributif seperti pengakuan ha katas tanah dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan.
- Ketiga, memperkaya kapital sosial-ekologis melalui restorasi dan rekonstruksi lokal. Restorasi ekosistem (reforestasi berbasis komunitas, restorasi mangrove, rehabilitasi lahan gambut) bukan hanya tindakan teknis; bila dilakukan inklusif, ia dapat memperkuat mata pencaharian lokal, menyimpan karbon, dan merevitalisasi fungsi ekologis.
Mengubah Cara Pandang
Menafsir ulang relasi manusia dan alam berarti mengubah cara kita berpikir – dari melihat alam sebagai latar belakang pasif menjadi memahami alam sebagai mitra dinamis yang menentukan masa depan manusia.
Banjir dan longsor di Sumatera akhir November – awal Desember 2025 adalah cermin tajam yang mengingatkan kembali segala keputusan kolektif yang telah kita buat terhadap lingkungan dan sesama manusia.
Hal ini menuntut keberanian politik, kebijakan berbasis bukti, dan transformasi nilai kolektif.
Ini bukan hanya persoalan teknis yang dapat diselesaikan oleh pompa dan beton; tetapi ini adalah persoalan relasi bagaimana kita mengatur penggunaan tanah, bagaimana kita menghargai fungsi-fungsi hidup yang diberikan ekosistem, dan bagaimana kita menegakkan keadilan bagi mereka yang paling rentan.
Menafsir ulang relasi manusia dan alam berarti mengakui bahwa keselamatan manusia bergantung pada kesehatan ekologis. Maka tindakan pencegahan berbasis ekologis, penegakan hukum lingkungan, pemulihan hulu, dan inklusi sosial bukanlah opsi moral semata; mereka adalah syarat minimum agar tragedi serupa tidak lagi menjadi cara kita belajar.
Jika Pelajaran ini diabaikan, kia hanya menunda kecelakaan besar berikutnya. Jika diambil, bencana ini bisa menjadi katalis perubahan, ukurannya adalah apakah kita memiliki keberanian politik dan kolektif untuk bertindak.














0 Comments