Refleksi Generasi Pertama
Kumandang adzan maghrib mengiringi laju kereta Senja Utama dari Stasiun Balapan dengan tujuan terakhir Stasiun Pasar Senen Jakarta, kira-kira tiga puluh tahun yang lalu. Di sana lah aku berada. Setelah pengumuman kelulusan sekolah menengah atas (SMA) – dengan bermodalkan restu ibu dan bapak – aku mencoba peruntungan mendaftar di sebuah perguruan tinggi di ibukota.
Kampus itu bernama STAN, kependekan dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, milik Kementerian Keuangan. Sekolah kedinasan yang mencetak para aparatur dan abdi negara yang nantinya ditugaskan di seluruh penjuru nusantara.
Pembentukan Jiwa Pengabdian
Jiwa pengabdian orang tuaku sebagai pegawai negeri sipil (PNS) pendidik di sekolah dasar rupanya mengalir ke diriku. “Melanjutkan semangat pengabdian kedua orang tua”, jawaban itulah yang aku sampaikan pada saat tes wawancara untuk menjadi calon mahasiswa STAN. Alhamdulillah, membawa berkah sehingga aku akhirnya diterima sebagai mahasiswa STAN pada tahun 1990.
Di tengah ancaman hantu “Drop Out” aku berhasil lolos pada setiap tahapan. Semester demi semester terlewati hingga aku berhasil menamatkan pendidikan Ajun Akuntan. Setelah 2 tahun praktek kerja, nasib baik berpihak padaku. Aku lolos seleksi masuk Diploma IV (D-IV) dan menjalani pendidikan 2 tahun berikutnya untuk meraih gelar Akuntan.
Berbekal semangat Garuda di Dadaku, pengabdian tidak boleh berhenti karena ruang dan waktu. Kata- kata tersebut menghipnotis serta mengiringi setiap langkahku dalam menunaikan tugas selaku ASN.
Satu surat keputusan atau SK, disambung dengan SK-SK lainnya, berisi pengangkatan sebagai auditor, kenaikan pangkat dan mutasi ke berbagai daerah telah aku jalani lebih dari 12 tahun lamanya.
Di tengah kebanggaanku sebagai auditor dalam mengemban tugas di bidang “Assurance dan Consulting“, pimpinan memberiku amanah tugas baru yang lebih besar. Aku diberi tanggung jawab sebagai struktural pengelola keuangan. Dalam melaksanakan penugasan tersebut, berbagai tantangan dapat kuatasi. Perlahan aku menjawab sebuah pertanyaanku sendiri,
“Rasa pengabdian itu seperti apa?”
Ah, terlalu panjang untuk menceritakan kepada kalian, tentang bagaimana rasanya pengabdian. Yang jelas bisa kuceritakan ialah bahwa seringkali pengabdian itu bermakna harus keluar dari comfort zone atau zona kenyamanan.
Kesempatan Menikmati “Indomie Nusantara”
Seperti halnya berganti jenis ragam penugasan maupun berpindah ke tempat tugas yang baru, perlu ekstra energi untuk terus belajar mengenal lingkungan pekerjaan baru yang sangat dinamis. Terkadang, penugasan ini mengharuskanku berpisah dengan keluarga. Namun selalu ada kesempatan menikmati setiap menu “Indomie Rasa Nusantara”.
Sebuah contoh nyata pengabdian dalam tugas sebagai struktural itu terasa pada saat gempa 30 September 2009 di Sumatera Barat. Di tengah kegundahan para pegawai yang tidak bisa bekerja karena kantor telah runtuh, kami para punggawa harus berpikir keras untuk mengatasi kondisi yang ada.
Alhamdulillah, atas arahan pimpinan, dengan berbagai jalan kami pun bisa merombak rumah dinas menjadi kantor darurat sehingga pelaksanaan tupoksi tidak terhenti. Itulah jiwa pengabdian sejati – bahwa stake holder lebih membutuhkan layanan kita di tengah kondisi darurat pasca gempa.
Tanpa terasa kini sudah lebih dari 10 tahun melaksanakan tugas di jabatan struktural. Berbagai kuliner di beberapa daerah sudah pernah kunikmati. Apa yang sudah dijalani adalah berorientasi pengabdian dan memenuhi pesan orang tua agar tetap “Eling lan Waspodo“. Eling adalah ingat kepada Yang Maha Kuasa dan Waspada adalah berhati-hati dalam bekerja.
Refleksi Generasi Kedua, Surat Resign dari Si Milenial
Aku terhenyak mendapati sebuah surat permohonan untuk resign dari Satrio, seorang milenial di kantorku. Tak lama, surat itu kukirimkan kembali padanya melalui WA sebagai bentuk klarifikasi. Sungguh mengagetkan, mengingat kabar terakhir Satrio bermohon izin hanya untuk cuti mendampingi istri di Kota Bakwan.
Sesekali kulihat apakah pesan WA itu sudah dibacanya. Sebagai pejabat yang berwenang mengelola kepegawaian di kantorku, berita macam ini memang sedikit memunculkan kekhawatiran. Pesan WA itu rupaya sengaja tak dibukanya, tetapi pada akhirnya kami bertemu ba’da sholat dhuhur di masjid kantor.
Maka kemudian sebuah obrolan serius tapi santai kujalani dengan Satrio. Suasanyanya pas, di sebuah saung di samping kantin ditemani secangkir kopi Toraja. Aku mulai menggali informasi lebih detail terkait surat resign yang diajukan Satrio.
Cerita lengkapnya dimulai saat Satrio mengikuti sebuah pendidikan dan pelatihan (Diklat) Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) di Bogor beberapa waktu yang lalu. Satrio berada satu kelas dengan teman baru dari unit kerja lain. Mereka ngobrol-ngobrol hingga akhirnya Satrio memperoleh tawaran untuk pindah kerja di Bagian Teknologi Informasi sebuah perusahaan holding perdagangan yang berkantor pusat di Jakarta.
Tawaran pekerjaan ini cukup menggiurkan. Gaji yang ditawarkan mendekati angka Rp20 juta perbulan, 3 kali lipat dari penghasilan yang diterima Satrio saat ini. Harus diakui memang bahwa selain penghasilannya jauh lebih kecil, pekerjaannya saat ini mengharuskan Satrio siap dimutasi atau berpindah-pindah tempat di seluruh Indonesia.
Berbekal argumentasi itu dan keinginan untuk pengembangan karir lebih optimal di tempat bekerja yang baru, pada akhirnya Satrio memutuskan untuk menerima tawaran tersebut. Ceritapun mengalir, keinginan untuk resign yang semula hanya spontan pada akhirnya menantangnya sebagai seorang milenial berbekal potensi keahlian dan usia yang masih fresh di dunia kerja. Uji nyali, katanya.
Masa percobaan kerja berlangsung selama 3 bulan. Satu bulan pertama sudah dijalaninya. Rupanya pengalaman awal ini semakin memantapkan langkah Satrio untuk resign dari ASN. Meskipun satu bulan percobaan tersebut hanya memanfaatkan surat cuti mendampingi istri melahirkan.
Aku cukup terkaget juga dengan kenekadan Satrio. Peristiwa itu begitu cepat terjadi dan tidak terinfokan bagaimana kondisi sebenarnya. Yang kupahami, pertimbangan atasan ketika menyetujui cuti karena alasan (kemanusiaan) mendampingi istri yang melahirkan bayi kembar ternyata tidak akuntabel.
Aku terkaget lagi dengan prospek imbalan take home pay yang relatif cukup besar telah menantinya di liuar sana. Take home sebesar itu melebihi penghasilan ASN yang mempunyai masa kerja lebih dari 27 tahun. Sedangkan saat ini masa kerja Satrio baru berkisar 5 tahun.
Resign adalah One Way Ticket yang Tak Bisa Dibatalkan
Secara normatif aku memberikan nasehat agar Satrio memikirkan secara matang risiko mendatang atas keputusan resign itu. Keputusan ini seperti halnya beli tiket “one way” untuk sebuah perjalanan hidup yang tidak mungkin bisa diralat lagi setelah adanya Surat Keputusan.
Pertanyaanku selanjutnya, apakah keputusan tersebut sudah mendapat restu orang tua? Terakhir, aku menasehati Satrio agar mengikuti proses resign sesuai dengan prosedur instansi, yaitu untuk tetap aktif berkantor sampai dengan permohonan diproses di kantor pusat dan terbit surat keputusan resmi.
Kekagetanku pada keputusan Satrio kemudian juga mendorongku mencoba menganalis etos kerja dan ekspektasi gen milenial dengan pendekatan zaman di mana generasi kami hidup, khususnya masa muda masing-masing. Perbedaan zaman inilah yang menyebabkan keputusan kami berbeda atas dua hal: ketetapan hati untuk menjadi ASN dan ketetapan hati untuk bertahan sebagai ASN atau justru mengundurkan diri (resign).
Bagiku periode tahun 90-an ketika sedang awal masa kuliah, aku adalah “Generasi Wesel”. Generasi di mana mahasiswa harus menanti kiriman uang lewat wesel yang hanya bisa dicairkan di kantor pos. Uang itu lalu masuk dompet dan dijajakan dengan beberapa pilihan: makan sambil nongkrong di warung, membeli buku bekas di Pasar Senen, membeli tiket di biro perjalanan, atau membeli baju di pasar Blok M.
Sedangkan Gen Millenial hidup di jaman e-Money. Kiriman uang dari orang tua diberikan lewat transfer rekening. Order makanan dilakukan lewat Go-food, membeli tiket trasportasi lewat Traveloka, membeli baju lewat Shopee, membeli buku lewat toko online. Semua serba online, serba praktis. Tak mengherankan jika generasi ini tidak cukup tahan atau telaten menjalani proses yang cukup rumit.
“Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian.
Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian”.
Menurut pengamatanku, pepatah tersebut tidak lagi berlaku di Zaman Now, zamannya generasi millenial. Prinsip dasar ASN pengabdian pada negara sudah bergeser menjadi filosofi tentang passion. Mereka, gen milenial, hidup di zaman edan, zaman yang menggembar-gemborkan comfort zone.
Epilog
Perbedaan zaman antara generasi wesel dengan generasi e-Banking tentunya berdampak pada orientasi dan lifestyle. Jika generasi wesel berorientasi pada pengabdian dan cenderung “Nrimo ing pandum” tanpa menghitung seberapa besar penghasilan akan diterima, yang penting cukup untuk hidup dengan pola sederhana.
Maka gen milenial berbeda orientasinya. Milenial lebih ingin “menikmati hidup” pada posisi comfort zone. Bentuknya ialah dengan modern lifestyle, traveling dan kuliner. Padahal upaya-upaya aktualisasi diri ini tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Pada akhirnya, kepada gen milenial yang masih tetap memilih bertahan sebagai punggawa ASN, aku ingin berpesan. Bahwa untuk mendukung lifestyle kalian tentunya harus dipikirkan usaha sampingan selain pekerjaan kantoran.
Akan tetapi, jangan lupa bahwa anda telah berjanji mengabdi pada negeri ini. Kalau generasiku boleh mengajari, ingin kukatakan, “Sesulit apapun keadaannya tetaplah berusaha menjadi ASN yang profesional dan berintegritas”.
Salam Kolonial!
Kepala Bagian Tata Usaha di Perwakilan BPKP Provinsi Sulawesi Selatan
Bener pak, kalo lihat gaya hidup anak milenial skrg, prihatin sy. Semua dilakukan justru demi uang krn gaya hidup perlu sumber pendanaan. Itulah sebabnya orientasi dan performa jd berbeda.