Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan: Realitas Pinggiran dan Pejabat Superman

by | Aug 15, 2025 | Bangkit, Birokrasi Berdaya | 1 comment

Menjelang HUT Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ke 80, muncul sebuah berita dari Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, tentang seorang bidan yang rela mengambil risiko untuk menyelamatkan pasiennya.

Dona Lubis, seorang bidan berusia 46 tahun,
menjadi viral di media sosial setelah mengarungi Sungai Batang Pasaman untuk
mencapai pasien tuberkulosis di Kejorongan Sinuangon, Nagari Cubadak Barat,
Kecamatan Dua Koto, Pasaman.

Kisah heroik ini bermula ketika jembatan yang menghubungkan antara dua wilayah terputus, membuat Dona Lubis harus mencari alternatif untuk mencapai pasiennya.

Dengan keberanian dan dedikasi yang tinggi, ia memutuskan untuk mengarungi sungai yang cukup deras untuk memberikan perawatan medis kepada pasien tuberkulosis. Alasan kuat untuk menyelamatkan pasien tampaknya menjadi motivasi utama bagi Dona Lubis untuk bertaruh nyawa menyebrangi sungai arus deras.

Berita ini menjadi viral dan mendapatkan perhatian luas di media sosial. Banyak netizen yang mengapresiasi keberanian dan dedikasi Dona Lubis sebagai bidan.

Namun di sisi lain, berita ini juga menjadi ironi yang sangat dalam. Betapa tidak, di usia Republik yang akan menginjak 80 tahun, di tengah hingar bingar kemajuan teknologi yang dibingkai dalam Artificial Intelligence (AI), ternyata masih banyak wilayah di Indonesia yang sebenarnya sedemikian terisolir dan belum terjamah oleh infrastruktur yang mumpuni.

Lebih mencengangkan lagi, kejadian ini bukan di Timur Indonesia, yang memang selama ini selalu merasakan ketimpangan. Bukan pula di Kalimantan, yang tanahnya banyak dikuasai oleh konglomerat, namun masyarakat pedalamannya tetap terbelakang dan melarat.

Justru peristiwa ini terjadi di Sumatera, yang selama ini dianggap sebagai wilayah yang telah menikmati pembangunan, setelah Pulau Jawa. 

Pulau Sumatera memiliki kekayaan alam dan posisi strategis di Selat Malaka. Selain itu, karena jumlah penduduknya banyak, maka memiliki Daerah Pemilihan yang banyak, sehingga mengirimkan perwakilan yang banyak pula di DPR.

Maka secara teori, sah-sah saja jika wilayah Sumatera dianggap telah maju, meskipun faktanya tidak demikian. Masyarakat  Kecamatan Duo Koto telah membuktikannya kepada kita.

Sejarah Kerajaan Sontang

Padahal jika menelusuri sejarah, wilayah tersebut sebenarnya bukan tanah kosong yang baru ditempati oleh manusia. Sejak abad ke 13, telah berdiri sebuah kerajaan di sana. Kerajaan ini bernama kerajaan Sontang dan masih memiliki pewaris yang hidup sampai sekarang.

Menurut legenda, mereka merupakan orang yang bermigrasi dari Tanah Mandailing di Utara. Namun berkat kelihaian diplomasi, mereka diterima oleh masyarakat Minangkabau, yang dibuktikan melalui pengakuan pertalian darah dengan Raja Pagaruyung.

Posisi strategis ini menjadikan Kerajaan Sontang sebagai perlintasan perdagangan antara Tanah Mandailing dan Negeri Minangkabau. Maka tidak heran, Kerajaan Sontang merupakan negeri yang makmur pada zamannya.

Hal ini turut menarik orang-orang untuk bermigrasi ke wilayah tersebut. Bahkan ketika terjadi Perang Padri, Kerajaan Sontang menjadi tempat strategis incaran Belanda.

Dengan dinamika yang demikian berkembang, sedari awal masyarakat di Kerajaan Sontang telah memiliki semangat anti kolonialisme yang tinggi. Bahkan Raja Sontang ke 7, memindahkan pusat kerajaannya ke daerah yang lebih strategis, guna menyusun kekuatan melawan Belanda.

Sementara itu, penerusnya yaitu Raja Sontang 8 bahkan membangun aliansi dengan Kerajaan Aceh untuk menghadapi penjajah. Selain itu, ia juga mengirimkan anak-anaknya belajar ke pusat-pusat pengetahuan agama Islam. Tujuan jangka panjangnya untuk membangun kekuatan bersama melawan kolonial (Arwin:1997).

Salah seorang dari anaknya itu, yaitu Muhammad Syarif, kemudian menjadi Qadi (Hakim Agung) di Kesultanan Deli. Pada tahun 1930an, beliau turut andil dalam organisasi Al Jam’iyatul Washliyah.

Dukungan pada Berdirinya Republik Indonesia

Organisasi ini merupakan corong rakyat keresidenan Sumatera Timur dalam melawan penjajah Belanda. Ketika tahun 1949 berdiri Negara Sumatera Timur yang merupakan boneka Belanda, maka Al Washliyah adalah salah satu penentangnya.

Al Washliyah tetap teguh mendukung Republik Indonesia dan turut mendirikan laskar perjuangan yang berpusat di Tebing Tinggi (Saragih:2016).

Setelah kabar proklamasi kemerdekaan sampai di Sumatera, maka Ahmad Dahlan, yang saat itu menjabat sebagai Raja Sontang ke 11, menyatakan dukungannya kepada Pemerintah Republik Indonesia di Jakarta.

Beliau bersama dengan tokoh-tokoh di Kabupaten Pasaman, kemudian mendirikan pemerintahan darurat untuk menjalankan roda pemerintah RI yang masih terblokade di Jakarta. Tugas mempertahankan kemerdekaan ini semakin berat, karena pada tahun 1948 Belanda berhasil menangkap pucuk pimpinan Republik yang memaksa pemerintah RI mengungsi ke Bukittinggi. 

Jadi bukan hanya Kesultanan Yogyakarta saja
yang mendukung berdirinya Republik di awal kemerdekaan. Banyak yang turut berperan bahkan menyumbangkan harta untuk keperluan perjuangan. Namun ini semua seakan hilang karena pemerintah selalu memandang permasalahan dengan “kacamata Jakarta”.

Melupakan Sumbangsih Daerah terhadap Berdirinya Negara

Sudut pandang “kacamata Jakarta” mengakibatkan banyak daerah tetap terpinggirkan walaupun otonomi daerah sudah ditetapkan. Karena paradigma yang tertanam tetap menerapkan pola mandala yang mengutamakan ibukota daripada daerah lainnya (Tambiah:2013).

Kembali ke masyarakat di Kecamatan Dua Koto, Pasaman, yang sebenarnya mengalami double peminggiran. Pertama, karena ia berada di Kabupaten yang jauh dari ibukota Provinsi. Kedua, posisinya juga jauh dari ibukota kabupaten.

Maka, tidak heran posisi ini menyebabkan masyarakat di sana terpinggirkan dan terlupakan dari program pembangunan. Belum lagi secara kultural, masyarakat di sana merasa sebagai warga kelas dua dan menganggap diri inferior karena bukan merupakan suku yang mayoritas di Sumatera Barat.

Permasalahan seperti ini bukan hanya terjadi di Kecamatan Dua Koto saja, namun juga di banyak tempat lain di Indonesia. Ada begitu banyak daerah yang belum tersentuh pembangunan karena jauh dari ibukota kabupaten.

Selain itu banyak juga wilayah yang ibukotanya tidak berada tepat di tengah, sehingga menimbulkan kesenjangan pembangunan. Sebagai contoh Sumatera Utara dengan ibukotanya Medan yang terletak jauh di utara dan lebih dekat ke perbatasan Aceh.

Hal ini menimbulkan ketidakpuasan bagi masyarakat sehingga muncullah usulan pemekaran menjadi 5 provinsi.

Ketimpangan Pembangunan dan Sentralisasi Birokrasi

Selain permasalahan ketimpangan pembangunan, secara birokrasi juga terdapat kesenjangan pada pemerintah daerah. Untuk mengurus masyarakat satu kabupaten yang mencapai ratusan ribu jiwa, hanya ada 2 orang pejabat eselon II.a.

Padahal, dalam satu universitas saja, yang kita asumsikan seluruhnya rata memiiliki jumlah mahasiswa 50.000,  minimal ada 3 orang pejabat eselon II.a. Faktanya, di tingkat Provinsi di seluruh Indonesia, tidak ada eselon I.a.

Bandingkan dengan Ibu Kota, yang di dalamnya bermukim tidak kurang dari 200 orang pejabat eselon I.a. Ketimpangan ini sangat jelas sekali dan menyebabkan roda birokrasi tidak berjalan efektif. Ibarat tombak, hanya pangkalnya saja yang kuat, sedangkan ujungnya lemah tidak berdaya.

Sentralisasi birokrasi dan pemerintahan seperti ini
pada akhirnya justru memunculkan pejabat yang bermental “Superman”.
Para pejabat ini mencitrakan dirinya sebagai orang yang mampu menyelesaikan
seluruh permasalahan.

Biasanya dengan menempuh pencitraan yang canggih, video-video konten, atau setidak-tidaknya memajang foto raksasa dalam setiap kegiatan pemerintah. Jika dipikir-pikir, apa urgensinya memasang foto pejabat pada backdrop, spanduk dan baliho? Selain sebagai bentuk klaim pribadi atas kinerja tim, dan hanya menghamburkan anggaran.

Penghamburan anggaran juga dengan membuat aplikasi, yang digadang-gadang dapat menyelesaikan permasalahan pemerintahan. Tetapi yang terjadi, tambah hari makin banyak aplikasi dan masalah justru bertambah.

Pola pemerintahan seperti ini menunjukkan belum terbangunnya sistem yang baik, karena masih menekankan pada persona pribadi. Dalam sistem pengawasan misalnya, sudah terlalu banyak “pengawas” namun tetap saja korupsi merajalela.

Mulai dari Inspektorat sebagai pengawas internal pemerintah daerah, BPKP dan BPK di bidang keuangan negara, Ombudsman sebagai pengawas administrasi pelayanan, hingga Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK yang merupakan aparat penegak hukum (APH).

Malah yang terjadi sebaliknya. Terdapat pameo bahwa para pejabat eselon memang harus korupsi agar memiliki uang untuk menyuap APH, supaya kasus korupsinya tidak dibongkar.

Merefleksi Cita-cita Pendiri Republik

Maka, menginjak usia 80 tahun ini, sudah saatnya kita melakukan refleksi, apakah memang kita masih berada pada cita-cita pendiri Republik.

Harus diingat, bahwa Indonesia merupakan kesadaran kolektif suatu bangsa yang terjajah untuk mencapai cita-cita luhur kemerdekaan. Di dalam imaji mengenai Republik, terdapat harapan-harapan rasional para pejuang, untuk kehidupan generasi penerus yang lebih baik.

Indonesia bukanlah gagasan satu orang, bukan pula hasil pemikiran Bung Karno semata. Sebagaimana dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mengingatkan:

Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Van Eck buat indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, – semua buat semua!”.

Oleh karena itu wahai para pejabat, utamanya pejabat publik pembuat kebijakan dan pengemban hajat hidup orang banyak, berhentilah hidup dalam fantasi. Engkau bukan Superman yang bisa bekerja 24 jam, demikian pula dengan stafmu.

Kita semua tahu hanya penyabu yang tidak tidur berhari-hari. Bekerjalah secara profesional dan proporsional, dan jangan hanya mengeluarkan statement yang memusingkan rakyat. Bertindaklah secara rasional dan jangan terlalu banyak pencitraan.

Sederhanalah dan jangan menuntut fasilitas mewah dari uang rakyat. Toh kamu telah mendapatkan tunjangan yang besar, padahal yang kerja adalah para stafmu. Mereka bergadang demi ambisi politikmu yang kelewat tinggi. Sementara kamu sibuk acara sana sini, kegiatan ini itu tapi rakyat tetap menjerit.

Penuhilah infrastuktur mendasar dan jangan berangan-angan dengan AI. Bangunlah sistem yang baik dan jangan hanya mengandalkan aplikasi. Cerdaskanlah rakyat dan jangan takut kalau mereka cerdas.

Negara ini bukanlah tanah kosong yang bisa dikuasai sesuka hati oligarki. Rakyat telah lama memiliki tanah sebelum negara ini berdiri. Republik ini bukanlah kerajaan yang bisa diwariskan seenaknya kepada anakmu yang berlagak pangeran.

Negara ini dibangun di atas pengorbanan para pejuang demi cita-cita yang mulia. Agar kelak generasi penerus terbebas dari belenggu kebodohan, kemiskinan, kesengsaraan, dan penindasan. Di saat itulah baru tercapai kemerdekaan yang sejati.

Merdeka!!!

10
0
Muhammad Abduh Nasution Mukhtirulilmi ◆ Active and Poetry Writer

Muhammad Abduh Nasution Mukhtirulilmi ◆ Active and Poetry Writer

Author

Jejaka yang bekerja sebagai PNS pada salah satu instansi pemerintah.

1 Comment

  1. Avatar

    Lantas pejabat Batman itu yang bagaimana pula? 😄

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post