Alkisah suatu malam, seorang maling menyelinap ke sebuah rumah dan membawa kabur uang tunai sebesar seratus juta rupiah. Namun dalam prosesnya, ia merusak pintu, menjebol plafon, bahkan tak sengaja membakar mobil.
Kerugian totalnya, menurut taksiran lembaga berwenang, mencapai satu miliar rupiah—sepuluh kali lipat dari uang yang dicuri. Seminggu kemudian maling tertangkap, diadili, dan dijatuhi hukuman untuk mengganti seluruh kerugian.
Sayangnya, dari satu miliar yang diakui sebagai kerugian dan seharusnya dikembalikan, hanya tersisa dua puluh juta rupiah di tangan sang maling. Selebihnya sudah habis untuk berfoya-foya.
Begitu proses hukum selesai, muncul pemandangan menarik. Satpam yang pertama kali menangkap maling merasa berjasa telah “menyelamatkan” uang pemilik rumah. Jaksa yang menuntut juga mengklaim hal yang sama, begitu pula akuntan yang menghitung kerugian dan hakim yang menjatuhkan vonis.
Masing-masing menonjolkan perannya sebagai bagian dari upaya penyelamatan satu miliar rupiah yang hilang. Padahal, uang yang benar-benar kembali ke tangan pemilik rumah hanyalah dua puluh juta rupiah, bahkan kurang, setelah dipotong biaya perkara dan administrasi. Semua senang, kecuali pemilik rumah yang tetap kehilangan uang, mobil, dan rasa aman yang dulu pernah ada.
Dari kisah sederhana itu muncul pertanyaan yang lebih mendasar:
siapakah sebenarnya yang berhak mengklaim telah “menyelamatkan uang” pemilik rumah?
Apakah yang menghitung kerugian, yang menuntut, yang mengadili, atau yang
menampung uang hasil sitaan?
Apakah klaim keberhasilan boleh didasarkan pada potensi kerugian yang berhasil “dihitung”, atau seharusnya hanya pada nilai yang benar-benar kembali?
Pola semacam ini ternyata tidak hanya hidup dalam kisah si maling, tapi juga menjalar ke berbagai bidang kehidupan publik, termasuk dalam cara negara menghitung kerugian dan menarasikan penyelamatan.
Narasi Penyelamatan
Dalam berbagai pemberitaan, kita disuguhi klaim keberhasilan penegakan hukum dengan angka-angka fantastis: puluhan triliun kerugian negara berhasil “diselamatkan”, aset bernilai luar biasa dikembalikan ke kas negara, dan pelaku korupsi dijatuhi hukuman berat dan dimiskinkan (dengan catatan: undang-undang perampasan aset selesai dibahas dan disahkan).
Namun jika ditelusuri lebih dalam, sering kali angka yang benar-benar masuk ke kas negara hanya sebagian kecil dari total kerugian. Selebihnya masih berupa aset yang sulit dijual, atau janji cicilan dari terpidana. Lucunya, angka bombastis tetap jadi panggung berbagai pihak untuk menegaskan perannya masing-masing.
Contoh yang lumayan bagus, kasus ekspor minyak sawit mentah (CPO) yang baru-baru ini disorot publik. Kejaksaan berhasil menyita dan menyerahkan uang Rp13,25 triliun kepada Kementerian Keuangan dari total kerugian negara Rp 17 Triliun.
Secara formal, tentu prestasi besar—lebih dari 75 persen kerugian sudah dipulihkan. Cuma, perlu disorot juga terkait selisih Rp4,4 triliun yang belum jelas nasibnya, karena pelaku meminta penundaan pembayaran dan sebagian akan diselesaikan lewat aset kebun sawit.
Tapi di ruang publik, narasi yang lebih kuat justru: Negara berhasil selamatkan 13 triliun.
Lumayan, kalau dibanding kasus tambang di Bangka Belitung, di mana kerugian lingkungan diperkirakan mencapai Rp271 triliun. Nilai itu luar biasa, layak masuk museum rekor, hampir setara empat kali APBN sektor makan-makan gratisan.
Tapi pertanyaan pentingnya: berapa yang benar-benar bisa dipulihkan? Tidak banyak, karena sebagian besar kerugian merupakan collateral damage, sama seperti mobil yang terbakar. Namun angka Rp 271 triliun tetap diucapkan berulang dalam berbagai kesempatan.
Seolah dengan menghitung kerugian, kita yakin betul angka itu akan kembali ke pangkuan. Dalam kasus ini, klaim bergeser menjadi ritual penghiburan, tempat semua pihak merasa berkontribusi meski bumi yang rusak tidak pernah benar-benar kembali.
Logika Terbalik
Dalam setiap kisah pemulihan kerugian, selalu ada momen ketika berbagai pihak mengklaim peran. Jaksa menegaskan bahwa tuntutan berdasarkan total kerugian akan membuat pelaku jera.
Akuntan forensik merasa akurasi hitungan yang membuka jalan keadilan. Aktivis lingkungan mengaku bahwa mereka yang menyalakan alarm menyadarkan publik. Bahkan politisi ikut bersuara bahwa pengawalan mereka yang membuat kasus sampai ke meja hijau. Sekilas tidak ada yang salah karena semua memang berperan.
Tapi ketika klaim itu
berubah menjadi perlombaan, apalagi dijadikan target tahunan, yang terjadi
adalah moral hazard.
Akan muncul adegan konyol ketika satu lembar uang yang sama diangkat oleh lima tangan berbeda. Masing-masing mengaku sebagai penyelamat. Padahal uang itu hanya satu, dan tidak bertambah nilainya karena banyak yang mengklaim.
Setiap unit kerja merasa punya andil dalam “menyelamatkan anggaran” atau “meningkatkan pendapatan negara,” tanpa pernah menghitung tumpang tindihnya. Parahnya, angka yang diklaim sering kali adalah taksiran total kerugian, bukan yang benar-benar terselamatkan. Akibatnya, satu hasil diklaim berkali-kali, dan narasi keberhasilan membengkak jauh melampaui kenyataan.
Seperti berebut sabut kelapa—semua berdesakan ingin membawa pulang sesuatu yang sebenarnya ringan, rapuh, dan hampir tak ada gunanya. Indikator yang lahir dari kejadian abnormal merupakan bukti bahwa sistem sempat gagal.
Secara administratif, indikator seperti itu memang mudah dihitung, karena konkret: ada angka, ada hasil, ada capaian. Namun secara substantif, ia berangkat dari premis yang keliru: bahwa keberhasilan bisa diukur dari sisa masalah yang berhasil dibereskan.
Secara tidak sadar, indikator semacam ini menciptakan logika terbalik: semakin banyak masalah terjadi, semakin besar peluang lembaga untuk “berprestasi”. Mengapa masih banyak yang berkeras hati tetap menargetkan indikator semacam ini? Maling pun tidak tahu berapa yang akan dicuri, mengapa penyelamatan hasil curian harus ditargetkan?
Lebih jauh lagi, bagaimana kalau terbersit di benak satpam dan akuntan untuk melakukan pembiaran, agar tetap bisa klaim keberhasilan di masa depan?
Budaya Klaim
Fenomena ini muncul karena dalam birokrasi modern, reputasi sering kali menjadi mata uang yang lebih bernilai daripada kinerja nyata. Dari sinilah lahir apa yang bisa disebut budaya klaim—sebuah sistem di mana nilai tidak diukur dari substansi kerja, melainkan dari kemampuan membungkus cerita.
Semakin piawai seseorang membingkai capaian, semakin besar kredit yang didapatkan, meski kontribusi riilnya patut dipertanyakan.
Dalam sistem seperti ini, sabut menjadi lebih berharga daripada kelapa itu sendiri. Hasil yang dangkal tapi mudah dilihat lebih cepat diapresiasi daripada perbaikan sistem yang pelan dan senyap.
Lebih dalam lagi, dalam banyak lembaga publik, klaim bukan sekadar soal gengsi—melainkan strategi bertahan hidup. Ketika sumber daya terbatas dan peluang promosi sempit, menunjukkan diri sebagai juru selamat menjadi cara untuk memastikan posisi tetap aman.
Maka, berebut sabut menjelma menjadi insting survival dalam sistem yang salah arah. Dampaknya, ketika semua orang sibuk mengklaim sabut, tak ada lagi ruang untuk kolaborasi. Setiap keberhasilan kecil diperebutkan, dan setiap kegagalan cepat sekali dicari kambing hitamnya. Yang seharusnya bekerja sama malah berkompetisi; pembuktian siapa paling berjasa, bukan siapa paling berkontribusi.
Perlahan, semangat gotong royong yang seharusnya menjadi fondasi bernegara tergerus oleh kepentingan pribadi yang dibungkus jargon profesionalisme. Orang lupa bahwa tujuan utama adalah memastikan santan bisa dinikmati oleh semua.
Budaya berebut sabut juga melahirkan kelelahan yang tak kasat mata: moral fatigue. Pegawai yang jujur, yang masih percaya pada nilai proses dan akuntabilitas, akan cepat merasa asing di lingkungan yang penuh manipulasi simbolik. Mereka mulai bertanya dalam hati:
“Untuk apa bekerja sungguh-sungguh kalau yang dihargai hanya narasi?”
Akibatnya, motivasi kerja turun, inovasi padam, dan rasa bangga terhadap profesi memudar perlahan. Dalam jangka panjang, birokrasi kehilangan daya hidupnya karena energi pegawai terbaik habis untuk mempertahankan kewarasan. Yang paling berbahaya adalah terbentuknya ilusi akuntabilitas.
Laporan sejuk di mata, indah di telinga, tapi proses pencapaian penuh tambal sulam, tidak berkelanjutan, dan dampaknya ke masyarakat terkadang diabaikan.
Arah Baru
Maka, sebelum semuanya larut dalam kepura-puraan, ada beberapa poin yang harus menjadi perhatian.
Langkah pertama adalah mengembalikan fokus kepada inti produksi: santan, bukan sabut, bukan ampas. Dalam konteks birokrasi, artinya berhenti mengukur keberhasilan dari aktivitas simbolik dan mulai menakar nilai dari manfaat nyata bagi masyarakat.
Dengan mengembalikan arah pandang ke “santan,” setiap institusi dipaksa menelusuri rantai nilai dari input hingga impact, bukan sekadar berhenti di angka output atau by product yang menyesatkan, atau yang lebih parah, klaim kerjaan orang.
Langkah kedua, perlu pemahaman bersama bahwa indikator yang baik bukan yang mudah dicapai, melainkan yang bermakna ketika tercapai.
Artinya, indikator harus lahir dari logika proses, misal, keberhasilan pengawasan bukan diukur dari banyaknya pelanggar yang ditindak, atau banyaknya denda, tetapi dari berkurangnya potensi pelanggaran dan potensi kerugian di masa depan, dihitung dari statistika probabilitas yang bersumber dari refleksi kejadian.
Dengan cara pandang seperti ini, indikator dapat menjadi cermin pembelajaran. Misal masih merasa perlu mengukur penyelamatan, cobalah ambil persentase dari angka yang benar-benar kembali dibandingkan dengan total kerugian.
Dengan demikian kita akan lebih rendah hati dalam mengumumkan capaian. Etika pelayan publik menuntut kejujuran proporsional antara klaim dan realitas—antara yang dimasukkan laporan dan yang benar-benar terselamatkan.
Langkah ketiga, perubahan indikator saja tidak cukup jika budaya kerjanya masih mengagungkan klaim. Yang dibutuhkan adalah budaya kredibilitas yang lahir dari keberanian mengakui keterbatasan, bukan dari kepiawaian memainkan narasi keberhasilan.
Selama penghargaan masih diberikan kepada mereka yang sibuk menampilkan hasil sampingan tanpa menggarap substansi, maka sistem akan terus menghasilkan perilaku serupa.
Perlu perubahan mendasar dalam cara organisasi memberi pengakuan terutama kepada siapa yang memperbaiki proses agar angka itu benar-benar bermakna. Pengakuan seharusnya diberikan kepada mereka yang berani menjaga integritas data, yang membangun sistem pelaporan jujur meski terlihat belum sempurna.
Karena dari situlah kepercayaan publik terhadap laporan akuntabilitas ditumbuhkan.
Epilog
Sebagai simpulan penutup, ukuran keberhasilan bukan terletak pada seberapa banyak sabut yang bisa dikumpulkan, melainkan seberapa murni santan yang dihasilkan.
Birokrasi yang sehat bukan yang pandai bermain narasi mengangkat hasil sampingan, tetapi yang tenang bekerja agar tak perlu ada lagi yang diselamatkan.















0 Comments