#RatakanPolisiTidur: Sebuah Pidato Bersejarah untuk Reformasi Birokrasi

by Ditya Permana ◆ Active Writer | Nov 29, 2024 | Refleksi Birokrasi | 1 comment

Hari itu, hari bersejarah. Terlihat sang Presiden yang baru saja dilantik, berdiri di atas podium megah di hadapan ribuan rakyat yang memenuhi lapangan istana. Tangannya menggenggam naskah pidato resmi yang telah dipersiapkan para staf. Namun, sebelum ia mulai berbicara, ia menatap naskah itu lama. Perlahan, ia menaruhnya di meja podium, tak membacanya.

Riuh tepuk tangan perlahan mereda. Rakyat menunggu dengan penuh harap.

“Saudara-saudara sebangsa dan setanah air,” suaranya menggema, kuat tetapi penuh kehangatan. “Hari ini, saya berdiri di sini bukan hanya sebagai Presiden pilihan kalian, tetapi juga sebagai salah satu dari kalian—seorang rakyat yang pernah merasakan bagaimana sulitnya melangkah maju di negara yang kita cintai ini.”

“Semalam saya merenung, teringat pesan dari proklamator kita,

Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah.
Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan
bangsamu sendiri.

Suara Presiden menggema, mengutip Bung Karno dengan penuh penekanan. Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-kata itu menyusup ke hati setiap orang yang mendengarnya.

“Dalam perjalanan ke sini, saya melewati banyak polisi tidur. Kita menormalisasi fenomena tersebut, dengan alasan bahwa mereka dipasang demi keamanan. Tetapi kenyataannya? Mereka lebih sering menyusahkan daripada membantu. Apakah saudara setuju dengan saya?”

Sorak sorai membahana. “Setuju! Setuju!”

Ia berhenti sejenak, pandangannya menyapu lautan manusia di depannya. Ia melanjutkan, dengan nada yang lebih tegas.

“Polisi tidur yang kita hadapi bukan hanya yang terlihat di jalanan, tetapi juga yang tak terlihat—polisi tidur dalam birokrasi kita. Saudara-saudara, perizinan yang berlapis-lapis telah menjadi tembok penghalang terbesar bagi rakyat kita.

Untuk mengurus sesuatu yang sederhana, rakyat harus melewati proses panjang penuh tanda tangan, stempel, dan dokumen yang kadang terasa tak berujung. Namun, yang lebih memprihatinkan, sistem ini sering kali menjadi celah untuk praktik korupsi.

Ketika proses dipersulit, rakyat terpaksa mencari jalan pintas, dan di situlah oknum-oknum tertentu mengambil keuntungan. Apakah ini yang disebut pelayanan? Tidak, ini adalah jebakan yang memperlambat kita dan menggerogoti kepercayaan rakyat. Perizinan harus mempermudah, bukan mempersulit.”

Ia kembali terdiam sejenak, memberi ruang bagi rakyat untuk merenungkan. Di baris belakang, beberapa staf protokol tampak gelisah. Mereka tahu, ini bukan pidato yang sudah disiapkan.

“Lalu, aturan-aturan yang kita miliki—apakah membantu rakyat? Sayangnya, sering kali justru membingungkan. Banyak dari aturan ini dibuat tanpa memikirkan kenyataan di lapangan. Hasilnya? Mereka tumpang tindih, saling bertentangan, bahkan membuat rakyat melanggar aturan hanya karena mereka tidak mengerti.

Bahkan, saudara-saudara, birokrat dan aparatur sipil negara kita sendiri sering kali terjebak dalam aturan yang mereka buat. Mereka yang seharusnya menjadi ujung tombak pelayanan justru terperangkap oleh sistem yang kaku dan tak berpihak pada rakyat. Bagaimana kita bisa bergerak maju jika langkah kita terus terjebak dalam kebingungan ini?”

“Dan akhirnya, kebijakan yang dibuat hanya untuk memuaskan ego sektoral,
tanpa mempertimbangkan substansinya.
Kita terlalu sibuk memoles laporan keberhasilan, seolah angka-angka itu adalah tujuan akhir. Padahal, angka tidak pernah memberi makan rakyat.
Angka tidak pernah menciptakan keadilan.
Apa gunanya kebijakan jika rakyat masih kesulitan mengakses hak-hak mereka?
Kita harus berubah, mulai sekarang.”

Sorak-sorai rakyat kembali membahana, lebih keras dari sebelumnya. Mereka mengangkat tangan, melambai-lambaikan bendera kecil merah putih, sementara Presiden melanjutkan.

“Saya, saudara-saudara, adalah Presiden pilihan rakyat. Dari rakyat. Untuk rakyat. Dan hari ini, saya mengajak kalian semua untuk bersama-sama meratakan polisi tidur ini. Baik yang ada di jalanan maupun yang ada dalam birokrasi. Karena hanya dengan jalan yang mulus kita bisa berlari menuju masa depan.”

Ia melangkah ke depan podium, meninggalkan naskah pidato sepenuhnya. Dengan suara yang lebih lantang, ia menantang langsung birokrasi yang selama ini menahan rakyat.

“Saudara-saudara sekalian, di tengah gemuruh harapan rakyat, saya tahu ada yang gelisah. Di balik senyum formalitas, mungkin ada yang merasa tak nyaman dengan apa yang saya katakan hari ini….

Mulai hari ini, saya perintahkan agar tidak ada lagi polisi tidur dipasang tanpa maksud yang jelas.

  • Mulai hari ini, tidak ada lagi aturan yang dibuat hanya untuk mempersulit.
  • Mulai hari ini, tidak ada lagi tempat bagi sistem yang memperlambat langkah bangsa ini.
  • Mulai hari ini, tidak ada lagi ruang bagi arogansi birokrasi yang lebih sibuk melindungi kursinya daripada melayani rakyat.
  • Jika rakyat butuh jalan mulus untuk kehidupan mereka, kita akan berikan itu.

Karena itulah tugas pemerintah: melayani, bukan mempersulit.”

“Untuk mereka yang terus memasang polisi tidur—baik itu aturan tanpa logika, prosedur yang membingungkan, atau kebijakan yang menyulitkan—saya punya pesan sederhana: berhenti menyusahkan rakyat. Karena jika tidak, kami, rakyat Indonesia, yang akan meratakan kalian”

Tepuk tangan membahana memenuhi lapangan setelah pidato Presiden usai.
Ia berdiri tegak di atas mimbar, memandangi lautan manusia yang penuh semangat.
Beberapa saat ia membiarkan sorak-sorai itu menggema,
seolah mengukuhkan pesan yang baru saja ia sampaikan.
Namun, ia tidak berlama-lama di tempat itu.

Dengan langkah mantap, Presiden meninggalkan mimbar, diiringi sorakan “Hidup Presiden!” dari seluruh penjuru. Di tengah perjalanan menuju kerumunan wartawan yang menunggunya, ia berhenti sebentar, menoleh ke arah panggung, tempat naskah pidato resminya masih tergeletak.

Ia menatapnya sebentar, lalu berjalan lebih cepat, seolah ingin menegaskan bahwa pidato itu adalah miliknya, bukan hasil rencana orang lain.

Di bawah panggung, ia mengulurkan tangan ke rakyat yang berdiri di baris depan. “Ini bukan hanya pidato saya. Ini adalah perjuangan kita bersama,” katanya, sambil menjabat tangan seorang pria tua dengan kulit keriput.

Pria itu menangis haru, menggenggam tangan Presiden lebih erat seolah ingin menitipkan doa untuk bangsa. Di antara kerumunan, seorang ibu berteriak, “Kami mendukungmu, Pak! Jangan takut menabrak polisi tidur itu!”

Presiden tersenyum lebar. “Bukan hanya saya. Kita semua akan melakukannya bersama.”

____________________________________________________________________________________________

Keesokan harinya, sebuah tagar mendominasi: #RatakanPolisiTidur. Rakyat dari berbagai pelosok mengunggah video dan foto kegiatan mereka, dari menghancurkan polisi tidur hingga memprotes aturan birokrasi yang dirasa tak masuk akal. Narasi perubahan mulai bergulir.

Media pemberitaan dari berbagai daerah menunjukkan pemandangan yang serupa. Alat berat menghancurkan polisi tidur yang selama bertahun-tahun menjadi momok di jalanan. Di beberapa lokasi, warga bahkan ikut membantu, menggunakan linggis dan sekop untuk meratakan polisi tidur di lingkungan mereka.

“Ini simbol sederhana, tapi bermakna besar,” ujar seorang kepala desa yang diwawancarai media. “Kami sudah lama lelah dengan kebijakan-kebijakan kecil yang hanya menyulitkan tanpa alasan jelas. Kalau polisi tidur di jalan saja bisa diratakan, mudah-mudahan aturan-aturan yang memberatkan juga bisa segera dihapus.”

Di kantor-kantor pemerintahan, suasana tegang terasa. Presiden tidak hanya memerintahkan pembongkaran polisi tidur di jalan, tetapi juga evaluasi besar-besaran terhadap aturan dan prosedur yang dianggap menyulitkan rakyat.

Setiap kementerian diwajibkan mengajukan laporan reformasi konkret dalam waktu 100 hari. “Kami tidak hanya meratakan jalan, kami juga meratakan hambatan birokrasi,” kata Presiden dalam pernyataan lanjutannya.

Sebuah gambar menjadi ikon gerakan itu: Presiden dengan helm konstruksi, berdiri di samping alat berat yang baru saja menghancurkan polisi tidur di lingkungan Istana. Di belakangnya, rakyat bersorak, melambai-lambaikan bendera merah putih. Di bawah gambar itu, sebuah tulisan sederhana viral di seluruh negeri: “Kami, rakyat Indonesia, akhirnya siap berlari.”

Sekali lagi Presiden tersenyum lebar. “Bukan hanya saya. Kita semua akan melakukannya bersama.”

Namun, perlahan-lahan sorak-sorai itu memudar. Cahaya terang dari panggung mulai meredup, dan suara gemuruh rakyat berubah menjadi keheningan. Segalanya terasa kabur, seperti diselimuti kabut tipis. Dalam sekejap, pemandangan itu lenyap.

Aku terbangun dengan napas terengah. Mataku menatap langit-langit kamar, berusaha membedakan kenyataan dari imajinasi. Pikiran tentang “polisi tidur” birokrasi, pidato penuh semangat, dan gelombang perubahan hanyalah bagian dari mimpi—refleksi dari keinginanku akan sebuah bangsa yang bebas dari hambatan dan korupsi.

Aku duduk diam, merenungkan apa yang baru saja terjadi di alam bawah sadarku. “Mungkin,” bisikku pelan, “perubahan besar memang harus dimulai dari mimpi. Tapi tugas kita adalah menjadikannya nyata.”

Di luar, suara lalu lintas pagi mulai terdengar. Menyadarkanku kalau hari ini masih harus menghadapi barisan polisi tidur sepanjang perjalanan mengais rezeki, entah yang terlihat nyata maupun tersembunyi dalam naungan birokrasi.

2
0
Ditya Permana ◆ Active Writer

Ditya Permana ◆ Active Writer

Author

ASN provokatif jebolan Manajemen Kebijakan Publik Monash University yang sedang belajar untuk menulis lagi

1 Comment

  1. Avatar

    Tulisannya kereen… trims.. teruslah menulis Dit..

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post