Rasa Malu: Kompas Kehidupan?

by Nugroho Kuncoro Yudho ◆ Professional Writer | Apr 16, 2025 | Refleksi Birokrasi | 0 comments

Dari sekian banyak emosi manusia, rasa malu mungkin terdengar sederhana, tak segemuruh amarah, tak seindah cinta, dan tak semisterius rasa rindu. Dalam kesederhanaannya, rasa malu memegang peran yang jauh lebih besar:

Rasa malu menjadi penjaga moral yang paling senyap,
namun paling jujur. Sebab tanpa rasa malu, seseorang sering kali bertindak amoral dan
cenderung tidak jujur. Banyak hal negatif yang dilakukan oleh seseorang
yang tidak mempunyai rasa malu.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), malu adalah merasa sangat tidak enak hati (hina, rendah, dan sebagainya) karena berbuat sesuatu yang kurang baik (kurang benar, berbeda dengan kebiasaan, mempunyai cacat atau kekurangan, dan sebagainya).

Malu merupakan tamparan halus dari hati nurani. Malu tidak berteriak, tapi membuat kita menunduk. Ia tidak menghukum ataupun menghakimi, tapi membuat kita berpikir ulang.

Ketika seseorang merasa malu atas kesalahannya, itu pertanda bahwa moralnya masih bekerja, hati nuraninya masih merasa, cermin batinnya masih utuh dan belum pecah.

Malu: Bukan Musuh, Tapi Guru

Sayangnya, dalam zaman yang serba cepat, canggih dan penuh sorak sorai popularitas, rasa malu sering dianggap sebagai kelemahan. Banyak orang belajar bagaimana berbicara, bagaimana memberikan pelayanan prima, dan bagaimana tampil percaya diri di depan kamera, tapi lupa bagaimana menunduk ketika bersalah.

Banyak kasus, seseorang masih bisa tegak mendongak di tengah isu yang menerpanya dan di antara wartawan yang mengeroyoknya untuk minta keterangan pers. Bahkan, terkadang masih mampu meneriakkan “tidak” atas apa yang dilakukannya, walaupun bukti nyata telah terbentang nyata di hadapan semua orang.

Malu tidak diajarkan di kelas-kelas motivasi, apalagi di sekolah dan di kampus. Malu tidak populer, karena tidak membuat orang terlihat keren. Malu juga tidak mampu mambuat orang beraktualisasi diri. Tapi justru di situlah kekuatannya.

Rasa malu mengajarkan kita rendah hati tanpa mempermalukan orang lain. Rasa malu membatasi gerak kita agar selalu ada dalam koridor norma dan moral. Ia tidak membawa kebencian, tapi kesadaran.

Masalahnya, kita sering menyalahartikan malu sebagai sesuatu yang harus disingkirkan. Padahal, malu bukan beban, tapi rem. Bayangkan jika hidup ini adalah kendaraan, dan moral adalah arah tujuan, maka rasa malu adalah rem tangan yang memastikan kita tidak melaju di jalan salah tanpa kendali.

Tanpa rasa malu, seseorang bisa mencuri, berdusta, menyakiti, menjual harga diri, mempertontonkan akhlak bejat dan mampu tertawa dan tidur nyenyak di tengah perbuatannya yang keluar dari koridor norma dan moral.

Tanpa rasa malu, kebenaran bisa dibungkam, kedustaan dianggap benar, kesalahan dibenarkan dan kebusukan bisa dibungkus dalam kata-kata manis.

Moral Tanpa Malu, Kosong

Dalam kehidupan – terutama ranah kepemimpinan – rasa malu seharusnya menjadi sahabat karib moralitas. Pemimpin yang bermoral tanpa rasa malu hanya akan menjadi orator, mampu berkata, bisa memberikan petunjuk, namun bukan teladan.

Ia tahu teori benar–salah, sebab–akibat, tapi tak pernah merasa terganggu ketika menyeberang batas dan melanggar norma.

Sebaliknya, pemimpin yang memiliki rasa malu tak perlu banyak berbicara soal integritas dan moralitas. Ia hidup di dalamnya. Ia sadar bahwa kekuasaan adalah tanggung jawab terhadap amanah, bukan panggung dan bukan pula ajang untuk sekedar bicara.

Ia juga sadar bahwa jabatan bukan alat untuk terlihat hebat, tapi sarana untuk melayani dengan tulus dan ikhlas.

Ironisnya, rasa malu justru makin langka
ditemukan di gedung-gedung tinggi ataupun di perkantoran,
bahkan di sekolah dan perguruan tinggi. Bukan karena tidak ada, tapi mungkin
karena malu sudah merasa malu berdomisili di sana. Ia digantikan oleh rasa nyaman,
rasa kebal, rasa tak peduli dan rasa–rasa lainnya yang tidak lagi
merasa malu.

Perlukah Merawat Rasa Malu?

Malu akan menjaga seseorang dari keserakahan, kesewenang-wenangan, sekehendak hati, semaunya sendiri, dan rasa-rasa lain yang menghantarnya kepada ketidakpedulian. Malu, walau tidak keren, tapi ia menjaga seseorang dari keinginan nafsu yang tidak berkesudahan.

Tanpa rasa malu, seseorang akan kehilangan arah dari norma dan moral, sehingga menjerumuskannya ke jurang kesalahan yang berkelanjutan, merendahkan derajatnya bahkan terkadang sampai lebih rendah dari binatang.

Malu akan menyelamatkan kita dari kehilangan arah dan menjaga kita dari kesalahan. Ketika kita sudah tidak malu berbohong, mencuri, atau menyakiti, kita bukan hanya kehilangan etika, tapi kita akan kehilangan rasa kemanusiaan.

Di tengah dunia yang semakin mengaburkan garis antara benar dan salah, rasa malu adalah alarm terakhir yang menyadarkan kita sebelum jatuh terlalu dalam. Ia yang membuat kita menghapus pesan yang tak pantas sebelum dikirim, menolak suap dan gratfikasi meski tak ada yang melihat, dan berkata “maaf” meski tak diminta.

Dan lebih dari itu, malu adalah tanda bahwa kita masih punya hati nurani. Kita hidup sebagai manusia, bukan hanya sebagai makhluk sosial yang sibuk beradaptasi dengan lingkungan, tapi sebagai makhluk moral yang sadar bahwa hidup ini bukan soal “bagaimana dilihat orang”, tapi “bagaimana dipertanggungjawabkan”.

Malu Sebagai Kompas

Jika hidup ini adalah perjalanan, maka moral adalah arah, dan rasa malu adalah kompas kecil yang tersembunyi di saku hati. Ia mungkin tak berbunyi, tak mencolok dan bahkan sering dilupakan dan diabaikan. Tapi ketika kita tersesat, ia satu-satunya yang bisa menunjukkan jalan pulang.

Malu memang hal sederhana, tapi tanpa rasa malu kehidupan akan kehilangan arah. Malu yang hanya bisa dirasakan, tak bisa dipegang dan dielus, seyogyanya dipertahankan atau bahkan ditingkatkan, seperti rasa cinta dan kasih sayang yang terus didengungkan.

Malu, sebagai kompas menuju moral, seyogyanya ditanamkan sejak dini di setiap lini dan mulai saat ini. Malu akan menentukan arah kehidupan agar sesuai dengan koridor norma dan moral.

Malu akan menyelamatkan semua orang dari hilangnya nurani kehidupan dan pada gilirannya akan memberikan nilai positif kepada yang memilikinya. Jadi, jangan malu merasa malu. Justru malulah jika sudah tidak bisa merasa malu.

2
0
Nugroho Kuncoro Yudho ◆ Professional Writer

Nugroho Kuncoro Yudho ◆ Professional Writer

Author

Praktisi kesehatan dan pemerhati masalah sosial kemasyarakatan berdomisili di Sampit, Kalimantan Tengah.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post