
Kopi yang tersaji sudah mulai dingin, kudapan sudah dihidangkan untuk kedua kalinya, namun jarum jam seakan enggan beranjak.
Di sebuah ruang rapat lantai 4 sebuah gedung pemerintahan,
puluhan pasang mata menatap layar LCD yang menampilkan Power Point berwarna, sementara diskusi alot berlangsung mengenai hal yang terasa familiar, pembahasan teknis pelaksanaan sebuah acara ulang tahun instansi itu akhir bulan nanti.
Siapa yang akan memberi sambutan, di mana letak spanduk, hingga warna map untuk materi seminar. Semua dibahas dengan detail dan penuh semangat.
Pemandangan ini tentu tidak asing bagi kita, para abdi negara. Rapat adalah denyut nadi birokrasi, tempat koordinasi, sinkronisasi, dan pengambilan keputusan.
Namun, sering kali kita merasa terjebak dalam siklus rapat yang tak berkesudahan untuk membahas hal-hal yang kurang substansial. Energi terkuras, waktu terbuang, sementara isu-isu strategis yang lebih mendesak justru menunggu di antrean.
Fenomena ini mengingatkan saya pada kelakar seorang figur publik, Melanie Subono, yang pernah menyindir di media sosial.
Ketika laporannya kepada sebuah instansi pemerintah dijawab dengan kalimat pamungkas “akan kami rapatkan”, ia berseloroh bahwa mungkin sampai sekarang masalahnya belum selesai karena “masih dirapatkan”. Sebuah satire yang menampar, namun terasa begitu nyata.
Mengenal Efek Gudang Sepeda
Apa yang kita alami ini sebenarnya memiliki nama dalam teori organisasi, Parkinson’s Law of Triviality atau lebih dikenal sebagai bike-shedding effect (efek gudang sepeda).
Gagasannya sederhana, sebuah organisasi cenderung menghabiskan waktu tidak proporsional untuk membahas isu-isu sepele karena semua orang merasa memahaminya.
Cyril Northcote Parkinson, sang penggagas teori, memberi ilustrasi tajam, sebuah komite akan menyetujui pembangunan reaktor nuklir senilai miliaran dolar hanya dalam hitungan menit.
Mengapa?
Karena topiknya terlalu rumit, dan mayoritas anggota tidak punya kapasitas teknis untuk mendebatnya. Mereka memilih percaya pada para ahli, bahaya jika sang ahli memiliki agenda tersembunyi.
Namun, ketika komite yang sama membahas proposal pembangunan gudang sepeda untuk karyawan reaktor nuklir senilai puluhan juta rupiah, perdebatan bisa berlangsung berjam-jam. Semua orang punya pendapat tentang material atap, warna cat, hingga model rak sepeda.
Di sinilah mereka merasa bisa berkontribusi, menunjukkan kompetensi, dan menjadi bagian dari keputusan.
Gudang Sepeda di Ruang Rapat Kita
Tanpa sadar, “gudang sepeda” sering menjadi agenda utama dalam rapat-rapat birokrasi kita. Isu strategis yang seharusnya menjadi inti pembahasan justru tersisih oleh perdebatan panjang tentang hal-hal gimmick yang membungkusnya.
Bayangkan sebuah skenario yang akrab, H-1 Rapat Kerja dengan DPR. Tim inti dan pejabat madya ke atas dikumpulkan untuk mematangkan bahan tayang Menteri. Alih-alih mendalami substansi data dan mengantisipasi pertanyaan kritis dari para anggota dewan, rapat berjam-jam justru tersedot ke dalam perdebatan estetika.
Fokus bukan pada validitas argumen di halaman 10, melainkan pada palet warna untuk keseluruhan presentasi. Waktu berharga habis untuk memperdebatkan apakah grafik batang lebih “menjual” daripada diagram lingkaran, atau mencari ilustrasi jabat tangan yang paling merepresentasikan “optimisme” di slide penutup.
Hasilnya, kita tampil menawan di layar, tapi rapuh di substansi. Siap secara visual, namun gagap saat beradu gagasan.
Contoh lain yang tak kalah sering adalah rapat evaluasi penyerapan anggaran. Ketika data menunjukkan realisasi yang rendah, fokus diskusi bergeser dari “bagaimana solusi percepatannya?” menjadi “bagaimana formula penilaiannya?”.
Rapat berubah menjadi ajang perdebatan akademis tentang bobot penilaian antara realisasi fisik dan keuangan, merumuskan faktor koreksi, atau mendefinisikan ulang indikator kinerja agar angka di laporan tampak lebih baik.
Fenomena serupa juga terjadi dalam rapat penilaian Indikator Kinerja Anggaran (IKA). Alih-alih menelisik akar masalah rendahnya realisasi, pembahasan justru berputar pada rumus dan metodologi penilaian:
- berapa proporsi nilai untuk aspek efisiensi,
- apakah formula agregasinya sudah mencerminkan “keadilan”, atau
- bagaimana menyesuaikan skor agar terlihat seimbang dengan unit lain.
Angka-angka menjadi tujuan, bukan cermin dari kinerja. Sementara substansi terabaikan, mengapa program tak berjalan sesuai rencana? Apa hambatan di lapangan? Bagaimana mempercepat manfaat nyata bagi masyarakat?
Pertanyaan fundamental semacam itu sering kali tak tersentuh. Kita sibuk memoles termometer agar suhu demamnya tampak normal, alih-alih mencari obat yang menyembuhkan penyakitnya.
Mengapa Ini Terjadi?
- Rasa Aman Psikologis: Membahas hal-hal teknis yang mudah dipahami memberi rasa aman. Risiko salahnya kecil, dan semua orang bisa berpartisipasi.
- Menghindari Tanggung Jawab Besar: Menyelami isu kompleks berarti siap memikul tanggung jawab besar. Fokus pada hal trivial menjadi mekanisme pertahanan diri.
- Birokrasi Sebagai Proses, Bukan Hasil: Budaya kerja kita kadang lebih menghargai terlaksananya proses (“rapat telah dilaksanakan”) daripada tercapainya hasil nyata.
Memutus Rantai Menuju Rapat yang Efektif
Tentu kita tidak anti rapat. Namun, kita perlu mengubah paradigma, rapat bukanlah tujuan, melainkan alat untuk mencapai tujuan.
Sebagai insan ASN yang BerAKHLAK, kita percaya bahwa efisiensi bukan sekadar target, melainkan bagian dari integritas fiskal dan wujud nyata akuntabilitas publik. Setiap menit yang kita habiskan di ruang rapat harus bernilai tambah bagi masyarakat yang kita layani.
Beberapa langkah sederhana bisa kita mulai:
- Agenda yang Jelas dan Terukur:
Setiap undangan rapat harus memuat tujuan yang spesifik. Apakah untuk mengambil keputusan, berbagi informasi, atau menjaring ide (brainstorming)?
Bedakan rapat koordinasi dengan rapat keputusan. Jangan semua hal diangkat ke forum besar bila cukup diselesaikan melalui komunikasi lintas-unit menggunakan group whatsapp atau meeting online singkat. Waktu rapat adalah sumber daya publik, gunakan secermat mungkin.
- Kepemimpinan Rapat yang Kuat:
Pimpinan rapat bukan sekadar moderator, tetapi penjaga arah. Ia harus berani memotong pembahasan yang mulai menjauh dari inti, menegakkan disiplin waktu, dan mengembalikan diskusi pada esensi.
Seperti Erwin Gutawa dalam memimpin SYMPHONESIA, ia memastikan setiap nada selaras dalam irama yang sama, tujuan organisasi.
- Pemberdayaan Individu:
Tidak semua hal perlu diputuskan secara kolektif atau membutuhkan putusan pimpinan tinggi. Berikan ruang bagi pejabat atau tim teknis untuk memutuskan dalam lingkup kewenangannya. Kepercayaan adalah bentuk tertinggi dari pengawasan, ketika bawahan diberi ruang bertindak, tanggung jawab tumbuh menjadi budaya, bukan sekadar perintah.
- Gunakan Data, Bukan Perasaan:
Rapat sering terjebak pada opini tanpa dasar. Mulailah dengan data yang sahih dan analisis ringkas. Diskusi berbasis bukti menuntun kita pada keputusan yang rasional, bukan emosional.
- Pastikan Tindak Lanjut:
Rapat tanpa tindak lanjut hanyalah monumen kata-kata, dan bentuk tindak lanjutnya tidak boleh berbentuk rapat berikutnya. Setiap keputusan harus punya penanggung jawab, tenggat waktu, dan mekanisme pemantauan. Jangan biarkan notulen menjadi laporan dan kuburan ide-ide cemerlang.
Mengubah Cara Pandang
Namun di atas semua itu, solusi sejatinya adalah mengubah cara pandang terhadap rapat itu sendiri.
Rapat bukan simbol kesibukan, syarat memenuhi kinerja harian, melainkan sarana mencipta nilai. Ukuran keberhasilannya bukan berapa lama berlangsung atau seberapa sering, tapi seberapa jelas langkah yang dihasilkan setelahnya.
Kita bisa memulai dari hal sederhana, datang dengan persiapan dan tepat waktu, bicara dengan niat memahami, mendengar dengan rasa hormat, dan menutup rapat dengan komitmen yang nyata.
Karena sesungguhnya, setiap menit yang kita habiskan di meja rapat adalah menit yang kita pinjam dari rakyat, dan kepada merekalah kita harus mengembalikannya dalam bentuk kinerja yang nyata.
Pada akhirnya, nilai seorang birokrat tidak diukur dari seberapa sering ia menghadiri rapat,
tetapi dari seberapa besar dampak positif yang dihasilkannya bagi publik.
Sudah saatnya kita berhenti menghabiskan waktu terbaik untuk membangun gudang sepeda,
dan mulai memfokuskan energi untuk membangun reaktor nuklir kemajuan bangsa.
Sebab waktu yang kita habiskan di ruang rapat sejatinya adalah utang pelayanan yang harus kita lunasi kepada rakyat. Maka, mari jadikan setiap menit di ruang rapat sebagai investasi bagi pelayanan publik yang lebih baik, efektif, bernas, dan bermakna.














0 Comments