“Telah datang kepadamu bulan Ramadhan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu. Dibukalah pintu-pintu langit, dan ditutuplah pintu-pintu neraka, dan syaitan-syaitan dibelenggu. Padanya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan.”
Kutipan hadits di atas menggambarkan kedatangan Ramadhan merupakan suatu kegembiraan, khususnya bagi umat Islam. Maka tidak heran, ketika menjelang Ramadan kita akan melihat fenomena kesalehan mendadak di tengah masyarakat, tidak terkecuali para birokrat.
Spiritualitas Religiusitas dalam Peradaban Indonesia
Fenomena ini menunjukkan tingkat religiusitas yang tinggi dan telah mengakar sejak peradaban nenek moyang kita. Hal ini dibuktikan dengan adanya sistem politik Mandala pada masa sebelum kedatangan kolonialis Eropa ke Nusantara, yang dalam sistem politik ini para penguasa mendapat legitimasinya atas dasar agama.
Para raja yang berkuasa dianggap sebagai pusat bumi yang merupakan perantara dewa bagi rakyatnya. Bahkan setelah terjadi peralihan dari zaman Hindu Budha menuju zaman kesultanan, sistem ini tetap berlaku di nusantara.
Tingkat religiusitas yang tinggi ini tetap bertahan hingga sekarang, sehingga Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara yang memiliki kementerian khusus bidang agama. Survey Pew Research Center menempatkan Indonesia di urutan tertinggi tingkat religiusitas karena memandang penting agama sebagai sumber moral.
Namun sayangnya, tingkat religiusitas ini tidak berbanding lurus dengan tingkat spiritualitas. Meminjam istilah Bung Hatta, agama hanya menjadi gincu, karena hanya dapat memberikan tampilan luar tanpa mampu berkontribusi terhadap permasalahan masyarakat.
Pendapat Bung Hatta ini sesungguhnya adalah pengulangan dari apa yang dikemukakan puluhan tahun sebelumnya oleh syaikh Muhammad Abduh, mujaddid Islam abad 13 hijriyah:
ذهبت الى الغرب فوجدت إسلامًا ولم أجد مسلمين،
ولما عُدت إلى الشرق، وجدت مسلمين ولكنني لم أجد إسلامًا
“Aku pergi ke barat, aku temukan Islam padahal tidak ada muslim.
Aku kembali ke timur, aku tidak melihat Islam padahal banyak muslim”
Di sini Syaikh Muhammad Abduh menggunakan kata Islam sebagai spiritualitas, dan muslim sebagai kata ganti religiusitas, yang seharusnya keduanya sejalan dan tak terpisahkan.
Namun anehnya terkadang nilai spiritualitas justru semakin merosot di saat nilai religiusitas meningkat. Suatu fenomena yang rasanya tak asing di negeri tercinta ini.
Ramadhan dan Peningkatan Spiritualitas
Ada banyak konsep yang ditawarkan dalam memahami spiritualitas, bahkan jumlahnya melebihi agama dan kepercayaan. Hal ini karena di dalam ajaran agama sendiri memiliki banyak metode atau mazhab yang berbeda dalam mencapai spiritualitas.
Bahkan, mereka yang mengaku tidak beragama atau berafiliasi dengan agama juga berupaya mencapai spiritualitas dengan menggunakan pendekatan rasio.
Menurut Elkins (1998), terdapat 9 aspek spiritualitas yaitu: dimensi transenden, makna dan tujuan dalam hidup, misi hidup, kesakralan hidup, nilai-nilai material, altruisme, idealisme, kesadaran akan peristiwa tragis, dan buah dari spiritualitas.
Sementara itu Piedmont (2001) mengembangkan konsep spiritualitas yang disebutnya Spiritual Transcendence, yaitu kemampuan individu untuk berada diluar pemahaman dirinya akan waktu dan tempat, serta untuk melihat kehidupan dari perspektif yang lebih luas dan objektif. Konsep ini terdiri atas tiga aspek, yaitu:
a) Prayer Fulfillment (pengamalan ibadah), yaitu sebuah perasaan gembira dan bahagia yang disebabkan olehketerlibatan diri dengan realitas transeden.
b) Universality (universalitas), yaitu sebuah keyakinan akan kesatuan kehidupan alam semesta (nature of life) dengan dirinya.
c) Connectedness (keterkaitan), yaitu sebuah keyakinan bahwa seseorang merupakan bagian dari realitas manusia yang lebih besar yang melampaui generasi dan kelompok tertentu.
Meskipun sama-sama mengkaji jiwa manusia, menurut Sargeant (2023) spiritualitas dan psikologi jelaslah berbeda. Psikologi sebagai suatu ilmu empiris harus bersifat netral, sedangkan spiritualitas menggali kejiwaan untuk memunculkan potensi “positif” dari manusia dan menjauhi sifat “negatif”.
Meskipun positif dan negatif mungkin bersifat relatif, tetapi secara universal dapat diterima bahwa potensi positif manusia adalah hal-hal baik yang akan mendatangkan manfaat, sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi Muhammad:
“Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lain”
Sebaliknya, sifat negatif adalah hal yang bersumber dari insting liar atau dalam terminologi Islam disebut sebagai nafsu. Insting liar ini menurut Freud dimiliki juga oleh manusia karena kita memang memerlukannya untuk bertahan hidup, sebagaimana kerabat terdekat kita yaitu primata dan mamalia juga memilikinya.
Namun, akan berbahaya jika manusia mendasarkan tindakannya atas dorongan nafsu semata, karena manusia dengan kemampuan otaknya mampu mengolah seluruh sumber daya untuk mencapai tujuannya, sedangkan hewan tidak memiliki kemampuan ini.
Akibatnya kerusakan yang ditimbulkan oleh manusia akan jauh lebih hebat ketimbang yang dilakukan oleh hewan. Selapar-laparnya hewan, begitu perutnya penuh dia akan berhenti. Sebaliknya manusia tidak akan puas dengan apapun sebelum ia sendiri yang mengendalikan nafsunya.
Dalam perspektif Islam, pengendalian nafsu ini dapat dicapai dengan melakukan shaum atau puasa. Sebagaimana agama Abrahamik, Islam menempatkan puasa sebagai suatu hal yang sakral, bahkan shaum termasuk dalam “rukun Islam”, sehingga meninggalkan kewajiban ini mengakibatkan pelakunya belum beragama secara sempurna.
Sedemikian pentingnya ibadah ini karena shaum dapat mengendalikan hawa nafsu. Sedemikian sulitnya, karena pengendalian hawa nafsu bukan perkara enteng.
Betapa banyak pemuka agama yang terjerumus dengan hawa nafsunya. Begitu banyak cendekiawan yang terjerat pidana karena akalnya tidak mampu mengendalikan insting liarnya.
Spiritualitas dalam Birokrasi
Membahas spiritualitas dan birokrasi seperti membandingkan antara dua kutub yang berbeda. Birokrasi seperti yang disimpulkan oleh Max Weber, adalah ibarat sangkar besi (iron cage), yang menunjukkan betapa kakunya birokrasi terhadap masyarakat.
Menurut Daneshfard (2016), meskipun birokrasi sangat kaku, tetapi memang diperlukan guna mencapai tujuan dari birokrasi itu sendiri yaitu menyokong roda pemerintahan secara efisien.
Namun pandangan semacam ini, bukan tanpa kritik, karena paradigma ini menyamakan birokrasi dengan mesin, yang hanya sesuai pada tataran konsep ekonomi kapitalistik, sehingga melupakan fakta bahwa inti dari birokrasi itu adalah manusia, baik pelaku maupun penggunanya.
Menemukan nilai-nilai spiritual pada birokrasi kita memang sangat sulit. Hal ini tercermin dari perilaku birokrat yang masih jauh dari nilai-nilai spiritual. Contoh sederhana, masih banyak aparatur negara yang belum memahami makna dari seragam yang digunakannya.
Padahal, di balik seragam tersebut terkandung nilai luhur supaya pemakainya menjaga moral dan etika ketika menggunakannya, sehingga akan malu berbuat hal yang tidak pantas apalagi sewenang-wenang kepada masyarakat.
Namun, banyak aparatur negara yang malah memakai seragam dengan tujuan supaya terlihat gagah dan eksklusif, bahkan cenderung pamer. Belum lagi kalau kita sebutkan perilaku tak pantas yang berhasil direkam oleh media, seperti korupsi dan perselingkuhan, tentu menambah jauh jarak antara birokrasi dan spiritualitas.
Apalagi di tengah-tengah arus digitalisasi ini, kita sendiri saja sudah kesulitan menemukan nilai-nilai spiritual. Karena di era disrupsi ekonomi akibat digitalisasi, setiap entitas dituntut untuk memiliki citra yang baik agar memiliki nilai jual (baca:viral).
Berbagai cara dilakukan untuk meningkatkan citra,
bahkan sampai kepada hal-hal yang jauh dari nilai spiritual. Misalnya penggunaan
fasilitas mewah pada unit eselon tinggi, entah itu kantor yang dibuat semegah mungkin,
atau kendaraan dinas mahal, yang sebenarnya tidak memiliki urgensi apapun
untuk pelayanan masyarakat, selain hanya agar terlihat kekinian.
Belum lagi budaya flexing dari para pejabat dan pemborosan anggaran untuk aplikasi atau influencer, yang kesemuanya itu untuk mengejar supaya dianggap futuristik atau hi-tech.
Ketika misalnya pemerintah meluncurkan core value ASN yaitu AKHLAK (Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif dan Kolaboratif), pengejawantahannya juga masih bertendensi kapitalistik.
Di sisi lain, ada kekhawatiran jika mengutamakan spiritualitas maka akan menghambat produktivitas. Namun harus diingat, produktivitas bukanlah kuantitas semata, juga ada kualitas yang harus ditingkatkan.
Kualitas tidak diukur dari tampilan luar, ia harus bagus sejak dari dalam. Sejarah membuktikan Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok pernah kolaps ekonominya karena terlalu mengejar kuantitas produksi, tapi mengabaikan kualitas kehidupan rakyatnya.
Maka sudah seharusnya dilakukan peningkatan kualitas birokrasi dengan cara meningkatkan nilai-nilai spiritual yang berasal dari fitrah kita sebagai manusia. Peningkatan SDM Aparatur Negara misalnya, tidak hanya ditujukan untuk menambah pengetahuan dan kompetensi, tapi harus meningkatkan kesadaran untuk mengabdi kepada rakyat.
Maka di akhir tulisan ini, saya ingin menawarkan satu nilai: altruisme.
Penutup: Altruisme untuk Pengabdian
Sesungguhnya masih banyak aparatur negara yang memegang teguh prinsip altruisme atau keikhlasan sebagai nilai pribadi. Apalagi, jika mereka memilih menjadi aparatur negara karena dorongan untuk mengabdi pada kepentingan rakyat.
Hal ini terlihat dari kesediaan mereka untuk mengabdi di daerah terpencil dan terpisah dari keluarga. Tentunya tidak mudah untuk menggambarkan penderitaan mereka selama bertugas. Demikian pula, masih banyak yang bekerja sampai malam tanpa menghiraukan kesehatan, dan tanpa mendapatkan imbalan apapun untuk kelebihan jam kerjanya.
Namun ini semua akan sirna manakala kita melihat perilaku pejabat di “Pusat” ( dalam hal ini, pusat bukan hanya bermakna ibu kota, tetapi bisa juga unit eselon tinggi yang membawahi unit lain, seperti Kantor Wilayah yang menjadi pusat bagi Kantor Daerah, atau Dinas Pendidikan yang merupakan atasan dari Sekolah).
Bulan Ramadhan mengajarkan kita untuk berperilaku ikhlas, yang hanya dapat dilakukan jika kita sudah merasakan penderitaan fakir miskin yang kelaparan dan kehausan. Maka keikhlasan harus dimulai dari kesederhanaan, karena bermegah-megahan akan melalaikan kita (QS. At-Takatsur), akibat terlalu terpesona dengan kemauan nafsu.
Itulah sebabnya orang-orang terdahulu bahkan sampai menghentikan aktivitas duniawi selama bulan Ramadhan supaya dapat fokus untuk melatih pengendalian nafsu dan meningkatkan nilai-nilai spiritual.
Jangan sampai bulan Ramadhan berlalu begitu saja dan kita tidak mendapat hikmah apapun darinya, seperti yang diingatkan oleh Nabi Muhammad SAW:
“Berapa banyak orang yang berpuasa tapi tidak mendapatkan apapun melainkan hanya lapar dan dahaga saja.”
Selamat berpuasa, taqobbalallohu shiyamana wa shiyamakum.
masyaAllah literasinya bagai oase di sahara, kami para pengabdie kadang terlindas rutinitas yang idelnya seimbang untuk dunia dan akhirat
terus mentadaburi diri, qodarullah menjadi pengabdie
yang kadang akibat oknum kami jadi ikut di caci
meluruskan kembali niat, pelayan publik
moga ini menjadi jalan jihad kami
bersama rintik hujan tanpa bintang
malam tetap datang
setia
walau dicerca kelam
Alhamdulillah, mantap sungguh, tulisan nya.
Teruslah berkarya , semoga manfaat bagi masyarakat luas