Ramai publik mengakses data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) milik Rafael Alun Trisambodo, seorang eks pejabat eselon III di Direktorat Jenderal Pajak yang belakangan ini viral menjadi perbincangan publik.
Tercatat dalam laporan tersebut Rafael memiliki harta kekayaan sebesar 56 miliar. Sontak hal ini menjadi perbincangan publik. Pasalnya, anak Rafael bernama David yang menjadi tersangka kasus penganiayaan berat sering memamerkan harta (flexing) di media sosial.
Transparansi dan LHKPN: Diawasi Masyarakat
LHKPN ialah instrumen pemerintah untuk memantau kepemilikan harta bagi para pejabat yang mulai diberlakukan semenjak terbitnya UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
LHKPN bertujuan untuk mencegah tindak pidana korupsi dan mendeteksi peningkatan kekayaan secara tidak sah (illicit enrichment).
Melalui pelaporan harta, para pejabat akan berpikir ulang jika memiliki pendapatan dan harta yang tidak sesuai, karena LHKPN dapat diakses oleh siapapun secara transparan, masyarakat dapat mengawasi perilaku para pejabat dan membandingkan pendapatannya dengan harta yang dimiliki.
Tujuan lainnya adalah deteksi adanya illicit enrichment. Kenaikan harta para pejabat negara secara drastis atau mencurigakan akan dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh. Jika ada ketidaksesuaian maka diduga terjadi praktik illicit enrichment.
Misalnya seorang pejabat dengan total penghasilan bersih 30 juta setahun, akan tetapi memiliki tanah senilai milyaran dalam waktu yang relatif singkat, maka ini menjadi dasar atas dugaan adanya illicit enrichment.
Kasus Rafael ini seakan membuka mata kita semua tentang bagaimana penerapan LHKPN di Indonesia sekarang ini. Besarnya jumlah kekayaan memang bukan menjadi permasalahan utama dalam pelaporan LHKPN, ASN atau pejabat negara boleh saja memiliki harta dan kekayaan yang besar asalkan dapat dipertanggungjawabkan sumbernya.
Lantas Bagaimana Penerapan LHKPN Saat Ini?
Pertama, meskipun tujuan utama dari pelaporan LHKPN adalah untuk pencegahan korupsi dan mendeteksi illicit enrichment namun saat ini KPK sebagai lembaga yang bertugas mengelola LHKPN masih berorientasi pada kepatuhan pelapor, target keberhasilan diukur secara kuantitatif seberapa persen tingkat pelaporannya.
Hal ini terlihat dari kategori penghargaan yang diberikan KPK setiap tahun kepada kementerian/lembaga dan pemerintah daerah berdasarkan kecepatan dan ketepatan dalam pengisian laporan.
Banyak yang berlomba menyelesaikan laporannya sebelum batas waktu yang ditentukan (31 Maret) untuk mendapat penghargaan dan menjadi sebuah prestasi dalam pencegahan korupsi.
Kedua, verifikasi terhadap laporan bersifat administratif. KPK RI akan melakukan verifikasi terhadap laporan yang dikirim, namun sebatas administratif berupa kelengkapan atau pendukung data yang dibutuhkan.
Setelah itu akan diumumkan sebagai harta dan kekayaan pejabat yang bisa diakses oleh masyarakat. Verifikator tidak menyentuh hal yang bersifat substansi seperti kewajaran nilai harta.
Dalam kasus Rafael justru publik yang menemukan kejanggalan dalam laporannya. Sebuah tanah di Kabupaten Sleman yang diperoleh tahun 2021 seluas 525 m2 senilai Rp. 75.000.000, terdapat juga tanah dan bangunan seluar 337/115 m2 di Kota Manado senilai Rp. 182.113.000.
Selanjutnya wajar jika publik yang meragukan LHKPN tersebut dan menganggap laporan tidak menggambarkan kondisi sebenarnya.
Ketiga, tidak ada sanksi hukum yang jelas dan kuat. Secara regulasi sanksi terhadap para pejabat terkait dengan LHKPN ini sebatas sanksi administratif seperti penundaan kenaikan pangkat, pemotongan tunjangan dan menjadi pertimbangan dalam promosi jabatan.
Belum ada sanksi pidana terkait dengan hal ini, sehingga terkesan dalam pelaporannya hanya bersifat formalitas. Padahal, KPK sendiri sudah mengakui bahwa keakuratan pelaporan LHKPN hanya 5 %. Berarti ada 95 % laporan yang dibuat secara asal-asalan, hal ini secara tidak langsung merupakan praktik pembohongan publik.
Keempat, belum ada pemanfaatan LHKPN secara optimal. Selama ini LHKPN yang sudah diumumkan belum dijadikan dasar dalam penetapan atau penentuan hal strategis, misalnya dalam melakukan profiling seorang calon pejabat.
Mungkin hanya beberapa instansi saja yang telah melakukannya misalnya dalam pemilihan Calon Hakim Agung pada tahun 2020 Komisi Yudisial meminta KPK untuk menelusuri LHKPN milik masing-masing calon dan menjadikannya pertimbangan dalam menetapkan Hakim Agung.
Perlu Perubahan Signifikan
Sebenarnya kritik tentang LHKPN di Indonesia sudah banyak disampaikan oleh para akademisi, namun sayangnya belum ada perubahan signifikan hingga sekarang. Oleh sebab itu, perlu penguatan secara regulasi, pemberian sanksi yang tegas, proses verifikasi yang menyeluruh dan mengoptimalkan pemanfaatan LHKPN untuk hal yang strategis.
Jika KPK mengalami keterbatasan dalam melakukan proses verifikasi tidak ada salahnya jika melibatkan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah, tentu dengan pengawasan dan supervisi yang sangat ketat.
Semoga ini menjadi momentum untuk melakukan revitalisasi LHKPN sehingga dapat mencapai output dan outcome sesuai dengan yang diharapkan.
0 Comments