Hari-hari ini masyarakat menengah ke bawah, khususnya yang akan menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi, mendapat ujian tambahan – selain ujian karena kehadiran COVID-19. Diberitakan bahwa salah satu kampus kedinasan terkemuka di negeri ini, secara tiba-tiba, tidak akan melaksanakan penerimaan mahasiswa baru pada tahun 2020.
Sebelumnya, informasi yang beredar hanya menyebutkan tentang penundaan proses penerimaan karena pandemi COVID-19. Tentu saja, keputusan terakhir membuat jagat sosial-media milenial para calon “pejuang” (mereka menyebut begitu) untuk diterima di kampus tersebut, menjadi cukup mengharu-biru.
Kampus yang kita bicarakan adalah satu dari beberapa perguruan tinggi kedinasan (PTK) yang ada, yang menurut kajian KPK jumlahnya sampai tahun 2018 mencapai 179 kampus (KPK, 2018). Mungkin para pembaca sudah bisa menebak kampus yang mana.
Perdebatan tentang Keberadaan PTK
Jika kita menengok keberadaan PTK, sejarahnya dari dahulu memang sering diliputi perdebatan apakah PTK boleh ada atau tidak boleh ada. Pendukung eksistensi PTK merasa mereka membutuhkan SDM siap pakai terkait kompetensi kementerian / lembaga mereka, yang pada umumnya belum bisa didapat dari perguruan tinggi (PT) umum.
Tambahan lagi, kebutuhan akan SDM umum, yang dapat disediakan PT umum, tetap dibuka. Sebaliknya, PT umum merasa dengan adanya PTK maka kesempatan lulusan untuk mendapat pekerjaan atau mendapat pekerjaan yang sesuai dengan bidang keilmuan lulusan mereka menjadi lebih sulit. Jadi menyelenggarakan perguruan tinggi, apa lagi untuk PTS yang harus swadaya, menjadi semakin berat tantangannya.
Saat ini, sebetulnya persoalan telah bergeser kepada apakah keberadaan PTK tidak tumpang tindih dengan PT umum? Lanjutan masalah tersebut adalah, apakah keberadaan PTK memunculkan peluang korupsi atau inefisiensi?
Paling tidak itulah masalah yang menjadi tujuan KPK dalam kajiannya di tahun 2018 (KPK, 2018). Tentang keabsahan eksistensi PTK relatif telah selesai pasca terbitnya Undang-Undang 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Salah satu pasalnya mengakui keberadaan perguruan tinggi kedinasan (yaitu di Bab X Ketentuan Lain-Lain, Pasal 94).
Kebijakan yang Menggelitik
Namun, dengan absennya satu PTK populer dari penerimaan mahasiswa pada tahun ini, maka masalah tidak perlunya eksistensi PTK karena sudah ada PT umum rasanya akan muncul kembali. Bagi yang mengetahui dunia perguruan tinggi, mungkin akan merasa tergelitik dengan kebijakan absen tersebut.
Sebab, untuk suatu kampus yang sudah eksis dan tidak ada masalah legalitas apa-apa, menjadi disayangkan kok tiba-tiba tidak menerima mahasiswa. Tidakkah pengambil kebijakan tersebut memahami bahwa dalam akreditasi PT, kesinambungan penerimaan antartahun menjadi sangat vital untuk mendapat penilaian baik.
Bagi perguruan tinggi umum, tidak melakukan penerimaan mahasiswa pada suatu prodi pada satu tahun tertentu, menunjukkan adanya permasalahan penyerapan lulusan prodi tersebut di dunia kerja.
Sehingga, jikalau dikatakan bahwa alasan awal keberadaan PTK tersebut karena adanya kebutuhan SDM dengan kompetensi khusus, alasan tersebut menjadi tidak cukup kuat lagi. Kenyataannya, tidak menerima mahasiswa pun tidak apa-apa. Apalagi kejadian sekarang bukan peristiwa pertama.
Di masa PTK tersebut masih status quo, belum memiliki dasar hukum untuk keberadaannya, pernah juga dilakukan penghentian penerimaan mahasiswa. Khalayak mungkin akan berpikir, ya sudah, tidak usah dilakukan penerimaan untuk seterusnya saja.
Sekarang, dengan telah terbit peraturan eksistensi PTK dan telah ditetapkan statuta dari kebanyakan PTK, yaitu mengambil bentuk Politeknik, dan telah mendapat restu Kemendikbud, mengapa ada PTK masih melakukan moratorium penerimaan? Apakah peraturan yang dulu sengaja diterbitkan untuk mendasari keberadaan PTK tersebut, yang usianya masih belum lama, tidak dipikirkan secara matang?
Mungkin PTK bisa mengajukan alasan akan melakukan penataan penghitungan kebutuhan pegawai kembali dan memikirkan untuk lebih menganekaragamkan sumber penerimaan SDM. Tujuan lainnya agar tidak didominasi dari satu kampus tertentu, supaya nilai yang berkembang pada kementerian tempat PTK tersebut berada, lebih majemuk.
Alasan tersebut, sebenarnya secara tidak langsung membenarkan argumen pendukung tidak perlu ada PTK. PT umum dapat kembali terdorong meminta PTK dihapuskan kembali. Jadi seakan muncul keadaan bahwa sebenarnya dari PT umum dan Kemendikbud sendiri sudah rela dengan adanya PTK, tetapi dari PTK sendiri menunjukkan bahwa eksistensi mereka tidak benar-benar urgent.
Introspeksi untuk Perguruan Tinggi
Terlepas dari perdebatan di atas, semua perguruan tinggi selayaknya melakukan introspeksi dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
- Sejauh manakah kualitas kurikulum yang telah mereka desain pada program-program studi mereka?
- Sejauh manakah mereka memprediksikan dunia kerja di masa depan akan seperti apa?
- Bagaimana tantangan masa depan tersebut telah dijawab dengan menyiapkan SDM mahasiswa dari sekarang, tiga-empat tahun sebelum masanya tiba?
- Sejauh manakah mereka tidak dikendalikan oleh keyakinan keliru masyarakat, bahwa gelar kesarjanaanlah yang penting, bukan kompetensi di pekerjaan?
Data lulusan PT kita menunjukkan jauh lebih banyak sarjana akademik yang diluluskan dibanding para profesional kompeten yang siap bekerja. Padahal, suatu bangsa tidak hanya butuh para sarjana yang memang dicetak untuk menjadi manajer, para pengambil keputusan, dan menjadi para peneliti, yang akan menjawab berbagai problem organisasi.
Akan tetapi perguruan tinggi juga harus mencetak SDM yang kompeten dan memang siap bekerja. Keadaan sekarang para sarjana kita lebih banyak yang tanggung, menjadi peneliti atau manajer kurang mumpuni, tapi masuk di lapangan tidak siap.
Yang terpenting, mengapa peristiwa suatu kampus tidak menerima pendaftaran mahasiswa gaungnya terasa besar, bisa dilihat dari pupusnya harapan para lulusan SMA atas kampus yang menjadi sandaran terakhir mereka. Kunci suatu perguruan tinggi dapat menjadi magnet sangat kuat kepada lulusan SMA sebetulnya hanya ada dua.
Pertama, syarat ringan secara biaya, yaitu PT tersebut memberikan beasiswa atau tidak mengenakan biaya pendidikan. Syarat ini hanya menjadi syarat cukup saja (sufficient condition), yang membuka kesempatan banyak warga kurang mampu dapat melanjutkan pendidikan anak-anak mereka di sana. Kedua, syarat penting yang harus ada (necessary condition), yaitu setelah lulus, mereka mendapat jaminan kerja dan penghasilan relatif baik.
Epilog
Jadi sebenarnya bentuk PT atau PTK tidak penting bagi masyarakat. Bagi mereka, yang penting ialah bagaimana PT yang ada mampu menjawab dengan baik pertanyaan-pertanyaan di atas. Khusus bagi pemerintah, dapat membuka beberapa PT semacam ini, masih sangat dinantikan masyarakat.
Jika semua masalah dan syarat tersebut sudah dapat dijawab, rasanya kita tidak akan lagi kehabisan energi memperdebatkan hal yang tidak esensial. Karena akan cukup sibuk melaksanakan pekerjaan yang efektif, yaitu mendesain kurikulum dan mengawal proses pendidikan di PT dengan baik sehingga bisa link and match dengan kebutuhan dunia kerja (semua lulusan PT terserap dengan baik) serta PT dapat memberikan kesempatan pendidikan seluas-luasnya dengan biaya terjangkau. Semoga.
Penulis adalah dosen pada PKN STAN - Kemenkeu RI yang memulai karirnya pada 1996 setelah lulus dari kampus tersebut. Penulis selanjutnya melanjutkan studi S1 di Program Ekstension FEUI dan di Magister Sains Ilmu Akuntansi UGM. Pernah pula berkantor di Balai Diklat Keuangan Yogyakarta, kemudian di Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan, di Ciawi, Bogor, serta di Pusdiklat Keuangan Umum, Jakarta, sebelum kembali bergabung di kampus PKN STAN pada tahun 2016.
Beberapa tulisannya tersebar di Majalah A&P, serta setelah menjadi dosen dapat dilihat pada google scholar pada tautan berikut https://scholar.google.co.id/citations?hl=id&user=mvDIhAcAAAAJ serta pada research gate pada tautan https://www.researchgate.net/profile/Soffan_Marsus2
Tulisan yang menarik pak, problem nya dari dulu memang seperti itu bagaiamana kualitas demand yg ditawarkan PT umum, apakah mumpuni sesuai ekspektasi supply. Terlebih tantangan saat ini, penawaran kerja yang sangat minim sehinggi penyerapan tenaga kerja pun tidak bisa maksimal. Hal ini membuat dorongan bagaimana para milenial menyiapkan startup mereka. Tentu, peluang ini harus dimanfaatkan pemerintah untuk menyiapkan kurikulum yg tidak hanya akademik tapi juga non-akademik termasuk entrepeuner