
Isu perubahan iklim kini mulai mendapatkan perhatian yang cukup intens dalam dunia pendidikan di tanah air.
Hal tersebut dapat kita lihat antara lain dengan diterbitkannya Panduan Implementasi Pendidikan Perubahan Iklim oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada Agustus 2024.
Berdasarkan rilis yang dimuat di berbagai media, panduan tersebut ditujukan untuk mengembangkan kesadaran warga satuan pendidikan terhadap isu perubahan iklim serta memandu mereka dalam mengambil tindakan-tindakan yang relevan dan berhasil guna dalam menanggulangi krisis iklim.
Sejalan dengan itu, Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar dalam beberapa kesempatan mengemukakan gagasan tentang ekoteologi. Ide tersebut menekankan tentang pentingnya integrasi nilai-nilai ajaran agama dengan upaya pelestarian alam.
Menag menginginkan agar perspektif ekoteologi dapat dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan agama dan keagamaan pada satuan pendidikan di bawah naungan Kementerian Agama.
Kebijakan di bidang pendidikan yang tanggap terhadap perubahan iklim patut diapresiasi. Setidaknya empati terhadap persoalan krisis iklim tidak lagi terkesan hanya milik mereka para pegiat lingkungan, yang acapkali diposisikan berada pada kubu berseberangan dengan elite pembuat kebijakan.
Rivalitas tersebut antara lain terlihat jelas dari polemik yang berkembang dalam menyikapi kebijakan pemberian konsesi tambang bagi organisasi kemasyarakatan (ormas).
Sebuah Paradoks
Kritik para aktivis lingkungan terhadap pemberian konsesi tambang untuk ormas bukan tanpa alasan. Dalam jurnal internasional PNAS (The Proceedings of the National Academy of Sciences), sebagaimana dikutip National Geographic Indonesia pada 21 September 2022, disebutkan bahwa kegiatan pertambangan telah menyumbang sekitar 58,2% pembalakan hutan di Indonesia.
Hasil studi lainnya yang tidak kalah mencengangkan adalah riset yang dilakukan Greenpeace Indonesia bersama Center of Economics and Law Studies (Celios) berjudul “Kesejahteraan Semu di Sektor Ekstraktif”.
Penelitian yang didasarkan pada data Badan Pusat Statistik (BPS)
tentang potensi desa tahun 2018 dan 2021 tersebut menyimpulkan, bahwa desa-desa yang menjadikan sektor pertambangan sebagai basis utama perekonomiannya seringkali mengalami dampak sosial dan lingkungan yang tidak sepadan dengan asumsi
peningkatan kesejahteraan bagi warganya.
Sekelumit laporan penelitian tersebut menggambarkan betapa paradoksnya kebijakan yang diambil dengan dampak yang ditimbulkannya. Seolah tanda-tanda alam tidak juga memberi dorongan kuat bagi perumusan kebijakan yang mempertimbangkan aspek mitigasi terhadap perusakan lingkungan.
Berkenaan dengan itu, maka tidak berlebihan rasanya, jika pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana kebijakan pendidikan perubahan iklim yang ingin diimplementasikan benar-benar ditujukan untuk membangun ketahanan iklim di masa depan.
Pendidikan sejatinya bukan menjadi tanggung jawab lembaga pendidikan semata. Pendidikan merupakan sebuah ekosistem di mana satu bagian dengan bagian lainnya saling berkaitan dan bersifat interdependensi.
Menurut Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara, ada tiga lingkungan pendidikan yang berkontribusi secara timbal balik dalam menghasilkan lulusan yang kompeten. Tiga lingkungan tersebut dikenal dengan istilah Tri Pusat Pendidikan, yang meliputi lembaga pendidikan itu sendiri, keluarga, dan masyarakat.
Pendidikan perubahan iklim yang diberikan di sekolah, bila tidak disertai dukungan menyeluruh dari sentra pendidikan lainnya baik di keluarga maupun masyarakat, kemungkinan besar akan menemui jalan buntu dalam melakukan transformasi nilai pada diri peserta didik.
Bagaimana mungkin perubahan sikap dan perilaku akan terjadi, bila yang dialami peserta didik secara faktual adalah kesenjangan nilai antara idealisme dan realita.
Di satu sisi, peserta didik menerima ajaran normatif tentang urgensi menjaga kelestarian lingkungan melalui kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Sedangkan pada sisi yang lain, mereka secara langsung menyaksikan eksploitasi alam secara masif sedemikian rupa, yang mereka temui bahkan di keluarga atau masyarakat terdekat, dengan dalih untuk meningkatkan taraf kehidupan ekonomi menuju arah yang lebih baik.
Efektivitas implementasi pendidikan perubahan iklim sepatutnya tidak hanya disandarkan pada sejauh mana keberhasilan proses transfer pengetahuan dan pengalaman praktik yang terjadi di sekolah.
Kebijakan tersebut perlu didukung dengan kebijakan lain yang bersinergi dengannya. Keputusan politik terkait isu-isu lingkungan yang dipandang ambigu oleh publik, akan dapat mengaburkan pesan esensial yang terkandung dalam pendidikan perubahan iklim.
Menyongsong 2030, Ambang Kritis Perubahan Iklim
Sejumlah lembaga otoritatif dunia terkait perubahan iklim merilis peringatan, apabila sampai tahun 2030 tidak terjadi perubahan yang signifikan dalam upaya penanggulangan krisis iklim, diprediksi umat manusia akan mengalami berbagai bencana global di masa depan.
Sinyalemen ini berkorelasi dengan pernyataan Ketua BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) Dwikorita Karnawati, bahwa Gen Z dan Alpha menjadi generasi yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Kebijakan pendidikan perubahan iklim seyogianya tidak terjebak
pada pilihan-pilihan pragmatis ataupun populis yang bersifat jangka pendek. Kebijakan tersebut tidak tepat bila diposisikan sebatas respons atas konsekuensi perjanjian internasional perubahan iklim di mana Indonesia turut andil di dalamnya.
Pendidikan perubahan iklim juga tidak layak dijadikan sebagai alat pemanis kebijakan untuk mengesankan bahwa negara hadir dan melakukan langkah konkret antisipasi dampak krisis iklim.
Pendidikan perubahan iklim harus menjadi komitmen bersama para pemangku kepentingan demi menjamin keberlanjutan visi mulia yang melatarbelakanginya.
Seperti apa wajah bumi yang diwariskan kepada generasi penerus, amat ditentukan oleh konsistensi kita bersama dalam menduplikasi kesadaran dan daya tanggap perubahan iklim kepada generasi berikutnya.
Rentang waktu menuju tahun 2030 yang tinggal menghitung hari membutuhkan aksi-aksi progresif penyelamatan bumi sedini mungkin.
Boleh jadi, masa depan bumi tidaklah semenakutkan seperti yang diramalkan oleh para ilmuwan, dan pendidikan perubahan iklim bisa jadi merupakan salah satu instrumen yang menyumbang keberhasilan dalam menghadirkan lingkungan alam yang lebih bersahabat bagi generasi masa depan.
Penulis: Apriyadi Wardoyo, ASN pada Kementerian Agama














0 Comments