Prof. Anwar Nasution, salah seorang ekonom Indonesia yang pernah juga menjabat sebagai Ketua BPK periode 2004-2009, dalam artikelnya berjudul “Pemikir Strategi Kebijakan” (Kompas 11/06/2019), menulis bahwa pemerintah belum memiliki lembaga pemikir yang dapat memberikan nasihat kepada presiden dan pemerintah berdasarkan analisis dan opini keahlian yang dilandasi oleh fakta lapangan, grafik, ataupun riset yang serius.
Meskipun isu tentang think tank atau lembaga pemikir tidak cukup seksi bagi banyak kalangan, tetapi esensi yang ingin disampaikan oleh Prof. Anwar sesungguhnya sangat penting. Sebab, jangankan untuk level negara; keberadaan kelompok pemikir sangat penting dalam menentukan eksistensi dan relevansi sebuah organisasi, sekecil apapun itu, di tengah arus deras perubahan lingkungan strategisnya.
Artinya, ketiadaan pemikir bagi sebuah organisasi akan mempengaruhi kualitas kebijakan, daya saing, dan hasil kerja (outcomes) organisasi tersebut secara negatif.
Tentang pentingnya think tank ini, Rohinton Medhora, Presiden Centre for International Governance Innovation (CIGI), memberi penjelasan bahwa manfaat terbesar think tank adalah memberi pengaruh dan mendorong perubahan melalui ide dan network.
Think tank yang baik, menurut Medhora, bukanlah apakah yang dihasilkan olehnya benar atau salah, tetapi apakah itu menuntun pada diskusi dan pilihan kebijakan berbasis bukti atau tidak. Sebagaimana diyakini secara luas, kebijakan yang berkualitas adalah kebijakan yang diformulasikan berdasarkan bukti yang valid, reliabel, dan kredibel (evidence-based policy). Maka, lemahnya fungsi pemikir di sebuah institusi atau negara, akan berkorelasi positif terhadap rendahnya kualitas kebijakan di institusi atau negara tersebut.
Potret Think Tank di Indonesia
Lantas, bagaimana potret think tank di Indonesia? Benarkah kita (pemerintah Indonesia) tidak memiliki lembaga pemikir sebagaimana disinyalir oleh Prof. Anwar? Argumen dalam tulisan ini tidak berpretensi untuk membenarkan, tidak pula sebagai counter terhadap pandangan Prof. Anwar, melainkan lebih untuk menggugah kesadaran kolektif bangsa dalam mengelola sumber daya intelektual secara lebih terstruktur agar memberi kontribusi maksimal bagi kemajuan bangsa.
James G. McGann, dalam publikasi berjudul “2018 Global Go to Think Tank Index Report” (2019) menyebut bahwa Indonesia hanya memiliki 31 lembaga think tank, sangat jauh tertinggal dari AS (1871), India (509), China (507), Inggris (321), dan Argentina (227), sebagai 5 negara dengan jumlah lembaga pemikir terbanyak.
Namun, Indonesia masih yang terbaik dibanding negara tetangga seperti Malaysia yang hanya memiliki 23 lembaga pemikir, atau Singapura (18), Thailand (15), Vietnam (11), Brunei (8), Laos (4), dan Timor Leste (1).
Laporan McGann juga menyebutkan bahwa CSIS (Centre for Strategic and International Studies) adalah think tank terbaik di wilayah Asia Pasifik, mengalahkan Institute of Defense and Strategic Studies (Singapura), Australian Institute for International Affairs, Centre for Strategic Studies (New Zealand), Centre for Public Policy Studies (Malaysia), Taiwan Foundation for Democracy, dan seterusnya.
Selain CSIS, masih ada 3 think tank Indonesia yang masuk kategori Top Think Tanks in Southeast Asia and Pacific, yakni Economic Research Institute for ASEAN and East Asia di peringkat 11, Lembaga Studi Kapasitas Nasional (Institute of National Capacity Studies, 53), dan Center for Indonesian Policy Studies (74). Selain ke-4 lembaga tersebut, CIFOR dan ICW juga dinobatkan sebagai salah satu think tank terbaik di bidangnya masing-masing.
Lembaga Pemikir dalam Pemerintahan
Selain think tank dari kalangan non government organization (NGO) di atas, dalam pandangan penulis Indonesia juga memiliki pemikir maupun lembaga pemikir yang cukup banyak dan bonafide dari kalangan pemerintahan atau non-NGO.
Keberadaan perguruan tinggi negeri maupun swasta dengan sederet civitas akademiknya yang bergelar Master, Doktor, hingga Profesor, pada dasarnya adalah aset intelektual milik kita. Demikian pula institusi pengkajian dan penelitian seperti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) , Lemhanas (Lembaga Ketahanan Nasional) , Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), LAN (Lembaga Administrasi Negara), hingga Balitbang (Badan Penelitian dan Pengembangan) di setiap K/L/D, adalah entitas yang oleh Henry Mintzberg disebut sebagai technostructure, yakni lembaga yang memiliki fungsi utama melakukan analisis dan perumusan rekomendasi bagi pimpinan organisasi.
Di level individu pegawai, program pembinaan bagi kelompok pemikir juga terus digalakkan, salah satunya oleh LAN melalui jabatan fungsional Analis Kebijakan (AK). AK adalah jabatan fungsional yang relatif baru, yang dibentuk sebagai respon terhadap tuntutan reformasi birokrasi yang semakin tinggi.
Salah satu spirit reformasi yang cukup menonjol dibalik pembentukan jabatan fungsional ini dapat dibaca dari Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan RB No. 5/2012), pasal 42, yang berbunyi:
“Dengan ditetapkannya jabatan fungsional Analis Kebijakan, jabatan struktural eselon III dan eselon IV di masing-masing instansi perlu ditinjau kembali”.
Tegas dan gamblang sekali amanat Permenpan RB bahwa pembentukan Analis Kebijakan berorientasi pada perampingan struktur birokrasi sekaligus penguatan profesionalisme jabatan. Para analis kebijakan inilah yang diarahkan sebagai critical mass dalam birokrasi yang berfungsi selaku knowledge intermediary atau jembatan antara akademisi dengan pengambil keputusan.
Merefleksi Lembaga Pemikir yang Telah Ada
Permasalahan yang harus dijawab sekarang adalah, jika secara faktual kita telah memiliki banyak pemikir dan lembaga pemikir, mengapa terkesan kita tidak merasakan manfaatnya, sehingga presiden (juga pimpinan organisasi di level tertentu) tidak merasa memiliki cukup input yang bergizi untuk merumuskan kebijakan-kebijakan strategisnya?
Ini adalah problem tentang manajemen modal intelektual. Ketika belum lama ini media diramaikan oleh diskusi seputar perlu tidaknya pembentukan BRN (Badan Riset Nasional), sementara sudah ada puluhan – bahkan ratusan – lembaga penelitian, itupun adalah problem pengelolaan tadi. Maka, sulit dicegah munculnya sinisme bahwa fungsi analisis dan pengkajian dalam institusi publik hanyalah sebuah pemborosan belaka.
Oleh karena itu, kritik Prof. Anwar harus dijadikan sebagai momentum untuk membenahi tata kelola lembaga pemikir. Sangat dimungkinkan, isu fragmentasi lembaga pemikir ini perlu dikanalisasi ke dalam fungsi salah satu kementerian.
Selain pendekatan kelembagaan di atas, upaya pembenahan juga harus dilakukan melalui penciptaaan big data sebagai perangkat yang mewadahi hasil-hasil kajian lintas lembaga pemikir. Dengan adanya big data ini akan dapat dihindarkan tumpang tindih kajian, sekaligus dapat menjadi basis dilakukannya meta-riset, sebuah aktivitas yang amat langka dilakukan oleh lembaga pemikir saat ini.
Instrumen big data inipun akan sangat bermanfaat sebagai virtual market yang mempertemukan kebutuhan konsumen (presiden, menteri, atau para pimpinan organisasi) dengan produsen (lembaga pemikir). Dengan kata lain, presiden akan dengan cepat mendapatkan input untuk merumuskan kebijakan strategis melalui big data riset dan ilmu pengetahuan ini.
Demikian. Semoga bermanfaat!
Penulis merupakan Deputi Bidang Kajian Kebijakan dan Inovasi Administasi Negara (KKIAN) LAN RI. Lahir di Yogyakarta pada tanggal 15 Juli 1968, meraih gelar Sarjana Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) pada tahun 1992. Studi jenjang S-2 beliau teruskan di Graduate School of International Development (GSID) Nagoya University Jepang dan lulus dengan gelar Master of Arts (MA) pada tahun 2004. Selanjutnya, pada tahun 2015 beliau meraih gelar Doktor bidang Ilmu Administrasi Publik dari Sekolah Pascasarjana Univesitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Di luar tugas formal sebagai Deputi, beliau juga menjadi reviewer beberapa jurnal nasional, pengajar program Magister di STIA LAN Jakarta, narasumber/penceramah dalam Pelatihan Kepemimpinan Nasional serta pembicara dam forum-forum ilmiah nasional maupun internasional.
Beliau cukup banyak mempublikasikan buah pikir dalam bentuk buku, artikel jurnal, proceeding, maupun artikel populer di berbagai media massa seperti The Jakarta Post, Kompas, Sinar Harapan, Media Indonesia, Republika, Suara Pembaruan, dan sebagainya.
0 Comments