Program 100 Hari Kabinet Merah Putih untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan: Menghadapi Krisis Iklim dan Efisiensi Sumber Daya

by | Oct 27, 2024 | Birokrasi Berdaya | 2 comments

Sejak pelantikan Kabinet Merah Putih, Indonesia telah memasuki babak baru dalam menghadapi berbagai tantangan global, terutama terkait krisis iklim dan efisiensi sumber daya alam.

Dua kementerian yang sangat penting dalam konteks ini adalah Kementerian Lingkungan Hidup yang kini dipimpin oleh Hanif Faisol Nurrofiq, dan Kementerian Kehutanan yang dipimpin oleh Raja Juli Antoni. 

Keduanya memiliki tanggung jawab besar
untuk mempersiapkan Indonesia dalam menghadapi tantangan krisis iklim
serta memastikan pembangunan berkelanjutan yang sesuai dengan tujuan
Sustainable Development Goals (SDGs).

Dalam upaya untuk memastikan keberhasilan langkah awal kabinet ini, program 100 hari pertama menjadi sangat penting sebagai landasan dari berbagai kebijakan yang akan datang. 

Program ini dirancang dengan tujuan untuk memastikan kesiapan Indonesia dalam menghadapi krisis iklim, menjaga efisiensi sumber daya, dan mendorong kolaborasi lintas sektor yang berkesinambungan. Berikut ini adalah beberapa langkah kunci yang menjadi fokus dalam program 100 hari tersebut:

1. FEW in ONE (Food, Energy & Water) untuk Seluruh Wilayah NKRI

Langkah pertama yang harus dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan adalah memastikan ketersediaan Food, Energy, and Water (FEW) di seluruh wilayah Indonesia. Konsep FEW in ONE menekankan pentingnya ketahanan pangan, energi, dan air sebagai fondasi utama bagi pembangunan yang berkelanjutan. 

Indonesia harus menghadapi kenyataan bahwa krisis iklim tidak hanya akan mempengaruhi ekosistem, tetapi juga sumber daya dasar seperti air bersih, pangan, dan energi. Ketersediaan air semakin berkurang akibat perubahan pola cuaca, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi produksi pangan. 

Oleh karena itu, kebijakan integratif yang menghubungkan ketiga sektor ini menjadi sangat krusial dalam program 100 hari pertama.

Kementerian Lingkungan Hidup di bawah Hanif Faisol Nurrofiq, bersama Kementerian Kehutanan yang dipimpin Raja Juli Antoni, harus segera memetakan wilayah-wilayah yang rentan terhadap krisis sumber daya. Tindakan preventif harus diambil untuk mengelola sumber daya tersebut secara berkelanjutan dan memastikan akses yang merata di seluruh Indonesia.

2. Kolaborasi Multi-Sektor untuk Pembangunan Berkelanjutan

Salah satu tantangan terbesar dalam menjalankan program ini adalah menjaga agar kolaborasi antar sektor tidak terpecah-pecah. Seringkali, sektor-sektor yang terlibat dalam pembangunan berkelanjutan bekerja secara terpisah sehingga tidak mencapai sinergi yang optimal. 

Dalam konteks ini, pemerintah harus memastikan bahwa semua pihak bekerja bersama untuk mencapai 17 poin SDGs.

Kolaborasi antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan harus terjalin dengan baik, tidak hanya di tingkat pusat, tetapi juga di tingkat lokal dan komunitas. Dalam hal ini, peran pemerintah daerah menjadi sangat penting untuk mengimplementasikan kebijakan yang sejalan dengan program nasional.

Indonesia harus belajar dari negara-negara lain yang telah berhasil membangun sinergi lintas sektor, khususnya di bidang lingkungan hidup dan kehutanan. Dengan adanya koordinasi yang kuat antara kedua kementerian, diharapkan program pembangunan berkelanjutan di Indonesia akan semakin kokoh dan berdampak luas.

3. Menyikapi Situasi Global dan Krisis Multi-Dimensi

Krisis iklim tidak lagi menjadi isu yang hanya terjadi di beberapa wilayah dunia, melainkan sudah menjadi masalah global yang berdampak pada hampir semua negara. 

Indonesia harus melihat situasi ini dengan serius, mengingat dampak dari krisis iklim ini tidak hanya terbatas pada aspek lingkungan, tetapi juga menyangkut berbagai aspek kehidupan lainnya, termasuk ekonomi, politik, dan sosial.

Program 100 hari ini harus dimulai
dengan penyusunan kebijakan yang peka terhadap krisis multi-dimensi ini. Indonesia harus memperkuat posisinya dalam kancah global dengan meningkatkan diplomasi lingkungan, serta bekerja sama dengan negara-negara lain dalam menghadapi krisis ini. 

Pada saat yang sama, kebijakan domestik harus disesuaikan untuk mengurangi risiko krisis yang lebih luas di dalam negeri.

4. Penanganan Sampah yang Terintegrasi

Isu penanganan sampah di Indonesia telah mencapai titik darurat. Pemerintah harus segera bertindak untuk mengatasi permasalahan ini dengan serius. Dalam hal ini, program 100 hari pertama harus menempatkan penanganan sampah sebagai prioritas utama.

Penting bagi Kementerian Lingkungan Hidup untuk bekerja sama dengan para ahli di bidang pengelolaan sampah, termasuk dengan Ibu Sri Bebassari, seorang pakar persampahan yang sudah menulis buku berjudul Sampahku Tanggung Jawabku, Kebersihan adalah Investasi

Buku ini memuat panduan penting yang menekankan lima aspek utama dalam pengelolaan sampah, yang harus diimplementasikan dalam kebijakan nasional. Aspek-aspek tersebut meliputi pengelolaan sampah dari hulu ke hilir, pemanfaatan sampah sebagai sumber daya, serta partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan.

Dalam 50 hari pertama, Kementerian Lingkungan Hidup harus memastikan bahwa sistem pengelolaan sampah yang terintegrasi ini sudah mulai berjalan di berbagai daerah. Sistem ini harus melibatkan pemerintah daerah, sektor swasta, serta masyarakat, agar penanganan sampah tidak lagi menjadi masalah yang tertunda.

5. Membuka Ruang Bagi Partisipasi Publik

Program 100 hari ini juga harus memberikan ruang yang luas bagi masyarakat untuk terlibat dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan lingkungan hidup dan kehutanan. Salah satu cara untuk mewujudkan hal ini adalah dengan membuka saluran komunikasi langsung antara masyarakat dan pemerintah.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan harus segera meluncurkan pusat pengaduan atau call center khusus yang dapat diakses oleh masyarakat untuk menyampaikan ide, kritik, dan saran. 

Call center ini harus mampu menangani aspirasi masyarakat dengan cepat dan efisien, sehingga kebijakan yang diambil pemerintah benar-benar mencerminkan kebutuhan masyarakat.

Saluran komunikasi ini juga dapat digunakan untuk memantau implementasi kebijakan di lapangan, serta menjadi media bagi masyarakat untuk melaporkan masalah-masalah yang terkait dengan lingkungan hidup dan kehutanan, seperti illegal logging, polusi, dan perusakan hutan.

3
0
Lyta Permatasari ◆ Active Writer

Lyta Permatasari ◆ Active Writer

Author

Penulis merupakan Alumni S3 Ilmu Lingkungan Universitas Brawijaya, seorang ASN Analis Pemberdayaan Masyarakat Ditjen PSKL Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Alumni Best Diplomats Leadership 2023.

2 Comments

  1. Avatar

    CommentNeng tolong di japri kan ke saya 17 poin SDGs.
    Saya tunggu tulisan berikutnya.
    Salam satu bumi

    Reply
  2. Avatar

    Halo mba Lyta Permatasari…

    izin untuk menanggapi ya mba…
    1. Pusat pengaduan atau call center bukannya sdh ada mba, baik di gedung MWB maupun yg di kebon nanas, bahkan Ditjen PHLHK pun menyediakan pusat aduan masyarakat
    2. Efisiensi sumber daya yg dimaksud itu sumber daya alam atau sumber daya lainnya, belum spesifik
    3. Pemetaan masalah menurut saya masih dicampur adukkan padahal sdh jelas kewenangan itu sdh dipisahkan ( KLH vs Kehutanan) contoh FEW in one merupakan kewenangan KLH bukan KLHK

    Makasih

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post