
Belum lama ini, sebanyak 30 Wakil Menteri (Wamen) dari Kabinet Merah Putih ditunjuk sebagai komisaris atau komisaris utama di berbagai perusahaan BUMN. Perdebatan pun tak terhindarkan.
Ada yang mengangguk setuju, melihatnya sebagai langkah strategis yang efisien. Namun, tak sedikit pula yang menggelengkan kepala, merasa ada yang janggal, bahkan terasa menyakitkan di tengah realitas sosial yang begitu kontras. Pengangguran masih meluas dan mencari pekerjaan makin sulit.
Narasi Pro – Sah Secara Hukum
Dari sudut pandang pemerintah dan para pendukung kebijakan ini, penunjukan Wamen sebagai komisaris adalah langkah yang logis dan bahkan diperlukan. Mereka berargumen bahwa tidak ada satu pun aturan yang dilanggar.
“Ini sah secara hukum,”
ujar seorang pejabat sambil menunjuk pada lembaran undang-undang dan putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang disebut tidak secara eksplisit melarang rangkap jabatan Wamen sebagai komisaris, selama tidak terjadi konflik kepentingan.
Bagi mereka yang berada di lingkaran kekuasaan, ini adalah tentang efisiensi. Seorang Wamen sebagian di antaranya telah lama berkecimpung di pemerintahan, memahami seluk-beluk birokrasi, dan memiliki jaringan yang luas.
Dengan menempatkannya di jajaran komisaris BUMN, diharapkan ia dapat menjadi jembatan yang kuat antara kebijakan pemerintah dan operasional perusahaan negara. “Ini akan mempercepat sinergi,” demikian keyakinan mereka.
Sinergi yang dimaksud adalah bagaimana BUMN dapat lebih selaras dengan visi pembangunan nasional, bagaimana proyek-proyek strategis dapat berjalan lebih mulus, dan bagaimana aset negara dapat dikelola dengan lebih optimal.
Seorang pendukung kebijakan ini menjelaskan, “Wamen punya pengalaman, punya akses informasi yang tidak dimiliki orang lain. Mereka bisa membawa perspektif makro ke dalam manajemen BUMN, memastikan bahwa perusahaan tidak hanya mencari untung, tetapi juga berkontribusi pada kesejahteraan rakyat.”
Ada harapan tulus di balik argumen ini, bahwa dengan kehadiran Wamen, BUMN akan menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan negara, lebih inovatif, dan pada akhirnya, lebih menguntungkan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mereka melihat ini sebagai investasi sumber daya manusia yang strategis, sebuah upaya untuk menempatkan orang-orang terbaik di posisi kunci demi kemajuan bersama.
Narasi Kontra – Konflik Kepentingan
Di sisi lain, kritik keras datang bak badai yang menerjang. Bagi banyak kalangan, rangkap jabatan ini bukan hanya masalah hukum, tetapi lebih pada masalah etika dan rasa keadilan.
“Bagaimana mungkin seorang Wamen bisa fokus pada tugas utamanya membantu menteri, sementara ia juga harus memikirkan keuntungan BUMN?”, demikian keluh seorang aktivis masyarakat sipil, yang melihat potensi konflik kepentingan sebagai hantu yang siap menerkam kapan saja.
Sebagai contoh, seorang Wamen yang bertugas merumuskan kebijakan di sektor energi, tiba-tiba juga duduk sebagai komisaris di sebuah BUMN energi.
Bagaimana ia bisa bersikap objektif ketika harus membuat keputusan yang mungkin menguntungkan BUMN tempat ia menjadi komisaris, namun berpotensi merugikan kepentingan publik yang lebih luas?
Kekhawatiran ini bukan sekadar teori, namun punya potensi besar menjadi bayangan yang menghantui integritas kebijakan publik. Fokus dan efektivitas kerja Wamen bisa terganggu, terpecah antara loyalitas kepada negara dan loyalitas kepada perusahaan.
Yang paling menyentuh hati dan memicu kemarahan publik adalah dimensi sosial dari kebijakan ini. Di tengah angka pengangguran yang masih tinggi, di mana jutaan pemuda dan sarjana berjuang keras mencari pekerjaan yang layak, penunjukan para pejabat elit sebagai komisaris BUMN terasa seperti tamparan keras di wajah.
“Kami di sini susah payah cari kerja,
bahkan untuk posisi staf pun persaingannya luar biasa, tapi mereka yang sudah punya jabatan tinggi malah dapat ‘jatah’ lagi?”, teriak seorang sarjana baru yang sedang berjuang
mengirimkan lamaran ke puluhan perusahaan.
Rasa ironi sosial ini begitu kuat. Ketika masyarakat sedang berjuang dengan kenaikan harga kebutuhan pokok, upah yang stagnan, dan ketidakpastian ekonomi, melihat para pejabat yang sudah mapan mendapatkan posisi tambahan dengan imbalan finansial yang besar, melukai rasa keadilan.
Ini bukan hanya tentang angka pengangguran; ini tentang perasaan diabaikan, tentang ketidaksetaraan kesempatan, dan tentang pertanyaan mendasar: untuk siapa sebenarnya negara ini bekerja?
Kritik ini bukan semata-mata cemburu sosial. Ia adalah ekspresi dari harapan yang terkoyak, bahwa setiap warga negara, tanpa memandang latar belakang, memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi dan mendapatkan penghidupan yang layak.
Ketika kebijakan terasa hanya menguntungkan segelintir orang, kepercayaan publik terhadap sistem akan terkikis, dan itu adalah kerugian yang jauh lebih besar daripada sekadar efisiensi finansial.
Balas Budi Berlebih?
Di balik narasi efisiensi dan legalitas, muncul pula bisikan-bisikan politik yang lebih sinis. Kecurigaan bahwa penunjukan Wamen sebagai komisaris merupakan bagian dari “bagi-bagi jatah kekuasaan” pasca Pemilu, adalah sebuah asumsi yang sulit dihindari.
Banyak dari Wamen yang ditunjuk adalah figur yang memiliki kedekatan politik dengan Presiden atau partai pendukungnya.
“Apakah ini murni karena profesionalisme, atau ada udang di balik batu?”, terdengar pertanyaan dari seorang pengamat politik independen. Dalam konteks ini, jabatan Wamen saja tampak belum cukup sebagai bentuk balas budi politik, sehingga ditambah dengan insentif jabatan komisaris di BUMN.
Penunjukan ini menimbulkan kesan bahwa posisi strategis di pemerintahan dan perusahaan negara telah menjadi bagian dari paket penghargaan politik, bukan semata-mata berdasarkan kebutuhan profesional.
Fenomena ini, jika benar, dapat merusak meritokrasi dan profesionalisme dalam birokrasi dan manajemen BUMN. Ketika posisi penting diberikan berdasarkan kedekatan politik daripada kompetensi, maka kualitas tata kelola akan terancam.
Seorang Wamen yang ditunjuk sebagai komisaris mungkin memang memiliki kapabilitas, namun pertanyaan yang muncul adalah: apakah ia yang terbaik di antara yang terbaik, ataukah ia hanya yang paling dekat dengan pusat kekuasaan?
Pemerintah, tentu saja, membantah tudingan tersebut. Mereka menegaskan bahwa penunjukan dilakukan berdasarkan pertimbangan profesional, bukan semata-mata karena afiliasi politik.
“Para Wamen ini punya kapasitas dan pengalaman yang relevan untuk memperkuat tata kelola BUMN,” demikian narasi yang dikeluarkan pemerintah, berusaha meyakinkan publik.
Namun, di tengah masyarakat yang semakin kritis dan melek informasi, pembuktian klaim ini memerlukan lebih dari sekadar pernyataan; ia membutuhkan tindakan nyata dan transparansi yang tak tergoyahkan.
Solusi: Transparansi dan Evaluasi Berkala
Untuk menjembatani jurang antara pro dan kontra ini, solusi terbaik adalah transparansi dan evaluasi berkala. Ini bukan hanya tentang memenuhi prosedur, tetapi tentang membangun kembali jembatan kepercayaan yang mungkin telah runtuh di hati masyarakat.
Pemerintah perlu membuka data kinerja para Wamen yang merangkap jabatan komisaris. Ini berarti bukan hanya laporan keuangan perusahaan, tetapi juga bagaimana kehadiran mereka benar-benar memberikan nilai tambah, bagaimana konflik kepentingan dihindari, dan bagaimana keputusan-keputusan strategis dibuat.
“Kami ingin tahu, apa saja yang sudah mereka kerjakan? Apakah ada peningkatan signifikan sejak mereka menjabat?”, demikian pertanyaan wajar dari seorang warga negara yang peduli di sebuah dialog di radio swasta.
Selain itu, mekanisme pengawasan dan mitigasi konflik kepentingan harus dijelaskan secara terbuka dan dapat diakses oleh publik.
Ini bukan hanya tentang memiliki aturan di atas kertas, tetapi bagaimana aturan itu diimplementasikan dan ditegakkan secara konsisten. Jika ada potensi konflik, bagaimana itu diidentifikasi, dilaporkan, dan diselesaikan? Tanpa transparansi ini, kecurigaan akan terus bergemuruh.
Lebih jauh lagi, perlu ada kajian ulang terhadap regulasi yang mengatur rangkap jabatan. Aturan hukum memang penting, tetapi etika jabatan dan keadilan sosial juga tidak kalah pentingnya.
“Tidak melanggar hukum” tidak selalu berarti “benar secara moral” atau “adil secara sosial.”
Sebuah regulasi yang baik harus mempertimbangkan dampak sosialnya, memastikan bahwa kebijakan pemerintah tidak hanya legal, tetapi juga diterima oleh hati nurani rakyat. Ini adalah seruan untuk sebuah kebijakan yang tidak hanya cerdas secara teknokratis, tetapi juga bijaksana secara humanis.
Waktu yang Akan Menjawab
Dalam politik dan kebijakan publik, waktu adalah hakim yang paling adil. Apakah penunjukan Wamen sebagai komisaris akan membawa dampak positif yang signifikan, meningkatkan kinerja BUMN, dan pada akhirnya, menyejahterakan rakyat?
Ataukah justru akan memperburuk tata kelola BUMN, menciptakan lebih banyak konflik kepentingan, dan mengikis kepercayaan publik? Jawabannya akan terlihat dari hasil kerja mereka dan respons masyarakat ke depan.
Yang jelas, diskursus ini penting. Ia adalah bagian tak terpisahkan dari kontrol publik terhadap kebijakan negara. Dalam sebuah demokrasi, suara rakyat adalah fondasi utama dari legitimasi kekuasaan.
Ketika masyarakat bertanya, mengkritik, dan menuntut akuntabilitas, itu bukanlah tanda ketidakpatuhan, melainkan bukti bahwa mereka peduli.
Mereka ingin melihat pemerintah yang melayani, bukan dilayani; yang membangun keadilan, bukan ketimpangan; dan yang selalu mengingat bahwa di balik setiap kebijakan, ada jutaan wajah, jutaan harapan, dan jutaan kehidupan yang bergantung padanya.
Maka, biarlah waktu yang menjawab. Namun, selama waktu itu berjalan, mata dan hati rakyat akan terus mengawasi, karena pada akhirnya, kebijakan yang baik adalah kebijakan yang tidak hanya efisien dan legal, tetapi juga adil dan manusiawi.
0 Comments