Salah satu fungsi pemerintah adalah melaksanakan pembangunan dan menyelenggarakan pelayanan publik. Untuk melaksanakan fungsi tersebut dengan baik, maka organisasi serta aparatur di dalamnya perlu bekerja secara efektif, efisien, dan profesional.
Salah satu upaya menjaga dan meningkatkan profesionalitas aparatur adalah membuat sebuah sistem untuk menilai kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hadirnya sistem penilaian kinerja tersebut diharapkan dapat mendorong kinerja PNS agar tidak ada lagi persepsi PNS hanya menjadi beban negara (Prasojo dalam Prasodjo, 2014).
DP-3 dan SKP
Jika melihat sejarahnya, pemerintah pernah menggunakan instrumen penilaian kerja PNS yang dikenal sebagai Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP-3). Sebuah penelitian yang dilakukan Wahyudi (2014) menemukan bahwa dalam pelaksanaannya, DP-3 belum mampu memberikan hasil penilaian yang objektif dan bermanfaat bagi PNS yang dinilai.
Lambat laun, keberadaan DP-3 tidak lagi ditempatkan sebagai alat ukur untuk melihat prestasi PNS, dan akhirnya hanya dianggap sebuah formalitas yang sama sekali tidak berpengaruh signifikan bagi perjalanan karier pegawai dan keberlangsungan organisasi.
Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS diharapkan akan mampu memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada dalam DP-3. Berbeda dengan DP-3 yang hanya menekankan pada aspek perilaku, penilaian prestasi kerja yang tertuang dalam PP 46/2011 menekankan pada dua aspek, yaitu:
- Aspek sasaran kerja pegawai (SKP) yang diberi bobot sebesar 60%, dan
- Aspek perilaku yang diberi bobot 40%.
Banyak pihak optimis SKP akan meningkatkan kinerja PNS, apalagi jika dapat digunakan sebagai acuan dalam pemberian tunjangan kinerja (Pasaribu, dkk 2020). Namun ternyata, dalam pelaksanaannya, SKP tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Ahyarduin dan Akbar (2017) menyebutkan bahwa selama ini pelaporan kinerja hanya dijadikan sebatas formalitas untuk memenuhi kewajiban regulasi daripada meningkatkan kinerja secara substantif.
Terperangkap dalam Formalitas Administrasi
Dalam sebuah penelitian terbatas yang dilakukan penulis baru-baru ini, mengindikasikan bahwa penilaian kinerja kembali terperangkap ke dalam formalitas administrasi.
Hal ini diindikasi oleh pertama, adanya fenomena penilaian dan persetujuan kinerja pada aplikasi e-kinerja yang tidak dilakukan oleh pimpinan, melainkan didelegasikan kepada pegawai terpercaya, atau kepada pegawai yang akan dinilai untuk melakukan penilaian mandiri.
Supervisor atau atasan langsung juga tidak melakukan verifikasi realisasi dari target kinerja yang pernah ditetapkan di awal tahun. Mereka cenderung menandatangani dokumen SKP yang disodorkan oleh bawahannya tanpa melakukan verifikasi lebih lanjut.
Hal ini akan menciptakan kesenangan semu bagi para pegawai karena mereka telah dianggap berkinerja baik, meskipun kenyataannya kinerja mereka bermasalah.
Indikasi kedua, tidak adanya komunikasi terbuka yang berkelanjutan, serta tidak adanya review atas kinerja. Bukti empiris menunjukkan, seringnya pimpinan hanya melakukan komunikasi pada tahap perencanaan saja. Padahal, bawahan berharap atasannya dapat mengomunikasikan tentang kelemahan, kekuatan, serta potensi yang ada dalam diri pegawai.
Hal ini akan menciptakan pengalaman belajar yang dapat memotivasi pegawai untuk mengembangkan diri, meningkatkan kinerja mereka, serta meningkatkan kepercayaan diri pegawai dalam melaksanakan tugas berikutnya.
Performance review juga memudahkan pimpinan untuk memetakan pegawai potensial, dan hal ini bisa dijadikan pertimbangan promosi atau penghargaan lainnya bagi pegawai yang layak, sehingga proses tersebut menjadi adil dan transparan.
Sulitnya Menetapkan Standar
Indikasi ketiga, sulitnya menjalankan standardisasi penilaian yang telah ditetapkan dalam peraturan. Regulasi telah menetapkan standar kriteria untuk menilai prestasi kerja pegawai. Tetapi pada praktiknya di lapangan, kriteria tersebut sulit untuk diterapkan.
Sebagai contoh kasus, apabila seorang pegawai berada di bawah atasan yang murah hati (bias leniency), maka nilainya akan minimal 90 ke atas, sehingga pegawai tersebut teridentifikasi sebagai pegawai yang berkinerja “sangat baik”.
Lain halnya jika pegawai tersebut berada di bawah atasan yang memiliki standar nilai yang terlalu ketat (bias strictness) dengan nilai rata-rata minimal di angka 80, sehingga pegawai tersebut teridentifikasi sebagai pegawai dengan kinerja “baik”.
Jika hal ini terus dibiarkan, organisasi akan sulit mengindentifikasi pegawai yang kinerjanya benar-benar baik. Karena bisa jadi pegawai tersebut “tersembunyi” dalam penilaian atasan yang memiliki standar nilai yang tinggi.
Indikasi keempat, terdapat inkonsistensi terhadap kinerja yang diharapkan. Di awal tahun, seluruh pegawai diwajibkan menyusun perencanaan SKP. Namun di akhir tahun, banyak pegawai yang melakukan penyesuaian target tanpa bisa memberikan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Hal ini belum teridentifikasi dengan jelas, apakah permasalahan tersebut dikarenakan ketidakmampuan pegawai dalam membuat target kinerja, atau karena pegawai tidak mampu bekerja sesuai ekspektasi.
Namun berdasarkan bukti empiris, pegawai seringnya menyalin-tempel target kinerja dari tahun sebelumnya dan melakukan penyesuaian seperlunya. Selain itu, meskipun pegawai tersebut tidak berkinerja seperti yang diharapkan, pejabat penilai tetap memberikan nilai “baik” atau “sangat baik” kepada pegawai.
Indikasi kelima, ditemukan adanya kecenderungan pimpinan memberikan penilaian “baik” atau “sangat baik”.
Pimpinan juga cenderung memberikan penilaian yang lebih baik daripada yang semestinya. Berdasarkan hasil observasi dan hasil obrolan dengan pegawai lain, terdapat pegawai yang memiliki kinerja “biasa saja” bahkan cenderung di bawah rata-rata, namun tetap dinilai “baik” oleh atasan.
Adanya berbagai faktor psikis yang mempengaruhi penilaian tersebut disebabkan penilai tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk memberikan penilaian dengan benar. Ambarwati (2002) menyebutkan pimpinan tidak merasa tertarik pada keakuratan penilaian untuk menghindari konfrontasi.
Reward-Punishment dan Penilaian 360°
Pemerintah sepertinya kembali berupaya untuk mengembalikan tujuan penilaian kinerja dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja PNS. Salah satunya yaitu untuk mendorong kinerja pegawai melalui sistem reward dan punishment.
Dalam peraturan tersebut dijelaskan, pemeringkatan kinerja melalui metode forced distribution dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan prioritas pengembangan kompetensi dan pengembangan karier. Melalui metode penilaian 360 derajat, pemerintah juga tampaknya sedang berupaya untuk meminimalisir kesalahan objektivitas dalam penilaian kinerja.
Dengan demikian, nasib penilaian perilaku pegawai tidak lagi berada di bawah pimpinan semata, tetapi juga mengakomodir penilaian dari bawahan dan rekan kerja. Hal ini menguntungkan bagi pegawai yang memiliki konflik dengan atasan langsungnya, sehingga penilaian like and dislike dari atasan, cenderung dapat dihindarkan.
Namun, niat baik yang tertuang dalam regulasi terbaru tidak serta merta menjadi jaminan keberhasilan implementasi penilaian kinerja yang efektif dan objektif.
Hal ini terlihat dari kecenderungan perilaku birokrat untuk melakukan penyimpangan yang diterima secara kolektif, seperti memberikan akses username dan password e-kinerja untuk melakukan penilaian kinerja secara mandiri.
Epilog
Bercermin dari evaluasi proses penilaian kinerja di atas, masih banyak hal yang harus dibenahi agar penerapan PP 30/2019 dapat berjalan dengan objektif dan efektif.
Hal ini harus dipahami dengan benar dan diawasi pelaksanaannya oleh seluruh pegawai dalam semua lini, agar SKP tidak lagi dipandang sebatas formalitas administrasi, serta tujuan penilaian kinerja yang tertuang dalam PP 30/2019, yaitu menjamin objektivitas pembinaan PNS yang didasarkan atas prestasi kerja, akan benar-benar terwujud.
Referensi:
Ahyaruddin, Muhammad dan Rusdi Akbar. (2017). Akuntabilitas dan Kinerja Instansi Pemerintah: Semu atau Nyata? Jurnal Akuntansi & Auditing Indonesia 21(2).
Ambarwati, Sri Dwi Ari. (2002). Managing Productive Performance Appraisal: Sebuah Upaya Menjawab Kebutuhan Penilaian Kinerja Karyawan yang Bebas KKN. Jurnal Siasat Bisnis Hal.: 93-111.
Pasaribu, Sarjani R, Hamdani Harahap & Siti Mardiana. (2020). Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 Tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil. Strukturasi: Jurnal Ilmiah Magister Administrasi Publik, 2(1):70-78.
Prasodjo, Eko. (2014). Undang-Undang Aparatur Sipil Negara: Membangun Profesionalisme Aparatur Sipil Negara. Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS Vol. 8, No.1.
Wahyudi, Jhon. (2014). Penilaian Kinerja Pegawai Negeri Sipil (Kajian Pra Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 Tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Barito Timur). Jurnal Administrasi Publik dan Birokrasi Vol. 1 No. 3.
Seorang perempuan biasa yang cinta keluarga. Kadang menulis cerita anak, kadang menulis artikel, tapi lebih sering menulis status di Facebook.
Tulisan yang bagus Rista, namun saya belum menemukan solusi kongkrit dari penilaian PNS ini (baik SKP, maupun prilaku)
Terima kasih atas apresiasinya, Pak Aniska. Sebetulnya tulisan tersebut merupakan rangkuman dari tulisan yang pernah dibuat sebelumnya. Di sana saya mencantumkan rekomendasi, namun saya putuskan untuk tidak menuliskannya dalam artikel karena keterbatasan tempat.
Salah satu rekomendasinya adalah (1) pimpinan sebaiknya melakukan verifikasi realisasi atas target kinerja yang pernah dibuat; (2) adanya komunikasi dari pimpinan berupa review dan feedback atas hasil kerja pegawai; serta (3) adanya pelatihan bagi pejabat penilai agar mereka tidak perlu merasa tidak nyaman saat memberikan feedback sehingga bisa memberikan penilaian yang objektif.