Potret Situasi di Tengah Pandemi COVID-19 di Indonesia

by Lyta Permatasari ◆ Active Writer | May 7, 2020 | Birokrasi Berdaya | 3 comments

Pandemi COVID-19 menyimpan sejuta cerita, tentang yang gugur dan yang masih bertahan, yang optimis dan pesimis, ataupun yang tetap berpikir positif dan yang pasrah pada nasibnya. Semuanya membentuk rangkaian cerita. Di mana pun terjadinya, sebuah pandemi selalu mengharu biru rasa kemanusiaan kita karena menimbulkan banyak korban.

Yang berbeda kali ini adalah waktu terjadinya. Wabah ini terjadi di awal abad ke-21 di mana kecanggihan teknologi dan komunikasi digital telah terbentuk. Sehingga informasi tentang COVID-19 sangat mudah diakses dan dengan cepat beredar di dunia maya.

Jumlah korban meninggal dan yang masih dalam perawatan dapat kita ketahui dengan cepat. Begitu pula dengan obat-obatan alternatif yang dapat memperkuat imunitas atau vitamin penunjang daya tahan tubuh. Lalu bagaimana dampak kehadiran virus ini pada kehidupan masyarakat kita yang heterogen dalam hal agama dan budaya?

Dari Sisi Ekonomi

Dari Sisi Ekonomi, COVID-19 telah mengubah pola perekonomian masyarakat secara total. Pergeseran pola jual-beli ini semakin menjadi kebutuhan. Masyarakat lebih memilih belanja secara online daripada belanja di pasar tradisional.

Pertukaran barang dan jasa via transaksi elektronik menjadi metode pemasaran yang menarik. Lapak-lapak online banjir peminat. Omzet perdagangan online meningkat drastis, sementara di sisi lain perdagangan tradisional semakin menurun. 

Penggunaan uang elektronik atau pembayaran secara online juga menjadi pilihan. Penularan virus lewat media uang kertas membuat orang lebih memilih menggunakan uang elektronik untuk bertransaksi. Walau tidak sepenuhnya aman, tetapi transaksi perbankan via uang elektronik menjadi pilihan yang mudah. Kuncinya adalah kehati-hatian mengelola uang elektronik. Membuat dan menyimpan password dengan aman adalah penting.

Dari Sisi Sosial dan Teknologi

Dari sisi sosial, perubahan pola interaksi dalam masyarakat memunculkan fenomena baru. Masa pandemik ini sama sekali tidak memperbolehkan orang berkumpul dalam jumlah besar. Sehingga muncullah pola interaksi baru melalui media daring. Kebutuhan komunikasi di tengah suasana pandemik COVID-19 ini terjawab oleh teknologi. Kita masih tetap bisa berkomunikasi dengan nyaman via teleconference.

Sisi sosial lain yang terpengaruh pandemik COVID-19 adalah maraknya aplikasi online digunakan sebagai solusi kemudahan interaksi di dunia virtual. Untuk pengobatan misalnya, Halodoc merupakan aplikasi yang laris manis. Halodoc sangat membantu ibu-ibu yang tidak bisa membawa anaknya ke dokter karena praktik dokter tutup di masa pandemik.

Aplikasi Halodoc menyajikan layanan dokter online yang bisa membantu keluarga Indonesia di saat yang dibutuhkan. Aplikasi lainnya yang juga laris manis di masa pandemik adalah layanan informasi perbankan melalui M-Banking. Masyarakat kini ramai meng-install M-Banking di smartphone-nya, meskipun ada informasi bahwa aplikasi ini kurang aman karena ada peluang untuk diretas.

Sebenarnya dari segi teknologi, kita sudah lumayan siap menghadapi pandemik ini, karena jaringan komunikasi digital sudah sedemikian canggihnya dan dapat digunakan secara merata oleh siapa pun asalkan bisa memahami pola operasi sebuah smartphone. Yang tidak siapnya adalah di sisi finansial. Karena kita menyadari bahwa gaya hidup online kita pasti harus ditunjang oleh biaya yang tidak sedikit. 

Untuk mereka yang bergaji tetap, mungkin ini tidak masalah karena mereka tinggal debit atau kredit saja apa yang akan mereka beli. Berbeda dengan masyarakat yang penghasilannya tidak formal karena harus berjibaku dalam perjuangan dari hari ke hari.

Pedagang asongan misalnya. Mereka pasti akan kesulitan di masa pandemik ini sebab mereka sudah tidak bisa lagi menjajakan dagangannya pada para siswa karena sekolah diliburkan dan siswa mulai kebiasaan baru belajar dari rumah.

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Driver kendaraan umum dan ojol juga mendapat imbas dari krisis ini. Intinya mereka yang bekerja di jalur formal masih aman, tetapi mereka yang bekerja di jalur informal ‘ngeri-ngeri sedap’ menghadapi masa krisis akibat datangnya Mr. Coro di negeri kita.

Belum lagi, dunia usaha dalam ruang yang lebih luas misalnya Ramayana Depok yang terpaksa merumahkan karyawannya, juga mengalami kelesuan. Itu baru sebuah contoh, belum lagi jasa perhotelan yang sepi customer. Sektor ini juga dihadapkan pada pilihan untuk merumahkan sebagian karyawannya.

Gelombang PHK akibat pandemik COVID-19 menjadi sebuah fenomena kegelisahan publik terhadap nasib mereka dan masa depannya, setidaknya untuk tahun ini. Walau sebagian pengusaha atau pedagang sedang resah dan gelisah, masih terdapat geliat ekonomi yang kita cermati.

Masih ada mereka yang banting stir dari usaha apapun sebelumnya menjadi penjual barang kebutuhan masa pandemik. Misalnya menjual masker, hand sanitizer, sabun, dan barang penyerta lainnya yang memang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.

Dari Sisi Lingkungan

Dari Sisi lingkungan hal pertama yang harus saya sampaikan di sini adalah meningkatnya limbah medis. Bisa kita bayangkan berapa ton limbah medis yang dihasilkan dari suatu masa pandemik. Sampah-sampah resmi bertebaran di TPA-TPA atau TPS-TPS resmi, belum lagi yang liar. Kita baru berbicara sampah dan limbah medis, belum lagi berbicara mengenai dampak COVID-19 untuk air dan udara.

Memang diakui bahwa berkurangnya operasional transportasi menyebabkan polusi juga berkurang. Program langit biru yang kita harapkan, mendekati terwujud. Namun, problem lain pun dimulai di saat kita mengetahui bahwa COVID-19 adalah  airborne, dapat menyebar melalui udara, dari bersin, dan percikan.

Ini membuat kita agak takut di kala kita berada di ruangan tertutup misalnya, lalu ada yang bersin. Kita pasti curiga dan nafas kita otomatis tertahan. Belum lagi semilir udara AC di sekitar kita pastinya juga berpotensi melakukan penularan. Tidak bebas lagi dalam menghirup udara adalah dampak tidak mengenakkan dari kehadiran COVID-19 di tengah kita.

Pemakaian masker juga menghalangi kita dalam bernafas, terutama bagi yang tidak terbiasa. Tentang masker ini saya jadi teringat situasi sebelum COVID-19 datang, yakni tentang maraknya rekan-rekan muslimah mulai menggunakan cadar atau niqab. Wujudnya memang serupa masker, menutupi wajah utamanya mulut dan hidung.

Mungkin tidak ada korelasi langsung antara niqab dengan masker, tetapi esensinya sama kalau dilihat dari fungsinya – menghalangi kontak langsung dengan udara dengan menggunakan penutup di bagian wajah.

Ketika Semua Mulai Berubah

Dalam dua bulan terakhir ini banyak kosakata baru, kejadian baru, dan pola hidup baru yang kita rasakan di tengah masyarakat. Semua berubah begitu cepat. Awal Maret 2020 sepertinya keadaan masih normal, belum kita dengar istilah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), Karantina Wilayah, APD (Alat Pelindung Diri), isolasi mandiri, dan sederet kosakata lainnya.

Namun, di pertengahan Maret situasi mulai berubah diawali dengan warning dari Gubernur DKI Jakarta untuk membawa sajadah masing-masing pada saat sholat jum’at. Saya ingat sekali momentum itu. Hari-hari selanjutnya sholat Jum’at malah ditiadakan menjadi beribadah di rumah masing-masing, diikuti dengan program bekerja dari rumah, sekolah dari rumah, olahraga di rumah dan segalanya di rumah saja atau stay at home.

Semakin lengkap kondisi ini dengan diterapkannya PSBB yang diawali oleh panic buying dari sebagian orang. Saya sebenarnya tidak melihat ini sebagai situasi yang salah, wajar saja bila orang melakukan pembelian bahan makanan untuk persediaan. Hanya saja jumlahnya yang sangat banyak itu yang membuat tidak pas.

Berlomba-lomba Menjaga Imunitas Tubuh

Yang terasa sekali pada saat pandemik ini adalah hilangnya vitamin C dari pasaran. Rupanya bertepatan dengan datangnya Corona, masyarakat tergugah semangatnya untuk membeli cadangan vitamin untuk memperkuat imunitas tubuh. 

Pendek kata, situasi saat ini sangat spesial bagi Indonesia. Melihat Indonesia secara utuh dan majemuk seperti melihat rangkaian persaudaraan antarsuku bangsa yang harmoni dan berwarna. Masing-masing daerah mengeluarkan jurus pencegahan penyakit dan penguatan stamina.

Pulau Jawa, misalnya, terkenal dengan empon-empon yang di dalamnya ada jahe merah dan temulawak. Jamu tradisional juga bagian lain dari racikan empon-empon yang diminati oleh sebagian masyarakat kita. Kalau saya lebih memilih ekstrak jahe merah dan bawang Dayak khas Kalsel untuk menjaga stamina tubuh.

Saking semangatnya kita menjaga imunitas tubuh, Vitamin C alami dari Jeruk bahkan menjadi sasaran pembeli. Pernah saya dapati toko buah minus jeruk karena seringkali diborong oleh pembeli. Itulah uniknya Indonesia, itulah berharganya bangsa ini.

Walaupun masih kita temui saudara-saudara kita yang hidup dalam kesederhanaan, tetapi semangat mempertahankan kehidupan yang indah dan bermakna ini terasa kuat dan mengukir makna. Kadang ironis, sebagai negara yang besar kita masih memiliki kaum marginal dengan jumlah yang memprihatinkan. Dengan kekayaan alam yang melimpah kita ternyata tak mampu menyejahterakan kehidupan masyarakat di dalam negeri. 

Epilog

Mungkin di luar tulisan ini masih banyak cerita tentang kehidupan yang berubah di masa pandemik yang lebih beragam lagi. Namun, semoga tulisan ini bisa menjadi potret situasi yang dapat menggambarkan betapa berubahnya hidup kita di awal abad ke-21 ini sejak datangnya Virus Corona.

Kita pasti berharap dapat menyelamatkan saudara sebangsa dari krisis ini. Yang terpenting memang melakukan hal yang bisa kita lakukan dalam jangkauan kemampuan yang kita miliki. Memberikan sembako dan masker pada saudara-saudara kita yang membutuhkan adalah inisiatif pribadi yang berjiwa sosial, inisiatif yang memang sudah mendarah daging dalam budaya nusantara yang kita kenal dengan gotong royong.

Kurang apalagi negeri ini? Falsafah hidup kebangsaannya tinggi, telah terbiasa menghadapi berbagai cobaan berat dan berhasil keluar dengan selamat. Keragaman etnis terhimpun secara manis dan menyatu dalam Bhinneka Tunggal Ika, semuanya terbungkus dalam satu Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dengan kekuatan bangsa ini yang sedemikian telah teruji oleh waktu, maka tak disangsikan lagi, Indonesia dengan segala kesederhanaannya mampu untuk bertahan dan keluar dengan selamat dari Pandemi Virus ini.

Hanya waktu yang belum bisa kita prediksi secara tepat, kapan berakhirnya pandemik COVID-19. Namun, mari optimis kita bisa melaluinya bila kita menyatukan semangat dalam Persatuan Indonesia. Mari bersama menyudahi pandemik ini dengan tekad bulat dan disiplin yang disemat secara benar dalam setiap pribadi kita sebagai anak bangsa.

2
0
Lyta Permatasari ◆ Active Writer

Penulis merupakan Alumni S3 Ilmu Lingkungan Universitas Brawijaya, seorang ASN Analis Pemberdayaan Masyarakat Ditjen PSKL Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Alumni Best Diplomats Leadership 2023.

Lyta Permatasari ◆ Active Writer

Lyta Permatasari ◆ Active Writer

Author

Penulis merupakan Alumni S3 Ilmu Lingkungan Universitas Brawijaya, seorang ASN Analis Pemberdayaan Masyarakat Ditjen PSKL Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Alumni Best Diplomats Leadership 2023.

3 Comments

  1. Avatar

    assalamualaikum ka Lyta, senang bisa komen disini. saya Irma, junior kaka di Pemkab Banjar…semoga bisa mengikuti jejak ka lyta.

    Reply
  2. Avatar

    Salam kenal mba Lita..sesama Alumni UB.Tulisan yang sangat menggugah..semoga Pandemi COVID-19 segerah lenyap dari Bumi ini.Amin

    Reply
    • Avatar

      Terimakasih Taskiya. Salam kenal juga yaa.. Oh dari UB juga hmm mba jadi kangen Malang nih hehehe.. semoga suatu saat nanti bisa bertemu dan saling mengenal. Bisa kontak di 081522779884. Semoga api pandemi segera padam… Aamiin YRA. Keep Strong INDONESIA…

      Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post