Di tengah gemerlapnya kemajuan era teknologi, kita sering kali lupa akan dampak negatif dari kemajuan ini. Penggunaan alat elektronik yang kita pakai, pada akhirnya akan bermuara menjadi sampah elektronik.
Dalam satu dekade terakhir, Indonesia telah tercatat sebagai salah satu negara penghasil dan pengguna barang elektronik terbesar di Asia Tenggara. Namun bersamaan dengan lonjakan ini, muncul pula masalah baru yang tak kalah urgen: penanganan sampah elektronik atau juga kita kenal sebagai e-waste.
Bukan Sampah Biasa
Setidaknya, masing-masing dari masyarakat perkotaan menggunakan paling sedikit dua perangkat elektronik untuk menunjang pekerjaan sehari-hari, yakni telepon genggam dan laptop ataupun komputer personal. Belum ditambah dengan perangkat elektronik lainnya yang kita gunakan di kantor maupun di rumah.
Tetapi, pernahkah kita membayangkan, apa yang mungkin terjadi pada perangkat elektronik tersebut, ketika kita sudah usang atau saat kita tidak lagi menggunakannya. Di titik inilah permasalahan sampah elektronik muncul.
Krisis sampah elektronik tidak hanya berbicara soal membuang ponsel lama ke tempat sampah dan kemudian melupakannya, tapi bagaimana dan apa yang terjadi setelahnya.
E-waste telah menjadi salah satu tantangan lingkungan yang paling meresahkan di era digital ini lantaran kandungannya yang tidak bisa disamakan dengan sampah biasa. E-waste mengandung berbagai zat berbahaya seperti timbal, merkuri, dan bahan kimia lainnya yang dapat mencemari tanah dan air jika tidak dibuang dengan benar.
Kebijakan Pengelolaan E-waste
Regulasi pengelolaan sampah di Indonesia saat ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik serta peraturan terkait lainnya.
Penerapan regulasi ini merupakan langkah penting dalam upaya pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun, termasuk e-waste. Namun apakah peraturan-peraturan ini sudah cukup untuk menangani tantangan yang ada saat ini?
Peraturan tersebut telah memberikan kerangka yang penting dalam pengelolaan limbah B3 di Indonesia. Dengan menetapkan standar pengelolaan yang jelas, peraturan ini seharusnya menjadi tonggak penting dalam upaya menjaga lingkungan hidup dari dampak negatif e-waste.
Namun, tidak berbeda dengan banyak kebijakan lingkungan lainnya, dalam implementasinya ternyata masih ditemui banyak tantangan.
Salah satu tantangan terbesar dalam penerapan kebijakan tersebut adalah lemahnya pengawasan dan penegakan hukum guna menanggulangi dampak negatif e-waste. Berbagai pelanggaran kerap terjadi, karena banyak pihak seringkali meremehkan konsekuensi dari tindakan mereka membuang sampah elektronik.
Contoh kasus yang terjadi di Serpong, Tangerang Selatan,
pada tahun 2005 tercatat udara ambien di daerah tersebut mengandung timbal
dengan nilai di atas ambang batas WHO yakni lebih dari 0,5 – 1,5 mg/m3.
Kadar timbal yang melebihi baku mutu
juga teridentifikasi berada di dalam darah siswa di salah satu sekolah dasar yang berasal dari kegiatan peleburan aki bekas di sekitar daerah tersebut.
Selain itu, keterbatasan infrastruktur pengelolaan limbah juga menjadi kendala serius. Fasilitas daur ulang atau tempat pembuangan akhir masih kurang, terutama di daerah-daerah terpencil. Kondisi ini membuat sulitnya membuang limbah B3 secara aman dan bertanggung jawab sehingga mengarah pada risiko pencemaran yang lebih tinggi.
Sebagai contoh bagi sampah yang berasal dari cartridge vape atau pod, beberapa saluran dropbox pengelolaan e-waste seperti waste4change, RJ dan sebagainya belum bisa menampung beberapa komponen sampah elektronik tertentu termasuk pod. Sehingga sampai saat ini belum ada alternatif solusi dalam pembuangannya.
Sisi Lain E-waste
Indonesia masih menghadapi tantangan dalam pengelolaan e-waste dengan tingkat daur yang relatif rendah. Recycling rate Indonesia secara nasional hanya sebesar 17,4% dari total 2 juta ton e-waste pada tahun 2021. Sementara, Jepang dan Korea Selatan telah menunjukkan pendekatan yang lebih efektif.
Jepang memiliki salah satu sistem pengelolaan e-waste terbaik di dunia, dengan tingkat pemanfaatan e-waste yang mencapai sekitar 50% berkat landasan kebijakan yang mengatur sistem daur ulang limbah elektronik.
Kebijakan ini terbagi menjadi dua unsur yakni Undang-Undang Pemberdayaan Pemanfaatan Sumber Daya yang Efektif dan Undang-undang Daur Ulang Jenis Peralatan Rumah Tangga Tertentu.
Korea Selatan juga sukses dengan sistem pengelolaan e-waste
yang efisien berkat inisiatif pemerintah
yang mendukung pengelolaan e-waste secara sistematis yakni dengan menerapkan
Electrical and Electronic Product Eco-Guarantee system yang mewajibkan produsen produk eletronik untuk menjalankan sistem daur ulang limbah elektronik.
Keberhasilan kedua negara ini mencerminkan pentingnya kebijakan proaktif dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan e-waste yang berkelanjutan.
Meskipun telah ada aturan yang berlaku untuk semua jenis limbah B3, namun belum ada ketentuan khusus mengenai pengelolaan sampah elektronik. Kebutuhan akan regulasi yang lebih spesifik dan tegas menjadi mendesak.
PP No. 27 Tahun 2020 telah mengamanatkan e-waste masuk dalam kategori sampah spesifik yang memerlukan pengelolaan khusus dikarenakan sifat, konsentrasi dan/atau volumenya.
Namun dari karateristik tersebut, menurut Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BSILHK), ternyata e-waste mengandung juga material berharga seperti logam mulia dan logam tanah langka (rare earth element) yang bernilai ekonomi tinggi.
Tantangan sekaligus Peluang
Pengelolaan sampah elektronik, di negara dengan jumlah ponsel aktif sebanyak 354 juta, merupakan tantangan yang berat, tetapi hal ini juga membawa peluang bagi pemerintah.
Saat ini hanya ada empat perusahaan atau fasilitas yang memiliki izin untuk mengelola dan memanfaatkan limbah elektronik guna memenuhi persyaratan pengelolaan sampah spesifik. Implementasi kebijakan ini dapat merangsang pertumbuhan usaha jasa baru dan meningkatkan lapangan kerja.
Jangan sampai negara hanya kebagian dalam menghitung valuasi ekonomi dari pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat limbah sampah elektronik. Saya menduga, nilai ekonominya akan menjadi lebih kuat jika pengelolaan e-waste juga dibarengi dengan peningkatan recycling rate dari e-waste. Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.
Analis Kebijakan Ahli Pertama di Pusat Pembinaan Jabatan Fungsional Pengembangan Kompetensi ASN Lembaga Administrasi Negara
0 Comments