(Resensi Novel “Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu”)
Penulis: Mahfud Ikhwan
Penerbit: Marjin Kiri, 2017, Jakarta
—————————
Ada cerita indah mengenai Indonesia. Cerita tentang negeri yang memiliki tanah yang subur, sumber daya alam melimpah, dan masyarakat ramah berbudaya. Namun, siapa mengira ini hanyalah dongeng untuk menutupi penderitaan yang tiap hari dihadapi warga negaranya.
Indonesia bukan hanya tentang mooi indie, sebuah gambaran pemandangan yang serba indah tentang Hindia Belanda, melainkan tentang realisme sosial yang bercerita tentang penghisapan dan penindasan. Persis seperti yang dialami para Tenaga Kerja Indonesia, yang kini populer disebut Pekerja Migran Indonesia (PMI). Novel berjudul ‘Dawuk’, mengisahkannya.
***
“Dawuk” bercerita tentang sepasang PMI yang berasal dari Desa Rumbuk Randu. Inayatun dan Mat Dawuk adalah pasangan suami istri yang merepresentasikan nasib PMI di Malaysia.
Inayatun dan Mat Dawuk merupakan simbol para PMI yang mengalami penindasan tiada habisnya, baik oleh majikannya, keluarganya, serta masyarakatnya baik di Malaysia maupun di Indonesia.
Inayatun dan Mat Dawuk bukannya tak memiliki kelebihan agar lebih dihargai orang-orang. Inayatun ialah gadis tercantik di Rumbuk Randu. Sementara itu, Mat Dawuk sangat ahli bela diri menggunakan ruyung. Dua bekal itu seharusnya bisa menjadi modal untuk dapat diterima masyarakat. Namun, apa boleh buat, PMI tetaplah PMI.
Inayatun menjadi PMI karena orang tuanya malu terhadap tabiat anaknya. Menurut Imamuddin, bapaknya, Inayatun sejak kecil suka menggoda (dan digoda) kaum lelaki. Inayatun gerah terhadap tudingan ini.
Hingga akhirnya ia memilih lari ke Malaysia. Namun, karena ia PMI yang selalu dipandang sebagai kelas bawah, Inayatun justru menjadi objek kekerasan para suami sirinya. Baru setelah bertemu dan menikah dengan Mat Dawuk, Inayatun merasa lebih dihargai keperempuanannya.
Jika Inayatun adalah perempuan paling cantik di Rumbuk Randu, sebaliknya Mat Dawuk ialah lelaki paling seram dan buruk rupa di desa itu. Sejak kecil ia menjadi simbol cibiran dan penghinaan.
Di kampung sendiri saja ia dihina, apalagi di negeri orang? Mat Dawuk pergi ke Malaysia menjadi PMI illegal dan selalu diburu oleh Kepolisian Diraja Malaysia. Ia hidup di hutan dalam gubuk yang dibuat perusahaan untuk para pekerjanya.
Pertemuan dengan Inayatun sedikit mengubah kehidupan Mat Dawuk. Kini ia lebih merasa dihargai dan dicintai. Akhirnya, mereka menikah siri di Malaysia. Setelah menikah mereka berpikir untuk kembali ke Indonesia dengan harapan memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Namun rupanya mereka salah perhitungan. Sekembalinya mereka di kampung halaman, Mat Dawuk tetap tidak bisa memulihkan statusnya sebagai manusia. Imamudin tetap tidak merestui hubungan anaknya dengan Mat Dawuk.
Warga Rumbuk Randu pun juga seperti tidak mau menerima kehadiran Mat Dawuk dengan tetap mencibir dan menghinanya. Para orang tua menjadikan Mat Dawuk sebagai ‘batara kala’ untuk menakut-nakuti anaknya yang nakal. Banyak yang berteriak,“Ati-ati diculik Mat Dawuk, tau rasa kalian!’
Nasib Mat Dawuk semakin mengenaskan setelah Inayatun diperkosa oleh mandor perusahaaan kebun milik pemerintah dan pengusaha penebang kayu, sebuah penggambaran koalisi negara dan borjuis yang selalu “memperkosa” rakyat.
Tragedi memilukan itu terjadi ketika Mat Dawuk mencari jagung di hutan. Sesampainya di rumah, Mat Dawuk melihat Inayatun bersimbah darah ditikam pisau oleh pemerkosanya karena Inayatun melawan.
Mat Dawuk tiba ketika peristiwa itu terjadi. Perang pun pecah dengan kondisi dua lawan satu. Ketika perkelahian itu terjadi, sabetan pisau pengusaha kayu tak sengaja justru mengenai kawannya sendiri hingga dadanya terbelah. Mandor perusahan kebun itu pun mati seketika.
Perkelahian menjadi satu lawan satu. Namun, pengusaha kayu itu takut melawan Mat Dawuk sendirian. Dia pun lari, sambil berteriak menghasut, “Mat Dawut telah membunuh istrinya dan mandor!.”
Mendengar teriakan itu, warga masyarakat beramai-ramai mendatangi Mat Dawuk. Mereka langsung menyerbu Mat Dawuk tanpa perlu melakukan klarifikasi. Mereka menghajar Mat Dawuk tanpa lelah, tanpa ampun, tanpa belas kasihan sedikitpun. Mereka menendangnya dan memukulinya dengan batu, kayu, besi, dan benda keras lainnya.
Beruntung Mat Dawuk tidak mati. Kini tinggal tersisa polisi dan hakim tempat Mat Dawuk mencari keadilan. Rupanya aparat penegak hukum pun juga tidak berpihak pada Mat Dawuk. Vonis penjara untuknya pun dijatuhkan.
Mat Dawuk menjalani masa hukumannya dengan sabar hingga selesai masa tahanan. Nahas, hasutan Mat Dawuk sebagai pembunuh istri dan Mandor masih membara dalam benak masyarakat. Akhirnya, Mat Dawuk dibakar hidup-hidup di dalam rumahnya.
***
Mahfud Ikhwan, sang penulis novel, berhasil menceritakan kehidupan PMI dengan gaya bahasa yang begitu apik. Meskipun PMI adalah masalah serius, Mahfud mampu menyisipkan gaya-gaya jenaka yang membuat pembaca tak bosan ‘melahap’ halaman demi halaman.
Tidak hanya serius dan jenaka, novel ini bahkan mampu menghadirkan kesan menegangkan (suspense) bagi pembaca. Poin pentingnya, novel ini membuka isu penindasan PMI yang selama ini tabu dibicarakan orang. PMI dalam novel ini adalah gambaran dari ketidakpedulian masyarakat-bangsanya sendiri dan kekejaman majikan luar negerinya. Jelas di sini bahwa PMI adalah orang buangan par excellence. ***
Peneliti di Sekretariat Jenderal DPD RI. Sedang merintis program “Lets Read Great Again” bersama beberapa aktivis literasi. Pernah menulis buku berjudul Mental Kolonial (2017). Beberapa tulisannya dapat dibaca di blog pribadi zamzammuhammadfuad.blogspot.com dan birokratmenulis.org.
0 Comments