Kelas menengah merupakan tulang punggung perekonomian banyak negara, termasuk Indonesia. Mereka berperan sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi domestik, investasi, dan inovasi.
Namun, belakangan ini, kelas menengah Indonesia menghadapi berbagai tekanan ekonomi yang mengancam stabilitas dan pertumbuhan mereka.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya fenomena yang dikenal sebagai “Chilean Paradox”, di mana kelas menengah yang berkontribusi besar terhadap perekonomian justru terperangkap dalam kesulitan ekonomi akibat minimnya dukungan dan imbal balik dari negara.
Analisis Chilean Paradox
Chilean Paradox merujuk pada fenomena sosial-ekonomi yang terjadi di Chile, di mana meskipun negara tersebut mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan penurunan tingkat kemiskinan, ketidaksetaraan dan ketidakpuasan sosial tetap tinggi.
Kelas menengah di Chile merasa bahwa mereka tidak mendapatkan imbal balik yang sebanding dengan kontribusi mereka terhadap perekonomian, terutama dalam hal akses terhadap layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial.
Ketidakpuasan ini memicu gelombang protes dan instabilitas sosial yang mengganggu pertumbuhan ekonomi dan kohesi sosial negara tersebut.
Situasi Kelas Menengah di Indonesia
Indonesia, sebagai negara berkembang dengan populasi besar, memiliki kelas menengah yang signifikan dan berpengaruh. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada Maret 2024, 40 persen populasi yang tergolong kelas menengah menyumbang sekitar 37 persen dari total konsumsi nasional.
Angka ini menunjukkan betapa vitalnya peran kelas menengah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan stabilitas domestik.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kelas menengah Indonesia menghadapi berbagai tekanan yang mengancam kesejahteraan dan stabilitas ekonomi mereka. Beberapa faktor utama yang berkontribusi terhadap tekanan ini antara lain:
- Kenaikan Biaya Hidup
Harga komoditas penting seperti beras telah mengalami kenaikan signifikan, dengan peningkatan mencapai 20 persen dalam satu tahun terakhir. Mengingat beras merupakan kebutuhan pokok bagi mayoritas penduduk Indonesia, kenaikan harga ini secara langsung membebani pengeluaran rumah tangga kelas menengah.
Selain pangan, biaya energi dan kebutuhan dasar lainnya juga mengalami peningkatan, yang semakin menekan daya beli kelas menengah.
- Ketidakpastian Pekerjaan dan Pendapatan
Pandemi COVID-19 dan perlambatan ekonomi global telah menyebabkan peningkatan tingkat pengangguran dan mendorong banyak individu dari kelas menengah ke sektor pekerjaan informal yang kurang stabil dan berpenghasilan rendah.
Selain itu, sepanjang tahun 2024, lebih dari 45.000 karyawan mengalami PHK antara Januari hingga Agustus. Kondisi ini mengurangi stabilitas finansial dan memperbesar risiko kemiskinan bagi keluarga kelas menengah.
- Beban Utang yang Meningkat
Data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Bank Indonesia menunjukkan peningkatan proporsi pendapatan yang dialokasikan untuk pembayaran cicilan di hampir semua tingkat pengeluaran kelas menengah. Misalnya, kelompok dengan pengeluaran Rp 3,1 juta – Rp 4 juta per bulan mengalami kenaikan proporsi cicilan dari 10,3 persen menjadi 11,2 persen.
Meski kebutuhan finansial meningkat, akses kelas menengah terhadap kredit dengan bunga rendah dan skema pembiayaan yang mendukung masih terbatas, membuat mereka rentan terhadap pinjaman dengan syarat yang kurang menguntungkan.
Minimnya Imbal Balik dari Negara
Meskipun kontribusi kelas menengah terhadap perekonomian Indonesia sangat besar, dukungan dan imbal balik yang mereka terima dari negara masih relatif minim. Kurangnya dukungan ini meliputi terbatasnya akses terhadap layanan publik yang berkualitas, dengan indikasi antara lain:
- Kelas menengah seringkali harus mengeluarkan biaya besar untuk mendapatkan layanan pendidikan dan kesehatan berkualitas, karena fasilitas publik yang tersedia masih belum memadai atau berkualitas rendah.
- Dalam sektor perumahan, program perumahan subsidi lebih banyak ditujukan untuk kelompok berpenghasilan rendah, sementara kelas menengah harus menghadapi harga properti yang terus meningkat tanpa adanya dukungan atau insentif yang signifikan.
- Kebijakan fiskal yang kurang menguntungkan, di mana beban pajak yang tidak proporsional. Kepatuhan formal wajib pajak kelas menengah (karyawan) mencapai 73,65%, lebih tinggi dibandingkan korporasi (57,28%) dan orang kaya (42,75%).
Wajib pajak karyawan memberikan kontribusi besar
terhadap penerimaan pajak, jauh lebih besar dibandingkan orang kaya.
Sehingga kelas menengah seringkali menanggung beban pajak
yang signifikan, tetapi tanpa diimbangi dengan manfaat langsung
dalam bentuk layanan publik atau subsidi.
- Tidak banyak program atau kebijakan ekonomi yang secara khusus dirancang untuk mendukung pertumbuhan dan stabilitas finansial kelas menengah, seperti insentif untuk kewirausahaan atau investasi skala menengah.
- Program perlindungan sosial seperti bantuan tunai atau subsidi seringkali difokuskan pada kelompok berpenghasilan rendah, sementara kelas menengah yang rentan jatuh miskin tidak mendapatkan perlindungan yang memadai, terutama dalam situasi krisis.
Potensi Dampak Chilean Paradox di Indonesia
Jika kondisi ini terus berlanjut, Indonesia berisiko mengalami dampak negatif yang serupa dengan Chile, antara lain:
- Penurunan Pertumbuhan Ekonomi:
Melemahnya daya beli dan konsumsi kelas menengah akan berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi nasional. - Ketidakstabilan Sosial dan Politik:
Ketidakpuasan kelas menengah terhadap pemerintah dapat memicu protes dan ketidakstabilan sosial, mengganggu kohesi sosial dan iklim investasi. - Peningkatan Ketidaksetaraan:
Tanpa intervensi yang tepat, jurang antara kaya dan miskin akan semakin lebar, menghambat upaya pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.
Epilog: Rekomendasi Kebijakan
Untuk mencegah terjadinya Chilean Paradox di Indonesia, diperlukan langkah-langkah strategis dan komprehensif dari pemerintah yang berfokus pada penguatan dan pemberdayaan kelas menengah. Beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat dipertimbangkan antara lain:
- Investasi dalam Pendidikan dan Kesehatan:
Meningkatkan kualitas dan aksesibilitas layanan pendidikan dan kesehatan publik yang terjangkau bagi kelas menengah. - Program Perumahan Terjangkau:
Mengembangkan skema perumahan dengan pembiayaan yang mudah dan terjangkau untuk kelas menengah. - Insentif Pajak dan Ekonomi:
Memberikan insentif pajak bagi usaha kecil dan menengah serta program dukungan untuk kewirausahaan dan inovasi. - Skema Kredit yang Menguntungkan:
Memperluas akses kelas menengah terhadap kredit dengan bunga rendah dan syarat yang fleksibel untuk mendukung stabilitas finansial dan investasi. - Fokus Kelas Atas:
Fokuskan untuk kepatuhan pajak masyarakat kelas atas, demi terwujudnya keadilan sosial. - Program Bantuan yang Inklusif:
Mengembangkan program perlindungan sosial yang juga mencakup kelas menengah rentan, terutama dalam situasi krisis atau darurat. - Penciptaan Lapangan Kerja Berkualitas:
Mendorong pertumbuhan sektor formal dengan menciptakan lapangan kerja yang stabil dan berpenghasilan layak melalui investasi infrastruktur dan kebijakan industri yang tepat. - Stabilisasi Harga Pangan:
Melakukan intervensi pasar dan kebijakan agrikultur yang efektif untuk memastikan harga kebutuhan pokok tetap stabil dan terjangkau. - Pengawasan Biaya Hidup:
Mengimplementasikan kebijakan yang efektif dalam mengendalikan inflasi dan memastikan biaya hidup tidak meningkat secara drastis.
Dengan implementasi kebijakan yang tepat dan berfokus pada kebutuhan serta tantangan yang dihadapi kelas menengah, Indonesia dapat meningkatkan peluang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, stabilitas sosial, dan peningkatan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat.
0 Comments