Sejak pemilu 2014, suhu politik di negeri ini terus memanas. Pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) serentak tahun 2015, 2017, dan 2018 seolah menjadi momen yang turut menjaga panasnya suhu politik hingga pelaksanaan pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) 2019 nanti.
Hal ini dapat diamati dari tingkat partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya, pragmatisme pemilih, dan munculnya fenomena politik identitas.
Di satu sisi, kebangkitan politik identitas memang bisa dianggap sebagai sumber perpecahan bangsa, memancing timbulnya intoleransi, dan perselisihan etnis. Namun, di sisi lain politik identitas juga ternyata dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memilih, menekan jumlah pemilih pragmatis, serta meminimalkan politik uang.
Lihat yang terjadi pada Pilkada DKI 2017 lalu. Sebanyak 78 persen pemilih memberikan suara pada pilkada putaran kedua. Sebuah capaian tingkat partisipasi pemilih yang belum pernah terjadi di daerah lain. Bandingkan dengan pilkada 2012 yang hanya dihadiri oleh pemilih pada angka sekitar 67%.
Jadi, politik identitas bagus apa tidak?
Politik Identitas dan Persinggungannya dengan Politik Praktis
Cressida Heyes mendefinisikan politik identitas sebagai aktivitas politik (baca = strategi) dalam arti luas yang secara teoritik menemukan pengalaman-pengalaman ketidakadilan yang dirasakan kelompok tertentu dalam situasi sosial tertentu.
Politik identitas lebih mengarah pada gerakan dari kaum yang terpinggirkan dalam kondisi sosial, politik, dan kultural tertentu dalam masyarakat.
Politik identitas secara teori dan histori, pada hakikatnya adalah sebuah strategi bagi sebuah kelompok minoritas untuk mendapatkan kesamaan pengakuan dan perlakuan. Kelompok yang berstrategi biasanya adalah kelompok minoritas dengan isu jender, feminisme, ras, etnisitas, maupun agama.
Persinggungannya dengan politik praktis, politik identitas kerap dimanfaatkan untuk mendongkrak pengakuan masyarakat yang sering mewujud dalam perolehan suara dalam sebuah ajang pemilihan.
Begitupun sebaliknya, sekelompok minoritas seringkali memanfaatkan politik praktis untuk mempercepat pencapaian tujuannya untuk kesamaan pengakuan dan perlakuan di tengah ketertindasan.
Secara kenyataan, penggunaan identitas dalam politik praktis memberi hasil positif yang berpengaruh secara signifikan. Hal itu dikarenakan bahwa identitas adalah konsep kunci dalam arena politik.
Hal ini mengingatkan kita pada teori perilaku politik masyarakat Jawa yang dikemukakan oleh Clifford Geertz (1960) dalam bukunya “Religion of Jawa.” Menurutnya, ada empat aliran besar dalam masyarakat Jawa pada tahun 1950-an, yaitu PNI yang mewakili golongan priyayi, PKI mewakili golongan abangan, Masyumi sebagai wakil dari santri modernis, serta NU yang merupakan wakil santri tradisionalis.
Fragmentasi aliran politik tahun 1950-an tersebut sebenarnya sudah memudar, terutama setelah terjadinya difusi partai politik di masa Orde Baru. Akan tetapi, menurut A. Khoirul Anam, pilpres 2014 seakan-akan membangkitkan kembali sentimen politik identitas itu.
PNI yang berubah nama menjadi PDIP dan NU yang mendelegasikan hak politiknya ke PKB mendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla. Sementara itu, PSI yang bermetamorfosis menjadi Gerindra dan Masyumi yang menjelma ke dalam barisan partai Islam mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Pengelompokan ini tentu mengesampingkan partai-partai politik “warisan orde baru” yang ikut bergabung ke dalam dua kutub itu.
Sigit Rochadi, seorang sosiolog Universitas Nasional, menyatakan bahwa persoalan politik identitas sudah disemai oleh elite politik sewaktu pemilihan gubernur DKI Jakarta 2012 antara Jokowi-Ahok dan Fauzi Bowo-Nahrowi. Kemunculan Jokowi yang kerap dilabeli dengan muslim Jawa dianggap mampu menjawab kekecewaan politik yang semakin menipis.
Setelah proses itu selesai, ternyata konflik belum tuntas sepenuhnya. Pada pemilihan presiden 2014 yang melibatkan elite yang sama, yakni antara Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta, ketegangan dan polarisasi di tingkat masyarakat malah semakin kuat.
Politik Identitas Amerika dan Dunia
Kemenangan Donald Trump dalam Pilpres Amerika Serikat 2017 sangat mengejutkan dunia. Hal itu membuktikan bahwa politik identitas ternyata memang masih hidup di alam pikir mayoritas warga dunia, termasuk di negara seperti Amerika Serikat.
Samuel Huntington, sudah meramalkan hal itu jauh-jauh hari sebelumnya. Menurutnya, politik global akan ditandai dengan kebangkitan politics of civilization, sedangkan politik domestik akan memunculkan kebangkitan politics of ethnicity.
Huntington menekankan bahwa kebangkitan politik identitas akan sangat dirasakan oleh ‘negara yang terdiri dari keragaman bangsa’ di mana perbedaan etnis dan ras akan menjadi sumber konflik baru dalam tubuh negara.
Trump berhasil memobilisasi dukungan pemilih kulit putih lewat slogan ‘Amerika (Kulit) Putih Kembali’. Hal itu mengingatkan kita pada gaya George Wallace, seorang pendukung pemisahan ras, yang mencalonkan diri sebagai presiden Amerika Serikat di tahun 1968. Akibatnya, pengentalan dukungan pemilih kulit putih untuk Trump terjadi.
Contoh lain politik identitas di zaman modern ini adalah diselenggarakannya referendum yang berakibat keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa, atau yang dikenal dengan Brexit, Britain Exit.
Kecurigaan utama adanya Brexit adalah adanya isu imigran yang dikhawatirkan dapat mencuri kesempatan kerja, ruang hidup, dan mengubah nilai-nilai masyarakat sehingga memunculkan politik rasa takut. Padahal, sesungguhnya Brexit mencoba menjaga nasionalisme Inggris karena rakyat Inggris merasa Uni Eropa sudah terlalu banyak mencampuri urusan rumah tangga mereka.
Partisipasi Masyarakat
Sejak reformasi, tingkat partisipasi masyarakat Indonesia dalam pemilu terus menurun. Pada pemilu tahun 1999, partisipasi pemilih mencapai 92,6 persen. Angka itu turun pada pemilu 2004 menjadi 84,1 persen. Terakhir, pemilu tahun 2014 hanya diikuti oleh 75,11 persen pemilih.
Akan tetapi, angka itu masih lebih baik dari pileg 2009 yang hanya sebesar 70,9 persen, sedangkan partisipasi pemilih pada pilpres 2014 hanya 69,58 persen, turun dibandingkan pilpres 2009 dengan tingkat partisipasi 72 persen.
Untuk pilkada, pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sumatera Utara tahun 2013 mengejutkan pegiat demokrasi Indonesia. Jumlah pemilih tetap yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebesar 10.295.013 jiwa, tetapi total suara sah dalam pilgub yang berlangsung pada 7 Maret 2013 itu hanya 4.861.467 suara, dengan suara tidak sah sebanyak 139.963 suara. Total partisipasi pemilih sebanyak 5.001.430 jiwa, atau hanya 48,58 persen. Sangat rendah.
Mengapa tingkat partisipasi pemilih semakin menurun? Partisipasi pemilih menurun karena sikap apatis masyarakat terhadap politik. Di antara penyebabnya adalah kepercayaan rakyat kepada partai politik yang semakin rendah dan adanya anggapan bahwa politik tidak membawa perubahan bagi kehidupan masyarakat. Belum lagi persoalan DPT, regulasi kepemiluan, dan lain sebagainya.
Apatis politik adalah sikap masyarakat yang masa bodoh dan tidak mempunyai minat atau perhatian terhadap orang lain, keadaan, serta gejala-gejala sosial politik pada umumnya.
Orang-orang yang apatis menganggap kegiatan berpolitik sebagai sesuatu yang sia-sia karena tidak pernah efektif sehingga sama sekali tidak ada keinginan bagi mereka untuk beraktivitas di dunia politik. Kegiatan politik tidak dapat mengubah kehidupannya menjadi lebih baik, sesuai harapan, dan sesuai dengan janji-janji pada saat kampanye.
Pragmatis Pemilih
Apa itu pragmatis? Ismaun (2004:96) mengatakan bahwa konsep pragmatis pada awalnya dikemukakan oleh Charles Sandre Peirce pada tahun 1839. Dalam konsep tersebut, ia menyatakan bahwa sesuatu dikatakan berpengaruh bila memang memuat hasil yang praktis.
Pengertian lain dari pragmatis adalah konsep yang lebih mengutamakan untuk menempuh cara atau jalur yang bersifat jangka pendek, yaitu melakukan hal-hal yang bersifat praktis dan mengesampingkan sisi ketidakbergunaan (Wona).
Jadi, pragmatis pemilih diartikan sebagai tercapainya keinginan pemilih dengan menempuh cara atau jalur yang bersifat jangka pendek, di mana logika dan praktiknya didasarkan pada transaksi material yang diterima dalam memilih.
Munculnya pragmatis pemilih dapat diakibatkan dari sikap apatis pemilih sebagaimana di uraikan di atas, kurangnya pemahaman akan hak-hak politik warga negara, dan kemanfaatan politik.
Terkadang, sikap pragmatis lahir sebagai wujud resistensi pemilih terhadap partai politik, para anggota legislatif, dan kepala daerah, di mana para elite politik tersebut cenderung kurang memberikan perhatian atau lupa pada saat duduk di kursi kekuasaan dan terlihat sibuk melakukan pendekatan tatkala mencalonkan untuk memperebutkan kursi tersebut.
Akhirnya, pendekatan politik uang atau transaksi material menjadi solusi bagi pemilih pragmatis untuk mengambil keuntungan dari perhelatan politik.
Epilog
Politik identitas adalah keniscayaan di Indonesia, sudah ada, dan berlangsung sejak Indonesia merdeka. Politik identitas nyata karena karakteristik masyarakat Indonesia yang plural berdasarkan agama, suku, dan berbagai latar belakang lainnya.
Faktanya, politik identitas dapat meningkatkan partisipasi masyarakat. Anggapan politik identitas dapat memecah belah bangsa, intoleran, anti kebhinekaan, dan munculnya radikalisme tentunya menjadi pekerjaan rumah seluruh komponen bangsa.
Politik identitas tidak perlu dihindari, tetapi dikelola. Pengelolaan politik identitas agar tidak menjadi kontra produktif bagi demokrasi Indonesia mesti tetap dalam bingkai Pancasila, UUD Tahun 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Karenanya, beberapa hal berikut perlu disarankan.
Pertama, para politisi hendaknya menjaga sensitivitas dan kesantunan elite politik. Politisi dituntut untuk benar-benar memahami posisi politik identitas, tidak justru terjebak dalam pragmatisme politik praktisnya. Politisi pragmatis akan memanfaatkan poltik identitas demi keuntungan jangka pendek yaitu perolehan suara, tanpa memperdulikan terjadinya perpecahan pada masyarakat (clash of civilization) sebagai pemilih.
Politisi juga sebaiknya menjaga setiap ucapan, ujaran, dan tindakan terhadap isu sosial-politik dengan menghindari penggunaan kata, ujaran, kalimat yang dapat menyinggung perasaan orang lain (tepo seliro).
Kedua, penguatan dan konsistensi ideologi partai politik. Politik identitas yang berkembang saat ini justru tidak bersumber dari partai politik. Partai politik seakan malu-malu menggunakan isu tersebut. Organisasi kemasyarakatan atau komponen masyarakatlah yang secara masif menggaungkan politik identitas. Dengan kuatnya ideologi partai politik, masyarakat akan mengasosiasikan diri dan mendukungnya.
Ketiga, penegakan aturan hukum terkait penggunaan isu SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) yang bersifat menyerang kelompok lain atau kampanye hitam (black campaign), tidak diskriminatif, berkeadilan, dan kepastian hukum.
Keempat, perbaikan peraturan perundang-undangan atau hukum yang diskriminatif (ras dan etnik), terutama terkait kepemiluan dengan membuka peluang setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam politik.
Kelima, pendidikan politik kepada masyarakat. Walau politik identitas tumbuh, tetapi rasionalitas tetap harus dikedepankan, karena perubahan bangsa dan negara dimulai dari politik dalam negerinya. Kehidupan masyarakat tidak bebas dari politik. Harga cabai, garam, daging, atau uang sekolah anak dipengaruhi oleh kebijakan politik yang lahir dari pemilu/pilkada.
Selanjutnya, mengutip pernyataan Syafii Ma’arif (2009), “politik identitas tidak akan membahayakan keutuhan bangsa selama kita tetap memegang teguh cita-cita luhur pendiri bangsa, yaitu persatuan dan integrasi bangsa. Selanjutnya tugas kita untuk tidak membiarkan Pancasila tergantung di atas awan, tetapi dihayati dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab”.
Kita patut bersyukur, Indonesia sudah diterpa persoalan mengenai identitas bertubi-tubi, tetapi Indonesia tetap kokoh berdiri hingga hari ini. Mari tetap kita jaga bersama. Pepatah Arab mengatakan “Sebaik-baik manusia itu, ialah yang paling baik budi pekertinya dan yang paling bermanfaat bagi manusia.”
“Inga … inga … kitorang basudara”.
ASN pada Pemerintah Provinsi Banten. Sepanjang kariernya dalam birokrasi, selalu bersentuhan dengan politik dalam negeri sehingga memberikan pengaruh pada tulisan-tulisannya yang kebanyakan bergenre politik, demokrasi, dan pemerintahan daerah.
setahu saya psi (partai sosialis indonesia) yg hidup zaman orla kemudian dibubarkab sukarno tak ada kaitannya dengan gerindra. hanya kebetulan saja salah satu pentolan psi yaitu sumitro djoyohadikusumo adalah ayah kandung dari prabowo. justru gerindra itu pecahan dari golkar. termasuk pkpi, nasdem. hanura dll
betul pa, mungkin keterkaitan tersebut yg akhirnya pa Khoirul Anam berpendapat demikian, makanya disebut metamorfosis